Jalan Rusak yang Ditanami Pisang hingga Blokade di Konawe Selatan
Warga Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, menanam pohon pisang di badan jalan untuk memprotes pemerintah yang tak kunjung memperbaiki kerusakannya. DPRD Sultra mengakui, jalan provinsi rusak tidak diperbaiki total.
Mengendarai motor yang baru dibelinya dua tahun lalu, Rugaenah pelan melaju di jalan yang berdebu. Meliuk menghindari lubang, ia berhenti saat mobil melaju dari arah berlawanan. Ada pohon pisang ditanam di tengah jalan.
Berbincang sebentar dengan pengendara mobil yang berbalik arah, ia lalu melanjutkan perjalanan. Kepala Sekolah Dasar Negeri 11 Tinanggea, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, ini menuju sekolah membawa beberapa peralatan kebersihan.
Di usia kepala lima, ia masih bisa mengendarai motor dengan lincah. Motornya bergerak ke kanan, kiri, menghindari lubang yang menganga di sepanjang jalan.
”Motor ini sudah pernah bengkok velgnya. Tahun lalu, pas hujan, jalanan tertutup air jadi kita tidak lihat yang mana lubang. Makanya, harus hati-hati kalau lewat sini, banyak jebakannya,” kata Rugaenah, Senin (5/4/2021), di Desa Lalunggasu, Tinanggea.
Sejak puluhan tahun lalu, terang Rugaenah, jalan di desanya ini memang rusak dan berlubang. Semakin waktu, kerusakan bertambah parah. Jalur di Desa Lalunggasu ini merupakan jalan penghubung Konawe Selatan (Konsel) dengan kabupaten sebelah, Bombana. Jalan yang merupakan tanggung jawab provinsi ini mempersingkat jarak sekitar 30 kilometer dari jalur lainnya.
Perbaikan, terang Rugaenah, memang dilakukan beberapa kali dalam dua dekade terakhir. Namun, perbaikan dengan menambal lubang hanya bertahan beberapa pekan. Setelahnya, jalan kembali rusak dan berlubang.
Terlebih, medio 2019, truk beraneka jenis rutin hilir mudik di jalan ini. Truk tersebut milik sejumlah perusahaan tambang dan perkebunan tebu, baik di Konawe Selatan maupun Bombana. Tak ayal, kerusakan jalan bertambah.
”Jadi, kalau warga tanam pisang di tengah jalan itu dimaklumi. Karena kami warga di sini juga kesulitan. Malah di kelurahan sebelah itu sampai blokir jalan larang mobil lewat,” terangnya.
Baca Juga: Tahunan Tanpa Perbaikan, Warga Konawe Selatan Tanam Pisang dan Blokade Jalan
Di Kelurahan Ngapaha, tepatnya di Jembatan Tawaoputu, jembatan sepanjang sekitar 10 meter terlihat penuh dengan batu gunung. Batu sebesar lemari memenuhi jalan. Jembatan selebar sedikitnya 4 meter itu hanya tersisa 1 meter untuk pengendara roda dua.
Randi (30), warga Kendari, memarkir mobilnya setiba di Jembatan Tawaoputu. Bersama keluarga, ia berangkat dari Kendari, menempuh perjalanan selama sekitar 2,5 jam, untuk mengunjungi sanak saudara di Kelurahan Ngapaha. Namun, jembatan yang diblokade warga membuatnya tidak bisa melalui jalan ini.
”Mau tidak mau harus memutar. Baru tahu juga kalau jalan ini ditutup warga,” ucapnya.
Meski sedikit kesal, Randi juga mengerti kekecewaan warga di wilayah ini. Berkali-kali melalui jalan ini, ia merasakan kesulitan dalam berkendara. Kendaraan harus berjalan pelan melewati jalan yang aspalnya bolong di sana-sini dan berlubang dalam.
Tidak jarang terjadi kecelakaan, khususnya pengendara roda dua yang terjatuh di jalan yang berlubang. Perjalanan dari Kendari ke Tinanggea yang berjarak sekitar 100 kilometer sering harus ditempuh 3-4 jam. waktu tempuh normal jalur ini sekitar 2,5 jam.
Sejak Minggu (4/4), sejumlah warga Kelurahan Ngapaha, Tinanggea, sepakat memblokade jalan. Menggunakan truk, mereka mengambil batu gunung dan menurunkan di jembatan. Alhasil, jalan tersebut hanya bisa dilalui satu motor. Mobil dan kendaraan lainnya harus memutar untuk melintasi wilayah ini.
Baca Juga: Belasan Rumah Warga Retak Terimbas Megaproyek Jalan Wisata Pemprov Sultra
”Setiap pagi, sore, malam, kalau kita kumpul, yang kami dengar cuma keluhan warga terkait jalan rusak. Hampir tiap hari juga ada kecelakaan di Ngapaha atau desa lainnya. Jadi, kami ambil langkah untuk blokade saja,” tutur Jusmani, perwakilan warga.
Langkah ini ditempuh, kata Jusmani, karena menanam pohon tidak membuat pemerintah memberikan perhatian. Sejumlah desa di Konawe Selatan telah menanam pohon sejak beberapa hari lalu. Akan tetapi, pemerintah tetap tidak memberikan tanggapan.
Dengan blokade jalan, tutur Jusmani, bukan bermaksud untuk membuat pengendara kesulitan. Aksi ini semata-mata agar pemerintah mengambil langkah dan segera memperbaiki jalan yang telah rusak puluhan tahun lamanya.
