Menyeruput Harta Karun Palembang dalam Secangkir Kopi
Tidak sekadar menyajikan secangkir kopi, sejumlah kedai kopi di Palembang, Sumatera Selatan, menawarkan kisah-kisah sejarah dari tempat penyajiannya.
Sejumlah kedai kopi di Palembang, Sumatera Selatan, berani melawan arus dengan berdiri di kawasan situs sejarah. Di balik setiap tegukan kopi, terselip pesan agar anak muda lebih mengenal identitas kotanya.
Di atas papan kayu berukuran 1,5 meter x 2 meter, Yoga Prawira (20), mahasiswa Politeknik Negeri Sriwijaya Palembang, bersama lima teman sekampusnya duduk bersila dan bercengkerama sambil menyeruput kopi pagaralam di Kedai Kopi Skala Coffee, Sabtu (27/3/2021).
Kedai itu berdiri di lereng Bukit Siguntang, situs bersejarah zaman Kedatuan Sriwijaya pada abad ke-7 hingga ke-14 hingga Kesultanan Palembang Darussalam pada abad ke-17 hingga ke-19.
Bukit setinggi 26 meter di atas permukaan laut yang teduh dan asri itu pada abad ke-9 merupakan tempat belajar para pendeta Buddha dari Asia pada mahaguru Suvarnadvipa Dharmakirti. Adapun Kesultanan Palembang menjadikan Bukit Siguntang sebagai tempat untuk mengambil sumpah penduduknya yang sedang bertikai agar segera berdamai.
Yoga mengaku baru pertama kali masuk ke kawasan ini walaupun dia tinggal di Kertapati, Palembang, yang berjarak hanya 10 kilometer dari Bukit Siguntang. Sebelum ada kedai kopi, Yoga menganggap kawasan ini tidak memiliki daya tarik sama sekali, bahkan terkesan menyeramkan karena adanya makam yang disebut-sebut makam raja-raja Sriwijaya yang dikeramatkan warga sekitar di atas bukit.
Namun, ketika kedai kopi itu berdiri di lereng bukit, dia baru menyadari bahwa tempat ini memiliki pesona tersendiri. ”Tempat ini asyik buat nongkrong,” ucapnya.
Faligh Daffa (22), pemilik Skala Coffee, mengaku awalnya hanya ingin berbisnis di lahan parkir Bukit Siguntang. Tidak ada niat untuk memperkenalkan sejarah. ”Lahan parkirnya cukup luas dan berada di pinggir jalan,” ucapnya. Namun, setelah konsep bisnis ia sodorkan, pengelola malah menawarkan untuk masuk ke area Bukit Siguntang.
Faligh baru menyadari bukit seluas 12,5 hektar ini memiliki kisah sejarah yang panjang setelah melakukan penelusuran. Karena tak ingin merusak situs, ia pun merancang kedai dengan mengedepankan pelestarian.
Baca juga : Jembatan Musi VI Mendekatkan Jarak Merekatkan Harmoni
Kedai didirikan sekitar 30 meter dari tempat parkir di ruang terbuka, sekitar 200 meter dari puncak bukit yang berisi makam. Kursi, meja, hingga gapura kedai tersebut semua terbuat dari kayu dan bersifat semipermanen. Di malam hari, Faligh menggunakan lampu-lampu kecil untuk membuat suasana temaram.
Kreasi itu ternyata disambut baik oleh warga Palembang, terutama kaum milenial. Sejak dibuka pada 14 Februari 2021, Faligh bisa menjual sekitar 500 item makanan dan minuman per hari. Pengunjung yang datang tidak hanya kaum muda, tetapi juga keluarga serta berbagai komunitas seperti fotografer dan pesepeda.
Seusai minum kopi, pengunjung dapat singgah sejenak di galeri yang berada di sebelah kedai yang menyimpan aneka barang hasil penggalian arkeologi di Bukit Siguntang berikut penjelasannya. Pengunjung kedai juga bisa naik ke situs yang ada di atas bukit.
Menurut arkeolog Balai Arkeologi Sumatera Selatan, Retno Purwanti, Bukit Siguntang yang artinya bukit yang terapung-apung adalah tempat penziarahan dan pertemuan komunitas yang ada di Kedatuan Sriwijaya. Siguntang bahkan dianggap sebagai jantung kedatuan.
Di bukit itu, Residen Palembang Louis Constant Westenenk tahun 1920-1923 menemukan tiga fragmen arca Buddha yang ketika disatukan bertinggi 2,77 meter. Arca diduga berasal dari abad ke-6 atau ke-7 atau ketika masa awal Sriwijaya. Penelitian setelahnya menemukan sisa bangunan bata, arca berbahan batu, logam, dan emas, prasasti berbahan emas, serta pecahan keramik China. Semua temuan itu rata-rata berasal dari abad ke-7 hingga ke-10.
