Membangkitkan Lagi Metropolitan Palembang
Palembang punya rekam jejak sejarah yang panjang sejak masa Kedatuan Sriwijaya hingga masa kolonial Belanda. Namanya tersohor sampai ke ujung dunia. Tak heran sejak dulu Palembang sudah menjadi kota metropolitan.
Berusia 1.338 tahun dan telah mulai menjadi metropolitan pada abad ke-7, Kota Palembang, Sumatera Selatan, memiliki rekam jejak yang panjang sejak masa Kedatuan Sriwijaya hingga masa kolonial Belanda. Namanya tersohor dan didatangi banyak bangsa untuk menggali ilmu atau berdagang di sana.
Kisah Palembang dimulai dari sebuah torehan huruf Pallawa berbahasa Melayu Kuno pada Prasasti Kedukan Bukit. Di prasasti bertarikh 604 Saka (682 Masehi) itu tertulis perjalanan pendiri Kedatuan Sriwijaya, yakni Dapunta Hyang Sri Jayanasa, dari Minanga ke Palembang dengan membawa dua laksa tentara.
Sejarawan Universitas Sriwijaya, Dedi Irwanto, dalam jurnal berjudul Simbol Kejayaan Ibu Kota Sriwijaya dalam Tiga Prasasti Sriwijaya di Palembang mengutip tafsir arkeolog Boechari yang menyatakan awal mulanya Kerajaan Sriwijaya berpusat di Minanga, Batang Kuantan, di tepi Sungai Indragiri, yang sekarang merupakan wilayah Provinsi Riau. Pada 682, Jayanasa menyerang dan menguasai Palembang, menjadikannya ibu kota kerajaan baru.
Baca Juga: Struktur Batu Kapur Diduga Candi Ditemukan di Palembang
Jayanasa membangun Palembang menjadi kota besar. Posisinya yang strategis di dibelah Sungai Musi yang bermuara ke Selat Malaka berkembang menjadi kota dagang, kota pelajar, dan kota agama. Bahkan, pada abad ke-9, Bukit Siguntang di Palembang merupakan tempat belajar para pendeta Buddha (biksu) dari Asia yang ingin berguru kepada Mahaguru Suvarnadvipa Dharmakirti.
Cerita kebesaran Kota Palembang juga tertuang dalam Prasasti Telaga Batu yang ditemukan di kawasan Sabokingking, Kecamatan Ilir Timur II, Palembang. Dalam prasasti itu, Dedi menyebut adanya gambaran aturan terkait tata kelola pemerintahan, termasuk aturan atau kebijakan dari seorang pemimpin yang harus dipatuhi.
Kemegahan kota metropolitan juga tergambar di Prasasti Talang Tuwo yang ditemukan di Kawasan Talang Tuwo, Kecamatan Alang-Alang Lebar, Palembang. Dalam prasasti itu dikisahkan tentang berdirinya sebuah taman yang asri yang dibuat oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa. Taman ditumbuhi beragam tanaman pangan ramah rawa yang dapat dinikmati untuk kemakmuran rakyatnya.
I-tsing, biksu Buddha dari China, telah mencatat Palembang dan menyebutnya sebagaui Fo-shih. Menurut budayawan Palembang, Djohan Hanafiah, kata Palembang diambil dari kata Lembang yang dalam Melayu Kuno berarti tanah yang terendam air atau Lembeng yang dalam bahasa Melayu-Palembang berarti rembesan air.
Adapun Muhammad Ikhsan, penelusur sejarah dari Universitas Sriwijaya, menduga kata Palembang diambil dari kata Palimbang yang tercantum dalam catatan ekspedisi militer angkatan laut Kerajaan Inggris Memoir of The Conquest of Java yang ditulis Major William Thorn tahun 1815. Pelimbang merujuk pada aktivitas melimbang, yakni memisahkan logam dari pasir/tanah dengan cara mengayak dengan nyiru. Ini cukup relevan karena dulunya banyak aktivitas pelimbangan emas atau logam berharga lainnya di sekitar Sungai Musi.
Kota dagang
Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Sumatera Selatan Farida Wargadalem berpendapat, kondisi alam dan letaknya yang strategis di tepi sungai itu menjadikan Palembang sebagai pusat aktivitas perdagangan mulai dari masa kedatuan Sriwijaya pada Abad ke-7 hingga masa kolonial Belanda abad ke-20. Berbagai bangsa hadir, seperti China, Arab, India, Siam, dan belakangan Eropa.
Baca Juga: Piagam Tandai Wilayah Kesultanan Palembang Darussalam
Itu karena Palembang memiliki akses sangat memadai dengan adanya Sungai Musi dan anak-anak sungainya yang disebut Batanghari Sembilan yang memiliki karakteristik dalam dan lebar. ”Kondisi ini memudahkan kapal masuk ke wilayah Palembang dan melakukan aktivitas dagang,” ungkapnya.
Palembang juga sudah ada dalam peta lama China sebagai pedoman bagi oleh para pelaut ketika berlayar. Dalam peta tersebut, ujar Farida disebutkan, ketika pelaut sudah melihat Bukit Menumbing di Muntok, Bangka Barat, berarti mereka akan menemukan tiga muara di pantai timur Sumatera, yakni Upang di bagian timur, Sungsang di bagian tengah, dan Banyuasin di bagian barat.
