”Menertawakan” Hidup Bersama Prie GS dalam 57 Bingkai Kartun
Pameran kartun digelar untuk mengenang budayawan Semarang, Prie GS. Dari karya-karyanya semasa hidup, Prie GS mengajak manusia untuk tersenyum, penuh introspeksi dalam setiap episode hidup. Ikhlas.
”Tuhan Itu Satu, Bukan Situ”
”Hidup Itu Keras Maka Gebuklah”
”Saat Hati Mendengki Wajah Menjelek”
”Setelah Harta Lalu Popularitas, Itulah Syahwat Progresif”
”Puncak Karir Adalah Komitmen”
Sederet ungkapan jenaka, agak menyentil, juga memotivasi, disisipkan pada sejumlah gambar kartun almarhum Prie GS dalam Pameran Kartun Nasional ”Ora Mung Nyengenges” di Galeri Nusantara, Fakultas Ushuluddin dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang, Jawa Tengah, Kamis (8/4/2021). ”Sang Penggoda Indonesia” dalam 57 bingkai kartun.
Pameran sekaligus bentuk penghormatan itu digagas Program Studi Ilmu Seni dan Arsitektur Islam Fakultas Ushuluddin dan Humaniora (Fuhum) UIN Walisongo bersama Komunitas Kartun Gold Pencil. Berlangsung 8-18 April 2021, ditampilkan 57 karya kartunis dari sejumlah daerah, seperti Semarang, Kendal, Jabodetabek, hingga Jambi, Bali, dan Makassar. Angka 57 merujuk pada usia Prie GS saat tutup usia.
Prie, yang memiliki nama asli Supriyanto GS, lahir di Kabupaten Kendal, 3 Februari 1964, dan meninggal di Semarang pada 12 Februari 2021. Mengawali karier sebagai wartawan Suara Merdeka, Prie kemudian menghasilkan karya seperti puisi, cerpen, kolom, dan kartun yang banyak terbit di media massa. Serial cerita Ipung menjadi salah satu yang terkenal. Ia pun dikenal sebagai pembicara di berbagai seminar.
Catatan Kompas, Prie pernah meraih peringkat ketiga Lomba Kartun Nasional yang digelar di Galeri Pasar Seni Ancol, Jakarta, 1-5 April 1993. Ketika itu, Prie menggambar bapak berdialog dengan anaknya. Dalam kartun tersebut, taring sang anak ternyata lebih besar daripada taring ayahnya. Prie mendapat hadiah Rp 500.000 dari lomba itu (Kompas, 6 April 1993).
”Dalam karya-karyanya, Pak Prie memiliki gagasan kuat, dengan menyampaikan isu-isu sosial, terutama terkait masyarakat bawah. Namun, cara menyampaikannya unik dan bisa diterima siapa pun. Beliau inspirator,” kata Ketua Gold Pencil Abdul Arif, di Semarang, Kamis (8/4/2021).
Baca juga: Perginya Sang Penggoda Indonesia
Kepada para kartunis muda, lanjut Arif, Prie kerap memberikan nasihat-nasihat yang memotivasi, antara lain membalikkan kelemahan sebagai kekuatan. Dipesankan juga oleh Prie bahwa dalam menggambar itu tidak harus indah. Yang penting, bagaimana menikmatinya secara psikologis dan berani menyampaikan.
Sementara tema ”Ora Mung Nyengenges” berkait dengan candaan khas Prie GS. ”Kata-kata beliau kadang jenaka. Jawaban-jawabannya bernada humor, tetapi di situ ada nilai lain yang menyadarkan kita. Seperti gaya menertawakan diri sendiri, dalam hal ini juga berarti introspeksi dan memotivasi yang lainnya,” kata Arif.
