Impor Gula Bisa Patahkan Semangat Petani di Cirebon
Peningkatan luas area tanam tebu di Kabupaten Cirebon menunjukkan minat petani menanam tebu. Namun, semangat itu terancam pupus karena impor gula.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Peningkatan luas area tanam tebu di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, menunjukkan minat petani menanam tebu. Namun, semangat itu terancam pupus karena regulasi pemerintah yang dinilai mempermudah impor sehingga menekan harga gula di tingkat petani.
General Manager Unit Pabrik Gula Tersana Baru, Cirebon, Wisri Mustofa mengatakan, luas area tebu untuk pabrik mencapai sekitar 4.500 hektar pada tahun ini. Jumlah ini meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yakni 4.100 hektar. Selain dari Cirebon, sekitar 1.000 hektar lainnya berasal dari Brebes (Jawa Tengah) dan Kuningan (Jabar).
”Tanaman tebu di Cirebon semakin banyak. Artinya, petani untung,” katanya, Jumat (9/4/2021). Selain itu, program Geray Manteb (Gerakan Ayo Menanam Tebu) dari PT PG Rajawali II juga diklaim meningkatkan luas area tebu. Melalui program ini, petani bisa mengakses kredit usaha rakyat, termasuk dana sewa lahan.
Wisri pun optimistis, penambahan lahan tebu bisa memasok 3,5 juta kuintal tebu untuk digiling di PG Tersana Baru, akhir Mei mendatang. Adapun rendemen tahun ini ditargetkan 7,36 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yakni 6,83 persen. Pihaknya juga telah memperbaiki sejumlah mesin pabrik.
Wisri memastikan akan menetapkan rendemen sebelum giling, bukan di akhir periode. Beberapa tahun lalu, rendemen dipastikan pada periode akhir giling sebelum pembagian hasil penjualan dengan komposisi 66 persen petani dan 34 persen pabrik. ”Yang jelas, bagian pabrik tidak akan lebih dari 34 persen,” katanya.
Berbagai upaya itu diharapkan meningkatkan minat petani menanam tebu. Harapannya, tahun depan ada penambahan minimal 600 hektar lahan tebu lagi. Tahun ini, tercatat area tebu di Cirebon bertambah 450 hektar. ”Harapannya, tahun 2023, PG Sindanglaut bisa giling. PG Tersana Baru juga giling,” ujarnya.
Sejak tahun lalu, PG Sindanglaut tidak lagi menggiling tebu. Sebelum 1995, ada delapan pabrik gula di Jabar. Kini tersisa PG Tersana Baru dan PG Jatitujuh di Majalengka yang masih menggiling tebu. Selain kekurangan bahan baku, mesin pabrik juga tua sehingga tidak efisien.
Jangan sampai semangat petani jatuh karena impor gula.
Mae Azhar (38), petani tebu di Sindanglaut, mengatakan, petani mulai semangat menanam tebu karena ada program pinjaman sewa lahan dan perawatannya tidak serumit komoditas lainnya. ”Tetapi, jangan sampai semangat petani jatuh karena impor gula. Saya yakin, harga gula pasti jatuh kalau impor,” katanya.
Sebelumnya, pemerintah menerbitkan izin impor berkisar 680.000 ton dalam bentuk gula mentah (raw sugar) dan gula kristal putih atau gula konsumsi 150.000 ton. Impor dilakukan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan mengantisipasi lonjakan harga karena musim giling tebu setelah Idul Fitri. Padahal, kebutuhan gula biasanya meningkat saat Ramadhan (Kompas, 16/3/2021).
Azhar juga menilai pemerintah menerbitkan regulasi yang melonggarkan impor gula. Regulasi yang dimaksud adalah Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 3 Tahun 2021 tentang Jaminan Ketersediaan Bahan Baku Industri Gula dalam Rangka Pemenuhan Kebutuhan Gula Nasional. Pasal 2 Permenperin No 3/2021, misalnya, menyebutkan, produksi gula kristal putih (GKP) atau gula konsumsi menggunakan bahan baku dari dalam negeri dan luar negeri.
Ketika impor gula dipermudah, lanjut Azhar, ongkos produksi tebu justru semakin meningkat. Mayoritas petani terpaksa menggunakan pupuk nonsubsidi karena tidak mendapatkan jatah pupuk bersubsidi. Ongkosnya pun naik dari sebelumnya Rp 3 juta per hektar menjadi Rp 7 juta per hektar.
”Harga gula di petani seharusnya Rp 12.500 per kilogram. Kalau Rp 11.000 ke bawah, petani pasti rugi. Apalagi, ada impor,” ucapnya.