Mereka Bergerak Menyelamatkan Teluk
Gerakan-gerakan swadaya masyarakat di Ambon dan Palu muncul untuk menjaga ekosistem teluk dengan menanam mangrove dan terumbu karang. Langkah-langkah kecil ini membuka harapan keberlanjutan teluk untuk anak-cucuk kelak.

Mangrove yang ditanam sejumlah komunitas di dekat Jalan Y Syaranamual, Desa Poka, Kota Ambon, Maluku, seperti tampak pada Senin (29/3/2021).
Laju kerusakan Teluk Ambon, Maluku, akibat sedimentasi, sampah, dan penebangan mangrove kian tak terkendali. Teluk yang menjadi simbol kebanggaan warga kota itu pun kehilangan daya tarik. Sejumlah komunitas anak muda mencoba merawat teluk yang kian kronis itu.
Tinggi deretan pohon mangrove di pesisir dekat Jalan Y Syaranamual pada Senin (29/3/2021) telah melampaui 3 meter. Mangrove tumbuh di areal sepanjang lebih kurang 50 meter dan lebar dari darat ke tengah laut sekitar 40 meter. Ratusan pohon mangrove tumbuh membentuk rumpun lebat dan menghijau.
Padahal, tujuh tahun lalu areal itu menjadi tempat pembuangan sampah tanpa ada satu pohon mangrove pun. Sebelumnya memang ada, tetapi telah ditebang. Sejumlah komunitas di Ambon lalu secara bersama menanam mangrove di lokasi tepat di depan kantor PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), Desa Poka, itu.
Komunitas dimaksud, seperti PLN, TNI dan Polri dari berbagai kesatuan, pemerintah daerah, komunitas sosial seperti Moluccas Coastal Care, dan berbagai lembaga swadaya masyarakat. Meski banyak anakan yang ditanam mati akibat sedimentasi dan sampah, tempat penanaman mangrove di lokasi itu tergolong sukses.

Warga menanam mangrove di pesisir Teluk Ambon, Senin (15/6/2015).
Koordinator Moluccas Coastal Care Theria Sitanala mengatakan, mangrove yang tumbuh lebat saat ini melewati perjuangan panjang. Setelah ditanam, secara berkala mereka memantau pertumbuhan mangrove yang sering kali terganggu sampah plastik. Lilitan sampah membuat anakan mangrove mati.
”TNI Angkatan Darat dari Kodam XVI/Pattimura pernah membantu pengadaan jaring dan tiang dari besi untuk menghalau sampah plastik. Puluhan prajurit langsung mengerjakannya. Ini yang membuat mangrove terus tumbuh. Kalau tinggi mangrove sudah di atas 1 meter, itu relatif sudah aman,” ujar Theria.
Baca Juga:
- Degradasi Parah, Teluk Kendari Kritis dan Terancam Hilang
- Teluk Jayapura Kritis Akibat Sendimentasi dan Sampah
- Sedimentasi Terus Melaju, Teluk Ambon Kian Merana
- Sedimentasi di Teluk Manado Merusak Terumbu Karang
Selain di lokasi tersebut, komunitas yang dipimpin Theria juga menanam mangrove di beberapa lokasi lain, seperti di depan Kampus Universitas Pattimura dan di kawasan Lateri. Sejak 2017, mereka sudah menanam lebih dari 3.000 anak mangrove di Teluk Ambon seluas lebih kurang 28.292,8 hektar dengan panjang garis pantai 102,7 kilometer itu.
Menurut Theria, ia dan komunitasnya terkadang putus asa lantaran proyek reklamasi dan penebangan pohon kian masif. ”Bahkan, proyek itu berada di lokasi dekat tempat kami menanam mangrove. Hal semacam ini, kan, melibatkan pemerintah daerah. Ini menjengkelkan memang, tapi kami selalu berusaha menyemangati diri,” katanya.

