Berbeda dari biasanya, acara tahunan dalam rangka menyambut Bulan Ramadhan itu digelar sederhana dengan sejumlah pembatasan. Di sisi lain, Bustaman diharapkan menjadi percontohan pengembangan kampung kota.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
SEMARANG, KOMPAS - Kampung Bustaman di Kelurahan Purwodinatan, Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang, Jawa Tengah, masih gigih merawat tradisi "Gebyuran Bustaman" di tengah pandemi Covid-19. Berbeda dari biasanya, acara tahunan dalam rangka menyambut Ramadhan itu kini digelar sederhana dengan sejumlah penyesuaian dan pembatasan.
Kampung Bustaman selama ini dikenal sebagai kawasan pemotongan hewan, pusat penyediaan hewan kurban, dan penjual gulai. Sejak 2013, kampung itu memiliki tradisi "Gebyuran Bustaman" Dalam tradisi ini, biasanya, terjadi perang air atau saling mengguyur antarwarga. Semuanya bermakna penyucian diri sebelum memasuki bulan suci Ramadhan.
Setelah ditiadakan pada 2020 karena pandemi Covid-19, "Gebyuran Bustaman" kembali digelar pada Sabtu (10/4/2021) sore. Namun, terdapat sejumlah penyesuaian dalam pelaksanaannya. Kali ini hanya dilakukan penyiraman kepada tiga anak di kampung tersebut, tanpa ada perang air. Acara lalu berlanjut dengan sarasehan dan menyantap gulai bersama.
Warga, panitia, dan pihak-pihak terkait, termasuk anak-anak yang disiram, mengenakan masker sepanjang sebagai bagian dari protokol kesehatan. Namun, lantaran jalan di gang kampung hanya memiliki lebar kurang dari 2 meter, sedangkan antusiasme warga sangat tinggi, jaga jarak sulit diterapkan. Kendati demikian, acara berlangsung sederhana dan kurang dari sejam.
"Tahun ini digelar karena kita tidak bisa melupakan tradisi. Namun, tetap memakai masker. Filosofi dari tradisi ini resik murka. Biasanya, warga dicorat-coret dulu yang bermakna kemurkaan, emosi, dan lainnya. Lalu saling menyiram. Sebenarnya kami rindu seperti itu, tetapi (penyederhanaan) ini demi protokol kesehatan," ujar Hari Bustaman (76), tokoh kampung tersebut.
Hari menuturkan, warga kampung berkomitmen melestarikan tradisi tersebut. Di sisi lain, juga terbuka dengan inovasi. Dalam perkembangannya, "Gebyuran Bustaman" memang tak sebatas menyiram dengan gayung, tetapi juga menggunakan plastik. Juga, sempat digunakan bubuk warna agar lebih berwarna. Namun, tahun ini, terpaksa dibuat sesederhana mungkin.
Fernanda Yongki (14) warga Kampung Bustaman, mengatakan, rindu kebersamaan dengan teman-teman untuk saling menyiram atau melempar plastik air. Namun, ia sadar saat ini sedang pandemi. Ia berharap segalanya normal kembali.
Identitas menguat
Terawatnya tradisi, serta tergugahnya warga untuk mengenal sejarah daerah asalnya sendiri membuat identitas Kampung Bustaman menguat. Adapun Kampung Bustaman, yang didirikan Kiai Kertoboso Bustam, kini telah berusia 278 tahun. Ki Kertoboso Bustam merupakan kakek buyut dari pelukis ternama Indonesia yang dihormati dunia, Raden Saleh.
Hari berharap, Kampung Bustaman juga menjadi bagian dari pengembangan Kota Lama Semarang, yang berjarak kurang dari1 kilometer. "Kami harap, aset ritual budaya dan tradisi ini bisa diangkat, apalagi Kampung Bustaman kan dekat kota lama. Mudah-mudahan Pemerintah Kota Semarang menjadikan kampung ini serangkai dengan (pengembangan) Kota lama," ujarnya.
Sejumlah kegiatan di Kampung Bustaman dilakukan bersama Kolektif Hysteria, yang mendorong terwujudnya ekosistem seni dan kreativitas. Pada 2013, mulai digelar acara "Tengok Bustaman", yang kemudian menjadi agenda dua tahunan.
Direktur Kolektif Hysteria Ahmad Khairudin mengatakan, dengan adanya agenda rutin, warga semakin bangga dengan kampungnya. Secara fisik, juga sudah terlihat perubahan dari yang dulunya gersang menjadi berderet tumbuh-tumbuhan. Selain itu, sebagian warga memiliki kesadaran dan kepedulian akan warisan budaya.
"Dengan kami masuk, banyak transfer pengetahuan secara pelan-pelan. Kami sedang mengembangkan agar ini bisa menjadi percontohan pengembangan kampung-kampung kota dan kita masih perlu banyak contoh. Yang jelas, kampung kota itu bagian dari kota itu sendiri. Jadi, yang berhak tinggal di kota tak hanya yang kelas menengah ke atas," ujar Adin, sapaan Khairudin.
Adin menambahkan, dengan identitas kampung yang menguat, daya tawar juga menguat. "Tinggal bagaimana menyamakan persepsi, jadi sama-sama berkembang. Tidak hanya dengan membangunkan mereka (warga) apartemen. Namun, caranya seperti apa yang harus dibicarakan agar warga juga merasa terlibat," lanjutnya.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang Indriyasari, yang hadir pada acara "Gebyuran Bustaman", Sabtu, menuturkan, setiap kampung di Kota Semarang memiliki keunikan tersendiri. "Termasuk Kampung Bustaman yang memiliki sejarah untuk dirawat, sekaligus diceritakan agar tidak dilupakan generasi muda. Tradisi-tradisi perlu dilestarikan, dengan cara bergerak bersama," katanya.