Sebab, masyarakat juga telah bosan mendapat janji manis perbaikan jalan. Beberapa bulan lalu, Pemerintah Provinsi Sultra bahkan menjamin ada perbaikan jalan. Nyatanya, hingga April 2021 ini, pekerjaan tidak kunjung ada. Alokasi anggaran di dinas terkait juga tidak ditemukan.
”Kami tidak minta ada fasilitas mewah. Tidak minta proyek jalan triliunan rupiah seperti jalan wisata Toronipa. Kami ini hanya ingin jalan di daerah kami bagus dan tidak berlubang. Sudah puluhan tahun kami tersiksa,” katanya.
Dukungan
Sedikitnya ada puluhan kilometer jalan di Konawe Selatan yang rusak. Sejak dari Kecamatan Palangga, jalan berlubang. Memasuki Andoolo, yang juga tempat kantor Bupati Konsel, dan rumah jabatan pejabat, jalanan sebagian besar teraspal mulus.
Setelahnya, memasuki Kecamatan Tinanggea, jalanan rusak dan berlubang parah. warga di banyak lokasi menanam pisang di tengah jalan. Sedikitnya ada 30 pohon tersebar di Palangga hingga Tinanggea.
Baca Juga: Jembatan Teluk Kendari Bakal Percepat Konektivitas
Supri (48) ikut bersama warga Desa Watumerembe, Palangga, lainnya mengambil 10 pohon pisang dari kebun. Setelahnya, pohon-pohon pisang itu ditaruh di tengah jalan. Berderet sekitar 1 kilometer panjangnya.
Ia ikut gerakan menanam pisang di jalan karena kesal jalanan di depan rumahnya tersebut tidak kunjung mendapat penanganan. Ia bosan melihat kecelakaan yang rutin terjadi. Tidak hanya pelintas, tetapi juga warga sekitar.
”Ini jalan provinsi, tetapi tidak pernah ada perbaikan. Mungkin kalau mereka lewat pakai mobil bagus jadi tidak rasa kalau jalanan rusak. Sementara kami di sini penuh debu, macet, dan kalau hujan penuh lumpur,” ucapnya.
Ketua Komisi III DPRD Konsel Herman Pambahako menuturkan, kondisi jalan di beberapa bagian wilayah Konsel memang rusak berat. Jalan yang merupakan tanggung jawab Pemprov Sultra tersebut telah puluhan tahun tidak diperbaiki secara total.
Aksi masyarakat, tutur Herman, bisa jadi wujud kekecewaan karena perbaikan jalan yang tidak pernah tuntas. Sejumlah ruas jalan di Palangga dan Tinanggea yang merupakan jalan penghubung utama antarkabupaten rusak dan berlubang.
”Kami paham kenapa warga sampai tanam pisang, juga blokade jalan. Namun, kami di Dewan tidak bisa berbuat banyak karena itu bukan jalan kabupaten. Dengan situasi ini, kami akan berkoordinasi untuk mempertanyakan hal ini ke provinsi. Tidak gampang juga mengambil alih pekerjaan jalan karena itu harus ada penurunan status,” papar Herman.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Sultra, ruas jalan yang menjadi kewenangan Pemprov Sultra di Konsel sepanjang 237 kilometer. Jumlah ini merupakan yang terbanyak di antara total 17 kabupaten dan kota di Sultra.
Sementara itu, dari total 1.001 kilometer panjang jalan di kabupaten dan kota, sebanyak 121 kilometer di antaranya dalam kategori rusak berat. Sebanyak 94 km dalam kondisi rusak dan 257 km rusak sedang. Panjang jalan ini belum termasuk jalan provinsi dan jalan nasional.
Kepala Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air Sultra Abdul Rahim yang dihubungi tidak menjawab panggilan telepon hingga Selasa malam. Pertanyaan yang dikirimkan melalui pesan pendek juga tidak dibalas.
Andi Awaluddin, dosen Universitas Muhammadiyah Kendari, menilai aksi tanam pohon masyarakat hingga memblokade jalan merupakan langkah wajar untuk menarik perhatian Pemprov Sultra. Sebab, selama puluhan tahun jalan yang menjadi urat nadi aktivitas masyarakat itu terabaikan dan tidak mendapat penanganan.
”Jalan itu infrastruktur utama, tetapi kenapa diabaikan. Jalan ini penghubung kabupaten dan selayaknya diperbaiki. Bukan malah membuat proyek mercusuar dengan anggaran triliunan,” tuturnya.
Berbagai proyek mercusuar tersebut di antaranya adalah jalan wisata Kendari-Toronipa senilai Rp 1,1 triliun, Rumah Sakit Jantung Rp 426 miliar, dan perpustakaan modern senilai Rp 100 miliar. Sejumlah pihak menilai proyek-proyek ini tidak menyentuh langsung masyarakat, menghabiskan anggaran, dan rawan menjadi bancakan. Terlebih lagi, anggaran yang digunakan merupakan pinjaman.
Baca Juga: Tiga Megaproyek Senilai Sepertiga APBD Sultra Mulai Berlangsung
Selama tiga tahun terakhir, tambah Awaluddin, ia melihat kebijakan Pemprov Sultra tidak berfokus pada pelayanan masyarakat. Hal itu secara sederhana terlihat dari kebijakan infrastruktur jalan yang tidak melihat urgensi dan manfaat secara luas. Akibatnya, masyarakat di daerah seperti tidak mendapat perhatian dari Pemprov Sultra yang memiliki tanggung jawab terhadap jalan dan infrastruktur lainnya.