Pemimpin Daerah di NTT Diminta Menyadari Pentingnya Mitigasi Bencana
Pemimpin di daerah diharapkan peka dan peduli terhadap aspek mitigasi bencana. Bencana di sejumlah daerah di NTT belakangan ini perlu dijadikan pelajaran berharga.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
LARANTUKA, KOMPAS — Kabupaten Flores Timur dan Lembata di Provinsi Nusa Tenggara Timur masuk katerogori daerah risiko bencana terutama gempa, tsunami, gunung meletus, serta banjir bandang dan longsor. Kejadian banjir bandang di dua daerah itu dengan korban meninggal serta hilang lebih dari 100 orang menunjukkan gagalnya aspek mitigasi. Kepala daerah diminta peduli pada mitigasi dan bergerak cepat jika bencana terlanjur menelan korban.
Menurut informasi yang dihimpun Kompas hingga Minggu (11/4/2021), masyarakat bahkan pemerintah desa tidak mengetahui data prakiraan cuaca yang dikeluarkan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). BMKG merilis bibit siklon tropis yang tumbuh di wilayah NTT berpotensi menyebabkan hujan dengan intesitas lebat hingga sangat lebat di daerah itu. Prakiraan itu sudah disampaikan beberapa hari lewat situs resmi BMKG juga melalui media sosial.
Satu pekan sebelum banjir bandang terjadi pada 4 April 2021, hujan dengan intensitas sangat lebat mengguyur daerah itu. ”Kami tidak pernah tahu info BMKG itu. Kepala desa juga tidak pernah bilang,” tutur Mansyur (34), penyintas di Desa Waiburak, Kecamatan Adonara Timur, Kabupaten Flores Timur.
Ia mengatakan, tidak ada perintah dari kepala daerah, camat, atau kepala desa bagi warga di lokasi berisiko agar mengungsi. Ketika air mulai menggenangi permukiman, warga sadar untuk lari dan dengan sukarela membangunkan tetangga agar segera lagi. Namun, banyak warga yang terseret air saat banjir badang datang membawa batu dan kayu sekitar pukul 01.30 Wita setelah kali mati yang membelah Desa Waiburak dan Kelurahan Waiwerang meluap.
Hingga Minggu ini, sepuluh orang dilaporkan meninggal dan satu masih dalam pencarian. Ratusan rumah rusak berat hingga ringan. Jembatan penghubung di Jalan Trans Adonara yang menjadi akses utama di Pulau Adonara pun putus.
Sementara di Lembata, kondisi serupa juga dituturkan Antonius (35), warga Desa Amakaka, Kabupaten Lembata. Kendati berada di lereng Gunung Ile Lewotolok yang berisiko banjir, tidak ada imbauan dan peringatan dari pemerintah daerah setempat. Warga pun menganggap hujan tersebut tidak membahayakan.
”Mana ada informasi itu dari kepala daerah. Kalau urusan politik pasti cepat,” ucap Antonius kesal. Di lokasi itu, banjir bandang yang mengalir dari gunung terbagi menjadi tiga cabang. Banjir meratakan hampir semua bangunan.
Mana ada informasi itu dari kepala daerah. Kalau urusan politik, pasti cepat. (Antonius)
Hingga Minggu, sebanyak 18 orang telah ditemukan meninggal dan 10 sedang dicari. Proses pencarian terkendala ketebalan material lumpur bercampur bebatuan. Material itu adalah muntahan dari Gunung Ile Lewotolok.
Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari NTT, Angelo Wake Kako, berharap para kepala daerah di NTT, mulai dari gubernur hingga bupati atau wali kota, harus peka terhadap mitigasi bencana. Angelo juga mendapat informasi saat berkunjung ke lokasi bencana bahwa warga tidak tahu mengenai siklon tropis dan dampaknya.
Ia juga menilai ada kepala daerah yang terkesan gagap dalam penanganan becana. Contohnya, lambatnya pergerakan ekskavator ke lokasi bencana untuk mencari korban yang tertimbun. ”Beruntung pemerintah pusat bergerak cepat, bahkan Presiden Joko Widodo juga mau datang,” ujarnya. Presiden mengunjungi lokasi bencana di Adonara dan Lembata pada Jumat (9/4/2021).
Dalam rapat penanganan bencana di NTT secara virtual yang dipimpin Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Doni Monardo pada Rabu (7/4/2021) malam terungkap, banyak kepala daerah tidak mengetahui bahaya siklon tropis dimaksud. ”Kalau ada prakiraan seperti itu, tolong kami disampaikan langsung,” kata salah satu kepala daerah kepada pihak BMKG.
Bupati Flores Timur Anton G Hadjon berjanji, ke depan pihaknya akan memperkuat sinergi dengan pihak BMKG serta memaksimalkan perangkat desa dalam pengurangan risiko bencana. Lebih dari 70 korban meninggal dan hilang akibat benjir bandang di daerah itu menjadi pengalaman berharga.
Sementara itu, Wakil Bupati Lembata Thomas Ola Langoday juga sepakat bahwa aspek mitigasi bencana menjadi prioritas. Selama ini, mitigasi bencana di daerah itu lebih terfokus pada gempa, tsunami, dan gunung api. Banjir bandang yang terjadi mengagetkan. Di Lembata, 42 orang meninggal dan 21 korban masih dalam pencarian.