Ketika sudah sampai di sana, kapal akan memasuki kawasan Sungsang untuk selanjutnya meneruskan ke area pedalaman sejauh 51 mil. Setibanya di sana, mereka akan menemukan Palembang. Selain itu, perairan di Palembang sangat diidamkan oleh para pelaut karena gelombangnya tenang dan terdapat air tawar untuk mengisi perbekalan.
Dalam catatan Gubernur Letnan Hindia Belanda Thomas Stamford Raffles ketika berada di Penang (1811-1816), tertulis Palembang merupakan titik tengah antara Penang dan Batavia. Posisinya yang strategis itu membuat berbagai bangsa singgah dan berdagang di Palembang.
Farida mengatakan, dengan lada dan timahnya, pada Abad ke-17 sampai ke-19, Palembang menjadi daerah sangat makmur. Bahkan, berdasarkan laporan Raffles pada 1810, Sultan Mahmud Badaruddin II yang memimpin Kesultanan Palembang Darussalam pada 1803-1813 dan 1818-1821 menjadi sultan terkaya di antara sultan Melayu lain di dataran Sumatera karena perdagangan lada yang berasal dari sekitar Sumatera Selatan dan timah dari Bangka yang merupakan wilayah Kasultanan Palembang Darussalam.
Peneliti dari Balai Arkeologi (Balar) Sumatera Selatan, Retno Purwanti, menuturkan, pada zaman Sriwijaya yang kekuasaannya hingga ke Bengkulu dan Jambi, barang dagangan yang diperjualbelikan secara internasional adalah hasil hutan, seperti jernang, gading gajah, cula badak, dan bijih emas. Pada zaman Kesultanan Palembang, perdagangan berubah menjadi timah dan lada. Adapun bangsa-bangsa lain masuk membawa aneka keramik, gerabah, dan kain.
Bukti bahwa Palembang merupakan tempat berkumpulnya para pedagang dari berbagai negara terlihat dari sejumlah tinggalan sejarah, seperti koin, keramik, atau pecahan guci yang ditemukan di sejumlah situs bersejarah.
Terbaru, Retno bersama peneliti dari Balar Sumsel meneliti Pulau Kemaro yang menjadi benteng pertahanan di masa Kesultanan Palembang Darussalam. Pulau itu ditengarai sudah dihuni sejak abad ke-17. Ini ditandai dengan ditemukannya pecahan keramik dari China dari masa Dinasti Yuan (1271-1368) sampai Dinasti Qing (1644-1912). Dari sistem penanggalan diketahui, Pulau Kemaro sudah digunakan sejak masa Keraton Kutogawang sampai masa kolonial Belanda.
Dalam buku Kota Palembang sebagai Kota Dagang dan Industri, Makmun Abdullah dkk menulis pada zaman dulu Selat Malaka merupakan ”jalan dagang tradisional” yang digunakan untuk lalu lintas pelayaran dan perdagangan laut yang menghubungkan bagian barat dan bagian timur kepulauan Nusantara. Jalur ini juga menyinggung wilayah pantai timur daerah Sumatera Selatan, yang ternyata juga digunakan sebagai jalur kekuasaan politik, penyebaran agama, dan kebudayaan.
Kota Palembang yang terletak di urat nadi lalu lintas perdagangan internasional pun berkontak dan bersentuhan dengan kebudayaan asing yang menimbulkan akulturasi kebudayaan hingga kini.
Akulturasi kebudayaan semakin bertambah saat Belanda mendatangkan warga uluan atau warga di hulu Sungai Musi untuk tinggal di Palembang. Dedi Irwanto menyebut, pencampuran budaya aneka bangsa yang ada di Palembang itu kini membentuk budaya baru yang menciptakan Palembang kini.
Kini, Palembang terus berbenah. Dimulai ketika menjadi tuan rumah Pekan Olahraga Nasional XVI 2004 hingga menjadi tuan rumah Asian Games 2018. Pembangunan infrastruktur juga terus berlanjut.
Pengajar Universitas Indo Global Mandiri, Palembang, Bambang Wicaksono, berpendapat, sejak masa kolonial sekitar awal abad ke-20, basis pembangunan di Palembang tidak lagi mengarah ke sungai, tetapi ke darat. Pembangunan jalan tol Palembang-Lampung telah tuntas berlanjut ke tol Palembang-Jambi. Jalan arteri, jembatan, dan sejumlah sarana transportasi massal, seperti kereta ringan (Light Rail Transit/LRT), telah dibangun.
Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru berharap keberadaan tol dapat menjadi penggerak ekonomi, terutama untuk memasarkan komoditas unggulan yang ada di Sumsel. Pembangunan jembatan juga akan memicu kesetaraan pembangunan antara kawasan hulu dan hilir Kota Palembang.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumatera Selatan Aufa Syahrizal menilai kekayaan sejarah itu terus dikenalkan kepada kaum muda sehingga mereka terus menjaga situs sejarah dan budayanya. ”Jika tidak, mereka tidak akan mencintai sejarahnya,” ujarnya.
Kini, tugas generasi berikutnya untuk membangkitkan kembali kejayaan itu dan memetik nilai luhur dari masa lalu.