Pelestarian alam menjadi semangat dalam sustainable fashion yang diwujudkan dalam peragaan busana di Muslim Fashion Festival (Muffest) di Pakuwon Mall, Surabaya, Jawa Timur, Jumat (9/4/2021).
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS – Pelestarian alam menjadi ide utama dalam peragaan busana di Muslim Fashion Festival di Pakuwon Mall, Surabaya, Jawa Timur, Jumat (9/4/2021) malam. Acara yang berlangsung 1-11 April 2021 itu digelar dengan konsep hibrida karena pandemi Covid-19 belum mereda.
Muslim Fashion Festival (Muffest) ini menampilkan karya 25 perancang yang dilaksanakan dua kali. Peragaan pertama pada Jumat pukul 16.30-17.30 menampilkan karya Rengganis, Alben Ayub Andal, Three Can SMK Negeri 3 Malang, Mahdiyah, dan Belquienza by Ajeng Cahya. Selain itu ada juga karya Raniah Badubah, Tufiana, Ardalano, Nadiah Syammach, Alfatir Muhammad, Kiki Mahendra, AM by Anggiasari, dan Sofie.
Parade kedua pada Jumat pukul 19.00-20.00 memamerkan karya Andy Sugix X Hefi Rosid, Threelogy by SMK Negeri 3 Blitar, Interim Clothing, Alphiana Chandrajani, Arinz, dan Yusi Martha. Selain itu ada juga karya Elva Fauqo, Yeti Topiah, Tan’eem, J99 Garment, Emmy Thee, Rosie Rahmadi, dan Hannie Hananto.
Peragaan busana yang dapat diakses secara dalam jaringan (online) di akun Youtube Muslim Fashion Festival itu menampilkan banyak gaya. Mulai dari anggun, sporty, kasual, tradisional, dan perpaduan beberapa gaya. Namun, semangat pelestarian alam menjadi ide utama perancang dalam acara ini.
Riri Rengganis, misalnya, menerjemahkan sustainablefashion dengan membuat ulang busana dari tekstil buatan tangan. Perancang asal Bandung, Jawa Barat, ini menggunakan rona kelabu dan tanah sebagai gambaran kehidupan yang mendung karena pandemi Covid-19. Untuk itu, model-model busana yang ditampilkan mencoba memberi kesan suasana hujan tetapi membawa kedamaian dan kehangatan.
“Saya menyebutkan retreat (perenungan),” kata Rengganis.
Sementara itu, Anggiasari Mawardi memilih mendaur bahan denim dan katun serta menambahkan pernak pernik rantai pendaki gunung. Dia memakai teknik bleaching dan tie-dye atau ikat celup untuk rentetan busana bernuansa sporty dan kasual. “Busana yang ditampilkan ini ada yang buat lelaki dan perempuan,” ujarnya.
Alphiana Chandrajani memilih mengusung konsep awal baru, era baru, hidup baru yang tampaknya terinspirasi dari adaptasi normal baru sebagai penyesuaian kehidupan manusia karena pandemi Covid-19. Perancang dari Surabaya ini membungkus konsep kebaruan dengan semangat no waste atau berupaya keras tidak menghasilkan limbah dalam perancangan busana.
“Ada satu-dua baju koleksi lama saya ubah dan upcycle atau ditambah unsur-unsur lainnya dan nuansa warna tanah sebagai kedekatan manusia dengan bumi,” kata Alphiana.
Adapun perancang Adalando membawa tema atara atau mahkota yang terinspirasi dari keanggunan Putri Jasmine dalam dongeng Aladdin. Kiki Mahendra hadir lewat parade busana yang menyerupai hanbok atau pakaian tradisional Korea. Kiki memang mengambil tema Festival Bunga Sakura Korea untuk mengajak publik menikmati keindahan dan suasana melalui modestwear dan gaun romantis.
Al Fatir Muhammad juga terinspirasi dari konsep bunga sakura. Namun, Al Fatir mengklaim busananya lebih edgy dan tegas untuk menonjolkan sisi elegan. Dalam membuat busana, Al Fatir menggunakan bahan-bahan sisa yang diolah kembali dan dipadukan dengan payet dan bordir.
Dalam Muffest Surabaya semangat pelestarian itu diwujudkan dengan peningkatan atau modifikasi koleksi lama yang belum terjual sehingga tetap mengikuti tren busana. Semangat pelestarian juga cocok karena situasi pandemi Covid-19 yang memaksa manusia menempuh berbagai pembatasan termasuk konsumsi kebutuhan sandang.