Warga Pulau Kemaro Berbagi Rezeki dari Tengah Sungai Musi
Pandemi Covid-19 membuat jumlah kunjungan wisatawan ke Pulau Kemaro, Kota Palembang, Sumatera Selatan, menurun drastis. Obyek wisata di tengah Sungai Musi itu menjadi salah satu sumber penghasilan warga Pulau Kemaro.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·7 menit baca
Pariwisata menjadi salah satu sektor yang paling diandalkan oleh penghuni Pulau Kemaro. Sebuah pulau yang terletak di tengah Sungai Musi, Sumatera Selatan, itu merekam jejak sejarah setidaknya sejak zaman Kesultanan Palembang Darussalam atau bahkan lebih lama dari itu. Hanya saja, kala pandemi melanda, pendapatan sejumlah warga Kemaro pun menurun drastis. Namun, mereka menolak gersang dan patah arang serta tetap berjuang demi mencari peluang.
Di tengah terik matahari, Hendri (47) mengendalikan perahu keteknya dari kawasan Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) Palembang menuju ke Pulau Kemaro yang berjarak sekitar 1 mil (1,6 kilometer). Dalam waktu kurang dari lima menit, perahu bermesin diesel itu pun berlabuh di dermaga Pulau Kemaro. Sekitar 40 menit menunggu, penumpang yang diangkutnya itu pun kembali. Hendri mengantarkan lagi penumpang tersebut di tempat semula.
Uang sebesar Rp 60.000 ia terima sebagai upah dari hasil kerjanya. ”Uang ini adalah penghasilan saya dalam tiga hari terakhir,” ucap Hendri. Memang akibat pandemi Covid-19, pendapatannya turun drastis. Dari yang semula Rp 300.000 per minggu kini hanya Rp 100.000 per minggu. Menurunnya jumlah pengunjung Pulau Kemaro menjadi penyebabnya.
Hendri harus berbagi rezeki dengan 15 pemilik ketek yang lain yang mencari uang dalam ”ladang” yang sama. ”Kami mengantre agar semua kebagian (penumpang),” ucapnya. Apalagi perayaan Cap Go Meh yang menjadi satu-satunya perayaan terbesar tahunan di Pulau Kemaro ditiadakan.
Padahal, di perayaan itu, biasanya puluhan ribu pengunjung datang untuk beribadah dan menyaksikan sejumlah pertunjukan khas China. Alhasil, pendapatan Rp 1,5 juta yang biasanya dia terima dari menjaga tenant di sepanjang perayaan pun harus hilang melayang.
Namun, Hendri tak patah arang, dia masih punya penghasilan lain dari menggarap sawah miliknya berukuran setengah hektar. Walau panen hanya setahun sekali, dari sawah inilah dia bisa menafkahi keluarganya. Dari hasil bertani, Hendri bisa mendapatkan gabah sekitar 3 ton per tahun.
Hanya saja, harga gabah tahun ini hanya Rp 4.000 per kilogram (kg), turun dari tahun lalu yang bisa mencapai Rp 4.500 per kg. Walau kondisi ekonomi saat ini tengah seret, Hendri tak pernah mengeluh, senyum pun berkali-kali tersungging di wajahnya.
Dedi Irawan (37) mencari berkah di sisi lain Pulau Kemaro. Dia menunggu di depan pagoda berlantai sembilan yang menjadi ikon pulau seluas 82 hektar itu. Dengan menenteng kamera DSLR-nya, Dedi menawarkan jasa ke setiap pengunjung yang datang. ”Mau foto, Bu? Bisa langsung cetak,” rayunya.
Kala itu, sekitar 30 wisatawan dari perkumpulan pengajian di kawasan Pakjo Palembang sedang berwisata. Beberapa orang di antaranya tertarik menggunakan jasa Dedi. Selain menjadi fotografer, dia juga merangkap sebagai pengarah gaya agar hasil foto sedap dipandang mata. Bak fotografer profesional, Dedi pun mengarahkan, ”Siap ya, 1… 2… 3,” ujarnya.
Setelah mengambil gambar, Dedi bergegas ke sebuah posko semipermanen tempat tiga mesin cetaknya berada. Dengan kartu memori kamera dimasukkan dalam mesin cetak itu, perlahan gambar pun tercipta. Dari cetakan fotonya itu, Dedi mendapatkan upah Rp 20.000 per foto.
Kenaikan kunjungan wisatawan ke Pulau Kemaro dalam satu bulan terakhir menjadi angin segar baginya. Ini lebih baik dibandingkan dengan akhir tahun 2020 di mana Kemaro sangat sepi. Akibatnya, dia harus mencari pekerjaan lain selama tiga bulan. ”Setelah vaksinasi perlahan baru ada pengunjung yang datang,” ucapnya.
Saat ini rata-rata jumlah pengunjung sekitar 20 orang per hari. Memang jauh daripada hari normal sebelum pandemi yang bisa mencapai 40 orang per hari.
