Pencarian Puluhan Korban Tertimbun di Lembata Masih Berlanjut
Luas dan ketebalan material yang terbawa banjir bandang dan menimbun permukiman menjadi kendala utama dalam pencarian korban bencana di Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN/KORNELIS KEWA AMA/ISMAIL ZAKARIA
·4 menit baca
LEWOLEBA, KOMPAS — Sepekan setelah banjir bandang akibat badai siklon Seroja melanda, puluhan korban banjir bandang di Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, belum ditemukan. Pencarian terkendala material batu berukuran besar yang sulit dibongkar kendati menggunakan bantuan ekskavator. Pencarian korban terus berlangsung selama masa tanggap darurat 14 hari.
Di Desa Amakaka, Kecamatan Ile Ape, Sabtu (10/4/2021), lima ekskavator digerakkan untuk membongkar material batu dari longsoran di punggung Gunung Ile Lewotolok yang menutupi permukiman setempat.
Ekskavator butuh waktu hingga lima menit untuk menggeser setiap batu berdiameter sekitar 2 meter. Hamparan material batu-batu besar itu terbentang sepanjang 300 meter dan lebar hingga 150 meter.
Kami sangat berharap agar keluarga kami dapat ditemukan apa pun kondisinya. Kami ingin memakamkan mereka secara pantas. Namun, kalau memang sampai batas itu belum juga ditemukan, kami serahkan kepada pemerintah. Pemerintah tahu seperti apa yang terbaik. (Albertus Doni)
Pencarian korban dibantu anjing pelacak serta dipantau personel Polri, TNI Angkatan Darat, dan Badan SAR Nasional. Sejak terjadi banjir bandang pada Minggu (4/4/2021), 18 orang ditemukan meninggal dan 10 orang dalam pencarian.
”Sejak Rabu belum ditemukan lagi korban meninggal,” kata Aswandi, Komandan Operasi Basarnas. Hal ini berarti, selama tiga hari terakhir hasil pencarian nihil karena sulitnya medan pencarian ditembus.
Aswandi mengatakan, pencarian masih dilakukan hingga batas masa tanggap darurat, yakni 14 hari sejak kejadian tersebut. Ada kemungkinan proses pencarian bisa berlanjut atau dihentikan. Semua itu sangat bergantung pada hasil kesepakatan antara keluarga korban dan pemerintah.
Warga setempat, Albertus Doni (45), berharap agar pencarian terus dilakukan semaksimal mungkin. Warga setempat juga menggelar seremoni adat guna meminta petunjuk Tuhan dan leluhur mengenai titik keberadaan jasad korban.
”Kami sangat berharap agar keluarga kami dapat ditemukan apa pun kondisinya. Kami ingin memakamkan mereka secara pantas. Namun, kalau memang sampai batas itu belum juga ditemukan, kami serahkan kepada pemerintah. Pemerintah tahu seperti apa yang terbaik,” katanya.
Longsor serupa terjadi di Desa Waimatan, Kecamatan Ile Ape Timur. Di desa itu, 18 orang ditemukan meninggal dan 8 orang masih dicari. Lima ekskavator masih terus membongkar material batu dan lumpur. Kejadian banjir bandang di desa itu bersamaan dengan di Amakaka.
Di Waimatan, timbunan material longsor terkonsentrasi di satu titik yang tidak terlalu luas. ”Memang titik ini relatif tidak luas, tetapi ketebalan material menjadi tantangan,” kata Beneditus Payong, salah seorang sukarelawan. Ketebalan material mencapai 10 meter.
Selain di dua desa itu, korban meninggal ditemukan di Desa Tanjung Batu sebanyak 4 orang dan 2 lainnya masih dalam pencarian. Di Desa Wawala, 2 orang meninggal dan 1 lagi dalam pencarian. Secara keseluruhan di daerah itu, 42 orang ditemukan meninggal dan 21 orang masih dicari.
Juru Bicara Gubernur NTT Marius Ardu Jelamu mengatakan, 48.669 pengungsi tersebar di 2.730 titik pengungsian di 18 kabupaten/kota. Wakil Gubernur NTT Joseph Nae Soi di Kupang, kemarin, mengatakan, pengungsi diminta tetap menerapkan protokol kesehatan. Namun, untuk meminimalkan risiko tertular Covid-19, mereka diberi kesempatan tinggal bersama anggota keluarganya dengan bekal Rp 500.000 per bulan dan bahan makanan.
Sejauh ini, korban meninggal akibat siklon ini mencapai 175 orang. Sebanyak 45 orang masih hilang dan 153 orang lainnya luka-luka. Bahkan, ada desa di Kecamatan Pantar, Alor, masih terisolasi sampai hari ini.
Warga mulai bersih-bersih
Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, wilayah terdampak bencana serupa dengan di NTT, juga belum pulih. Meski demikian, sejumlah warga sudah kembali ke aktivitas rutin sebelum gempa.
Di tiga kecamatan terdampak, yakni Monta, Woha, dan Bolo, pembersihan rumah pascabencana mulai berlangsung. Warga menjemur tempat tidur, lemari, dan pakaian. Adapun fasilitas umum, seperti mushala dan masjid, telah digunakan seperti semula untuk kegiatan peribadahan.
Di wilayah yang sama, sebagian warga sudah kembali ke sawah atau ladang. Mereka memotong padi yang tersisa atau tidak terkena banjir bandang. Data Pusat Pengendalian dan Operasional Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) NTB mencatat, 350 hektar lahan pertanian rusak.
”Warga di sini sudah ada yang kembali ke sawah, termasuk aktivitas lain yang bisa dikerjakan selain membersihkan rumah, seperti menjemur padi dan jagung,” kata Amirudin (45), warga Desa Tangga, Kecamatan Monta.
Kemarin, 13.000 paket bantuan Presiden Joko Widodo juga tiba di Bima. Bantuan disalurkan ke lima kecamatan terdampak, yakni Monta, Woha, Bolo, Madapangga, dan Palibelo.