Ia dan rekan-rekannya pun mengaku kecewa dengan sejumlah kebijakan pemerintah yang mengorbankan ekosistem teluk, seperti izin reklamasi pantai untuk sejumlah proyek. Bekerja sama dengan sejumlah peneliti, mereka coba melakukan advokasi, tetapi belum berbuah manis.
Setelah ditanam, ada anggota kami yang ikut bantu merawat sebab kalau tidak dirawat akan sia-sia.
Selain Theria dan teman-teman, juga ada komunitas lain, seperti Perhimpunan Kreativitas Anak-anak Alam (Kanal) Ambon yang pertengahan Maret lalu menanam 150 mangrove di kawasan Kate-kate. Ini penanaman yang kedua kalin. Saat ini, tinggi tanaman mangorve mencapai 1 meter.
”Setelah ditanam, ada anggota kami yang ikut bantu merawat sebab kalau tidak dirawat akan sia-sia. Di Teluk Ambon ini sudah banyak tempat orang menanam mangrove, tetapi mati karena tidak dirawat,” kata Ketua Perhimpunan Kanal Ambon Alfian Sanusi.

Menurut dia, selain mereduksi racun di perairan, keberadaan mangrove juga menahan abrasi, bahkan meredam laju tsunami. Ambon merupakan wilayah di Indonesia yang rawan gempa dan tsunami. Dalam catatan sejarah, gempa diikuti tsunami pernah melanda Ambon pada 17 Februari 1674. Sebanyak 2.300 orang meninggal. Tsunami di Ambon terulang lagi pada 1950.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Maluku Roy Siauta mengapresiasi kepedulian semua pihak yang ikut merawat teluk. Menurut dia, persoalan terbesar di teluk saat ini adalah sampah. Selain dibuang langsung ke laut, masih ada warga yang sering kali membuang sampah ke kali yang kemudian terbawa ke teluk.
Ia menuturkan, pihaknya menggandeng berbagai komunitas untuk bantu membersihkan, termasuk komunitas peduli sungai. Dalam waktu dekat akan didatangkan jaring penahan sampah yang dipasang di muara kali. Di pusat Kota Ambon terdapat lima kali besar, yakni Wairunu, Wai Batumerah, Wai Batugajah, Waitomu, dan Wai Batugantung.
Yang tersisa hanya terumbu karang yang besar. Itu pun jumlahnya bisa dihitung dengan jari.
Namun, terkait dengan pemberian izin reklamasi dan penebangan mangrove, Roy bersikap diplomatis. Tidak ada ketegasan bahwa pihaknya tidak akan lagi mengeluarkan izin reklamasi dan pembangunan di atas lahan mangrove.
Teluk Palu
Perjuangan menjaga kelestarian teluk juga dilakukan sejumlah warga di Palu, Sulawesi Tengah. Ahmad L Maliki (47) menangis begitu melihat terumbu karang di Teluk Palu rusak dan hilang akibat gempa dan tsunami pada 28 September 2018. Ia tahu persis terumbu karang tersebut dulunya menjadi rumah bagi ikan dan biota laut lainnya di sekitar perairan teluk di Kelurahan Mamboro, Kecamatan Palu Utara.
”Yang tersisa hanya terumbu karang yang besar. Itu pun jumlahnya bisa dihitung dengan jari,” kata nelayan itu saat ditemui pada Minggu (30/3/2021).

Ahmad L Maliki (47) memandangi perairan Teluk Palu, Sulteng, Minggu (28/3/2021).
Berangkat dari kondisi itu, pada awal 2019, Bobi, begitu ia lebih dikenal, mulai bergerak. Dengan satu zak semen ditambah besi dan kayu dari puing-puing tsunami serta pasir yang berserakan, ia mencetak media tanam karang. Bersama anak muda di lingkungannya, ia memproduksi 68 potong beton. Ukurannya 50 x 12 sentimeter.
Bobi mengambil bibit karang di Kelurahan Kabonga Kecil, Kecamatan Banawa, Kabupaten Donggala. Dengan bibit itu, pada Februari 2019, ia mulai menanam karang dengan media beton perairan dengan jarak sekitar 50 meter dari Jalan Trans-Sulawesi di kedalaman 3-9 meter. Dua tahun berlalu, bibit tersebut tumbuh. Saat ini panjangnya 20-25 sentimeter dari hanya sekitar 10 sentimeter saat ditanam.
Baca juga: Masa Depan Suram Terumbu Karang
Melihat usaha keras itu, pada Maret 2019 lembaga sosial Yayasan Arsitek Komunitas Indonesia memfasilitasi Bobi. Ia mendapatkan suplai material untuk pembuatan beton sebagai media tanam karang. Bersama dengan yayasan tersebut, bapak satu anak itu menghasilkan 168 bongkah beton.
Belakangan, Bobi bekerja sama dengan para dosen di Universitas Tadulako, Palu, untuk mencetak beton. Total 1.300 media beton telah dicetak dan ditanami ribuan bibit karang. ”Saya melihat sendiri kondisi karang. Kenapa saya tak berbuat sesuatu untuk pulihkan itu sehingga ikan-ikan akan kembali ke perairan Mamboro,” ujar Bobi tentang kegiatannya itu.

