Degradasi Parah, Teluk Kendari Kritis dan Terancam Hilang
Dalam empat dekade terakhir, sedimentasi di Teluk Kendari, Sultra, mencapai 66 juta meter kubik, dengan lahan yang menciut sebanyak 20 hektar dalam setahunnya.
KENDARI, KOMPAS — Selama berpuluh tahun, sedimentasi dan reklamasi menggerogoti Teluk Kendari, di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara. Dalam empat dekade terakhir, sedimentasi mencapai 66 juta meter kubik, dengan lahan yang menciut sebanyak 20 hektar dalam setahunnya. Tanpa upaya berarti, teluk yang menjadi kebanggaan warga ”Bumi Anoa” ini bisa saja hilang dalam 45 tahun mendatang.
Kondisi Teluk Kendari yang terus kritis terlihat sepanjang hari, utamanya saat air sedang surut. Muara Sungai Wanggu, sungai terbesar yang bermuara ke teluk ini, membawa sedimentasi tebal yang berujung ke teluk. Air berwarna coklat terlihat kontras dengan air laut di teluk seluas 900 hektar ini.
Pembangunan di sekeliling teluk tidak kalah masifnya. Rumah makan berjejerang di sepanjang teluk, bahkan, mengokupansi bakau. Penimbunan lahan baru yang dulunya tambak atau tempat bakau tumbuh terlihat marak, utamanya di Jalan Madusila, Andonohu. Jalan ini terbentang di sepanjang sisi selatan teluk. Di jalan ini juga berdiri kantor DPRD Kendari yang tepat menghadap teluk.
Akibat pembangunan, hutan bakau yang tumbuh di sisi barat dan selatan teluk ikut kritis. Selama tiga dekade terakhir, tutupan bakau berkurang setengah. Di lahan bakau tersebut terlihat beberapa papan nama yang mencantumkan nama hak milik, baik pribadi maupun perusahaan.
”Kondisi Teluk Kendari sekarang sudah di fase sangat kritis. Hitungan saya, berdasarkan variabel perubahan lingkungan, dalam empat dekade terakhir total sedimentasi mencapai 66 juta meter kubik, di mana laju sedimentasi terus meningkat hingga 1,1 juta meter kubik dalam satu tahun,” kata La Ode Alwi, pengajar ilmu lingkungan Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari yang meneliti Teluk Kendari.
Alwi menerangkan, sedimentasi parah yang dialami Teluk Kendari mayoritas disumbang dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Sungai Wanggu. Dengan DAS seluas 339,73 kilometer persegi, sungai ini merupakan penyumbang sedimentasi terbesar, yakni mencapai 65 persen dari total sedimentasi. Selebihnya adalah sumbangan dari 12 sungai dan anak sungai yang bermuara ke teluk ini.
Hal ini berimbas pada kedalaman teluk yang menyusut jauh. Pada medio 1970-an, kedalaman teluk ini mencapai 23 meter. Saat ini, kedalaman ditaksir hanya 6-7 meter. Akibatnya, biota laut yang dulunya menetap di teluk hilang atau migrasi.
Terumbu karang dan lamun hampir tidak ditemukan lagi. Ikan kerapu, kakap, dan ikan bernilai tinggi lainnya pun lenyap. Daerah yang dulunya menjadi tempat nelayan bagan mencari cakalang kini hanya sekadar menjadi tempat berlabuhnya kapal-kapal.
Awal Januari 2021, seekor hiu paus (Rhincodon typus) terjebak sedimentasi parah di muara Sungai Wanggu. Butuh waktu hingga enam jam untuk mengevakuasi hewan ini keluar dari teluk. Beberapa bagian badan bawah hewan ini terluka karena kulit tiram atau kayu di lumpur muara teluk.
Saya ingat kawasan Teluk Kendari itu sampai di dekat kampus baru UHO. Itu sekitar 1 kilometer dari jarak teluk yang sekarang.
Tidak hanya sedimentasi, sambung Alwi, pembangunan masif sejak akhir 1980-an turut berperan besar mengubah kawasan teluk. Penimbunan tepian teluk secara gradual membuat luas kawasan teluk susut.
Reklamasi untuk pembangunan infrastruktur hingga kawasan perumahan elite terjadi terus-menerus. ”Saya ingat kawasan Teluk Kendari itu sampai di dekat kampus baru UHO. Itu sekitar 1 kilometer dari jarak teluk yang sekarang. Penimbunan atau reklamasi masih juga terus terjadi,” sambung Alwi.
Hasil penelitian Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Sampara menyebutkan, dalam kurun waktu 13 tahun terakhir terjadi pendangkalan di Teluk Kendari seluas 101,8 hektar dan kedalaman laut berkisar 9 meter sampai 10 meter. Luasan wilayah teluk ini menyusut dari semula 1.186,2 hektar menjadi 1.084,4 hektar tahun 2000. Dalam kurun 20 tahun terakhir, ukuran teluk hanya tersisa 900 hektar.