Dalam Kitab Sejarah Melayu pada 13 Mei 1612 diceritakan di Bukit Siguntang itu turun makhluk setengah dewa yang kemudian hari menurunkan raja-raja puak Melayu di Sumatera dan Semenanjung Malaysia. Oleh karena itu, Bukit Siguntang dianggap sebagai tempat asal-usul raja-raja Melayu, baik di Nusantara, khususnya Sumatera, maupun raja-raja yang pernah berkuasa di Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Patani, Thailand selatan. Alasan itulah yang membuat banyak wisatawan dari negara tersebut kerap berkunjung.
Walau peran Bukit Siguntang begitu penting, hal itu tak diketahui banyak orang, termasuk warga Palembang. Perannya kian kerdil setelah pembangunan taman pada 1992 yang memunculkan makam baru yang disebut-sebut makam raja-raja Sriwijaya. Padahal, makam itu sebenarnya tidak diketahui asal-usulnya.
Rumah tua
Lain halnya yang dilakukan Nadia (25). Ia membenahi rumah tua berumur sekitar 63 tahun berarsitektur kolonial di Jalan Merdeka, Palembang, dan menjadikannya kedai kopi Rumah Loer. Rumah di kawasan inti kota Palembang itu sudah tidak dihuni selama 10 tahun.
Banyak kebocoran di atap dan tidak terurus. Butuh waktu sekitar tiga bulan untuk memperbaiki beberapa bagian. Dengan beragam pembenahan yang menelan biaya puluhan juta rupiah, pada 6 Maret 2021, Rumah Loer pun dibuka.
Strategi memanfaatkan rumah lama ini ibarat menemukan harta karun karena dinilai ampuh untuk menciptakan suasana berbeda di kedainya di tengah ratusan kedai kopi yang sudah menjamur di Palembang. ”Sepanjang 2021 saja terhitung sudah lebih dari 21 kedai kopi yang berdiri,” katanya.
Di Jalan Merdeka tempat Rumah Loer berdiri berjajar beragam bangunan tua berarsitektur kolonial Belanda, termasuk Kantor Wali Kota Palembang, yang di masa kolonial Belanda merupakan Kantor Ledeng (Watertoren en gemeentehuis).
Jalan Merdeka juga menghubungkan kantor pemerintahan dengan kawasan Talang Semut, kawasan real estat pertama di Palembang yang diciptakan arsitek Belanda, Herman Thomas Karsten, tahun 1929.
Berdasarkan buku berjudul Fragmen Peradaban Palembang Tempo Doeloe dari Sriwijaya hingga Kolonial karya Aryandini Novita dan Sondang M Siregar, Talang Semut merupakan kawasan real estat pertama di Palembang. Rumah-rumah di area itu dibangun bagi warga kelas satu di Palembang, seperti pejabat pemerintahan, dan juga disewakan bagi pendatang dari Eropa.
Dengan nilai penting yang ada di Jalan Merdeka dan kawasan Talang Semut, Retno yang juga Ketua Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Palembang menilai kedua kawasan ini bisa diusulkan sebagai kawasan cagar budaya. Selain dari sisi arsitektur, kawasan ini memiliki nilai sejarah yang sangat penting.
Penasihat Komunitas Sahabat Cagar Budaya, Evy Apriani, mengatakan, membangun unit usaha dengan memanfaatkan situs maupun bangunan bersejarah adalah salah satu upaya untuk mempertahankan bangunan agar tetap terawat. Namun, jangan sampai hal itu mengubah atau bahkan merusak situs yang sudah ada.
Apalagi jika kawasan tersebut sudah berstatus sebagai kawasan diduga cagar budaya yang berdasarkan Undang-Undang Cagar Budaya Nomor 11 Tahun 2010 sudah diperlakukan sama dengan bangunan cagar budaya. ”Tentu segala perubahan yang dilakukan harus atas rekomendasi tim ahli cagar budaya,” ucap Evy.
Kepala Dinas Pariwisata Kota Palembang Isnaini Madani mengapresiasi kreativitas dan inovasi anak muda Palembang dalam membangun kedai kopi di sejumlah situs bersejarah. Langkah ini diharapkan dapat merangkul kaum milenial agar lebih mengenal sejarahnya.
Apalagi di situasi pandemi seperti saat ini, tempat wisata baru sangat dibutuhkan untuk membuka lapangan kerja baru. Pengenalan sejarah pun dapat dilakukan dengan beragam cara, bahkan mulai dari secangkir kopi.
Baca juga : Kenang dan Selamatkan Wajah Pembentuk Geliat Kota Bandung