Sebagian bibit karang yang ditanam Ahmad L Maliki, nelayan Kelurahan Mamboro, Kecamatan Palu Utara, Kota Palu, Sulteng.
Pascatsunami, nelayan di Mamboro harus menangkap ikan jauh ke dalam teluk, bahkan sering keluar ke laut lepas di Selat Makassar. Ikan tak bisa menetap karena rumah (karang) mereka rusak.
Berjarak sekitar 10 kilometer ke arah utara dari tempat Bobi menanam bibit karang, di Kelurahan Kayumalue Pajeko, Kecamatan Palu Utara, Amsyir (45) juga dalam misi menjaga ekosistem Teluk Palu. Dalam 1,5 tahun terakhir, ia menanam dan merawat 7.000 anakan mangrove. Anakan jenis Rhizophora itu tumbuh dengan banyak tangkai baru, daun makin besar dan baru, dan akar makin banyak. Sebagian telah tumbuh tinggi sampai 2 meter.
Baca juga: Teluk Palu Cocok untuk Habitat Mangrove
Setiap hari Amsyir datang ke lokasi penanaman mangrove yang berjarak sekitar 1,5 kilometer dari rumahnya. Ia ingin memastikan mangrove tumbuh dan tak dirusak binatang, terutama kambing dan sapi. Ia sampai membuat pagar agar binatang tak merusak mangrove itu.
Ia sejak lama menanam mangrove di pesisir, tetapi selalu gagal karena dirusak binatang dan keisengan warga. Padahal, berdasarkan cerita para orang tua di Kayumalue Pajeko, kawasan itu dulu dipenuhi mangrove. Populasi ikan, kepiting, dan biota lain pun dulu melimpah di sekitar kawasan tersebut. Sekarang, hal itu sulit lagi dilihat.

Amsyir (45), berdiri memandangi mangrove yang ditanamnya dalam 1,5 tahun terakhir di pesisir Kelurahan Kayumaleo Pajeko, Kecamatan Palu Utara, Kota Palu, Sulteng, Minggu (28/3/2021).
Dengan bantuan bibit dari salah satu yayasan yang memberdayakan warga untuk penanaman mangrove, Amsyir bertekad mengembalikan ekosistem tersebut. ”Agar tidak gagal lagi, saya benar-benar merawat mangrove ini,” kata Ketua Kelompok Nelayan Palara itu.
Mangrove memiliki banyak fungsi, antara lain tempat berpijahnya ikan dan biota laut pada umumnya, penahan abrasi dan tsunami, serta penyerap karbon.
Baca juga: Mangrove di Teluk Palu Minimalkan Dampak Tsunami
Kepala Seksi Pengelolaan Ruang Laut Dinas Kelautan dan Perikanan Sulteng Edwar Yusuf menyatakan, pemulihan karang dan penanaman mangrove bagian dari program instansinya untuk mempertahankan ekosistem perairan. Namun, inisiatif dan kolaborasi dengan warga sangat dibutuhkan.
Langkah-langkah kecil yang dilakukan warga di Ambon dan Palu itu pun membuka pintu harapan kelestarian teluk yang menjadi sandaran hidup banyak orang. Anak-cucu pun kelak dapat tersenyum lebar.