Kepala BPDAS Sampara Azis Ahsoni menjelaskan, dampak dari sedimentasi tentunya adalah terjadi pendangkalan, baik di muara hingga ke badan teluk. Kedalaman air berkurang setelah diterjang endapan dalam jumlah besar selama bertahun-tahun lamanya.
Menurut Azis, jika tidak ada penanganan, endapan dipastikan terus mengalir dan memenuhi teluk. Bisa dipastikan pendangkalan terus terjadi, yang berdampak pada terganggunya ekosistem di muara juga teluk.
Sedimentasi masif di Teluk Kendari juga berimbas pada aktivitas terkait alur pelayaran dan bongkar-muat di pelabuhan. Kedalaman teluk yang terus berkurang menjadi salah satu alasan dipindahnya pelabuhan peti kemas Kendari, dari semula di dalam teluk menjadi di mulut teluk yang perairannya masih dalam.
Senior Manager PT Pelindo IV Makassar Debby Duakaju menerangkan, kedalaman teluk yang berkisar 6 meter memang menjadi salah satu alasan pemindahan pelabuhan peti kemas New Port Kendari yang mulai dibangun sejak 2017 lalu di Bungkutoko. Dengan kedalaman tersebut, kapal berkapasitas besar sulit untuk masuk dan berlabuh.
Baca juga: Sedimentasi Masif di Teluk Kendari Tak Tertangani, Risiko Tinggi Mengintai
”Salah satu alasannya memang terkait kedalaman teluk. Tapi, yang utama itu terkait dengan pembangunan jembatan Teluk Kendari yang hanya menyisakan tinggi sekitar 19 meter. Kapal kargo akan sulit masuk dengan ketinggian tersebut,” terang Debby yang juga mantan General Manager PT Pelindo IV Kendari selama tiga tahun terakhir.
Wali Kota Kendari Sulkarnain Kadir mengungkapkan, sedimentasi memang masih menjadi masalah untuk teluk yang menjadi ikon kota itu. Kolam retensi yang telah terbangun menjadi salah satu cara penanganan, tetapi tetap memerlukan penanganan menyeluruh. Kolam retensi Sungai Wanggu dengan luas 5,9 hektar ini diharapkan menjadi pengendali saat air melimpah sehingga endapan tidak semua bermuara ke teluk.
Ke depan, tambah Sulkarnain, sebuah tanggul pengendali banjir kembali akan dibangun di daerah hilir Sungai Wanggu. Tanggul dengan kapasitas besar akan menjadi pengendali banjir, penyedia air bersih, sekaligus untuk meminimalisasi sedimentasi. ”Nanti akan dibangun dengan semua anggaran berasal dari pemerintah pusat. Kami harapkan dengan upaya yang kami lakukan penanganan bisa dimaksimalkan,” ujarnya.
Salah satu hal yang sedang dalam masa penggodokan juga adalah Rancangan Peraturan Daerah terkait Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Wilayah Central Business District di sekitar Teluk Kendari. Aturan ini mengatur tentang pemanfaatan wilayah, termasuk pemanfaatan mangrove di sekitar teluk.
Namun, ranperda ini dikritik banyak pihak karena dianggap hanya berpihak pada korporasi, yang akan membuat wilayah teluk semakin terdesak. Irfan Ido, akdemisi dari Universitas Halu Oleo yang meneliti mangrove, menyampaikan, pembangunan skala besar membuat tutupan mangrove di kawasan teluk semakin kritis.
Sebuah jalan membentang di tepian teluk dan menyisakan begitu sedikit alur air dari dan menuju sungai. Tidak hanya itu, sejumlah bangunan, rumah makan, dan pertokoan telah terbangun di kawasan yang dulunya adalah habitat mangrove.
Baca juga: Terjebak Sedimentasi Parah, Hiu Paus Terdampar di Teluk Kendari
Sayangnya, tutur Irfan, selama ini tidak ada sanksi tegas dari pemerintah terhadap mereka yang mendegradasi mangrove ataupun reklamasi di teluk. Padahal, kawasan mangrove sudah tentu sebagai kawasan hijau yang diatur, termasuk oleh undang-undang.
”Berkurangnya mangrove seiring juga dengan laju sedimentasi karena tidak ada lagi yang menahan dan menjadi pengumpul partikel tanah yang hanyut bersama aliran air. Sementara mangrove itu aset dalam sebuah ekosistem dan menjadi tempat pemijahan dan berkumpulnya ikan,” ujarnya.
Dia menambahkan, persoalan ini harus ditangani pemerintah agar wilayah Teluk Kendari tetap terjaga dan hewan yang terdampar tidak mengalami kesulitan di kemudian hari.
Upaya pemerintah dengan membuat RDTR Wilayah Central Business District ditengarai hanya bermotif ekonomi. Hal itu tidak memperhatikan urgensi utama dari teluk yang merupakan tempat bernilai ekologis tinggi, tempat pemijahan ikan, pencegah banjir sekaligus ruang publik.