Penyair dan cerpenis asal Semarang, Triyanto Triwikromo, menuturkan, nyengenges, yang identik dengan Prie GS, adalah satu tahapan yang intinya menerima realitas yang dihadapi. ”Nyengenges sebenarnya identik dengan peledekan diri sendiri. Kita tertawa kalau kita manusia yang lemah. Penerimaan. Ada kedaifan,” katanya.
Nyengenges sebenarnya identik dengan peledekan diri sendiri. Kita tertawa kalau kita manusia yang lemah. Penerimaan. Ada kedaifan. (Triyanto Triwikromo)
Totalitas
Rektor UIN Walisongo Imam Taufiq mengenang perkataan Prie GS ketika menjadi pembicara pada webinar Moderasi Beragama berbasis Indigenous Religiosity pada 2020. Seperti biasa dilakukannya, Prie berbicara dengan suasana penuh canda dan cair. Namun, di balik itu semua, ia memberi makna yang sangat substansial.
”Saya melihat Mas Prie GS ini totalitas keikhlasan. Jadi, karya seni hebat dan cair sehingga tak membutuhkan energi banyak untuk memahami. Mudah diresapi. Kesannya cengengesan atau ngguya ngguyu (tertawa), tetapi bermakna substantif. Mudah-mudahan inspirasi dari beliau membuat bangsa dan negara lebih baik,” katanya.
Baca juga: Selamat Jalan Prie GS, Penulis, Budayawan, dan Motivator Bangsa
Dekan Fakultas Ushuluddin dan Humaniora UIN Walisongo Hasyim Muhammad menuturkan, kepergian Prie GS menjadi kehilangan luar biasa bagi warga Semarang, khususnya yang banyak mendapat bimbingan dari almarhum. Adapun kegiatan ini sebagai bagian dari upaya menyambungkan tali rohani dengan almarhum.
Sebelumnya, seniman asal Semarang, yang juga pengasuh Sanggar Tari Greget, Yoyok B Priyambodo, menilai Prie sebagai sosok sederhana dan menyenangkan. ”Beliau sangat bersahaja dan bersahabat dengan siapa pun. Beliau tidak pernah marah dan selalu tertawa,” katanya.
Ia menambahkan, saat mengerjakan sesuatu, Prie melakukannya dengan senang hati. Namun, di sisi lain, almarhum juga dikenang sebagai sosok yang blak-blakan ketika mengungkap kebijakan pemerintah yang dinilai kurang tepat. Salah satu yang disorotinya ialah terkait korupsi.
Ketua Dewan Kesenian Semarang sekaligus sahabat Prie GS, Handry TM, dalam artikelnya di Kompas.id, 14 Februari 2021, menyebut tulisan-tulisan Prie GS selalu menggunakan bingkai keindonesiaan kental. Demikian pula dalam novel serial Ipung (3 jilid tamat). Novel remaja itu ditulis ketika dia masih bekerja di tabloid Cempaka Minggu Ini, mengisahkan seorang remaja dalam kondisi susah, tetapi memperjuangkan realitas moralnya dengan sederhana.
Novel itu laris manis di toko buku hingga penjualan daring, sampai akhirnya pemasaran ditangani sendiri oleh Suha, putri pertama Prie GS. ”Tulisan-tulisan tersebut akhirnya mengalami metamorfosis setakar dengan pasarnya sebagai public speaking ber-tagline ’Sang Penggoda Indonesia’,” tulis Handry.
Hal tersebut terlihat dari berpuluh judul bukunya yang menggoda, di antaranya Merenung Sampai Mati (2004), Mari Menjadi Kampungan (2005), Hidup Bukan Hanya Urusan Perut (2007), Catatan Harian Sang Penggoda Indonesia (2009), dan Waras di Zaman Edan yang sangat menohok.
Lebih dari sekadar literasi dan karya seni, Prie meninggalkan warisan nilai-nilai kehidupan seorang manusia yang akan selalu penuh hitam-putih. Alih-alih mengeluhkan situasi, Prie mengajak kita semua nyengenges, tersenyum dan ikhlas.