Obyek wisata
Dalam situasi pandemi, Pemerintah Kota Palembang membuat gagasan lain menciptakan wisata air di kawasan Pulau Kemaro yang akan ditargetkan tuntas pada 2023 nanti. Hal ini diutarakan Wali Kota Palembang Harnojoyo saat berkunjung ke Bungalow di Pulau Kemaro pada Februari 2021.
Wacana ini pun sudah digemakan ke sejumlah investor. ”Kalau bisa dananya jangan dari APBD, tapi dari investor,” ujar Harnojoyo kala itu. Lahan seluas 23 hektar pun sudah disiapkan menjadi lokasi pembangunan. Dengan rencana ini, diharapkan dapat menambah pendapatan daerah dari sektor wisata yang saat ini tengah terpuruk akibat pandemi.
Pukulan pandemi sangat terasa di Palembang di mana pemkot harus merevisi target kunjungan pada 2020 dari yang semula 2,2 juta wisatawan menjadi 800.000 wisatawan. Walau hingga akhir 2020, jumlah wisatawan yang datang ke Palembang mencapai 880.000 orang.
Dalam penerapannya, pemkot juga berencana untuk membuat pantai buatan di sisi Sungai Musi. Panjang garis pantai sekitar 350 meter dengan jarak dari tepi sungai sekitar 70 meter. ”Ini akan menjadi obyek pariwisata baru di Palembang,” ujar Staf Khusus Wali Kota Palembang Bidang Percepatan Pembangunan Syafri Nungcik.
Namun, rencana pemkot itu ditentang oleh sejumlah budayawan, sejarawan, dan aktivis yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Peduli Pulau Kemaro (AMPPK). Juru bicara AMPPK, Vebri Al Litani, mempertanyakan sikap pemerintah yang mencetuskan pengembangan wisata Pulau Kemaro tanpa berdiskusi terlebih dahulu dengan sejumlah pemangku kepentingan. ”Pengembangan wisata tanpa kajian itu sangat berbahaya,” ujarnya.
Apalagi dalam pengembangannya, pemkot menjadikan Pulau Kemaro sebagai Bandar Sriwijaya. Padahal, tinggalan Kerajaan Sriwijaya tidak ditemukan di sana. Pulau ini lebih pantas disebut sebagai perekam jejak Kesultanan Palembang Darusalam. Di masa itu, Pulau Kemaro merupakan benteng pertahanan terbesar dan terkuat untuk bertahan dari gempuran penjajahan Belanda.
Benteng itu dinamakan Tameng Ratu karena dijaga oleh Putra Mahkota Sultan Mahmud Badaruddin II, Pangeran Ratu. Benteng tersebut terletak di ujung Pulau Kemaro dan menghadap ke arah Sungai Komering, dilengkapi dengan cerucup yang bisa menjebak kapal. Ketika kapal itu terjebak, barulah puluhan meriam akan menggempur kapal dengan tembakan menyilang.
Vebri berharap pemerintah tidak lagi membangun kawasan wisata yang bisa mengaburkan fakta sejarah yang ada. Bahkan, Ketua Masyarakat Sejarah Indonesia Sumsel Farida Warga Dalem berpendapat, daripada menjadikan Pulau Kemaro sebagai tempat wisata air, alangkah baiknya menjadikan pulau ini sebagai gambaran ketangguhan benteng masa kesultanan.
Menurut dia, benteng tersebut menjadi penanda bahwa teknologi pertahanan Palembang saat itu sudah mumpuni dalam menahan gempuran penjajah. ”Hal ini tentu bisa menjadi pembelajaran dan kebanggaan bagi masyarakat Palembang,” ucap Farida.
Banyak alasan para penjajah ingin menguasai Palembang. Mulai dari kekayaan rempah yang ada di daerah uluan dan juga timah di mana pada zaman Kesultanan Palembang Darussalam sekitar abad ke-18, kawasan Bangka masih berada di bawah kekuasaannya.
Tinggalan sejarah
Peneliti Balar Sumsel, Retno Purwanti, sudah melakukan penelitian arkeologi di sana. Hasilnya, dia menduga Pulau Kemaro sudah dihuni sejak abad ke-17 sampai masa kemerdekaan. Ini ditandai dengan ditemukannya pecahan keramik China dari masa Dinasti Yuan (1271-1368) sampai Dinasti King (1644-1912). Dari sistem penanggalan diketahui, Pulau Kemaro sudah digunakan sejak masa Keraton Kutogawang sampai masa kolonial Belanda.
Selain itu, di bagian barat laut juga ditemukan bungker, landasan meriam, dan dermaga yang dibangun pada pendudukan Jepang di Palembang. Selain itu juga ditemukan pecahan bata, genteng, dan ubin. Dari sini juga diketahui bahwa pulau ini juga digunakan untuk kamp tahanan politik masa G30S.
Goni (58), warga Pulau Kemaro, menyaksikan sendiri di mana Pulau Kemaro sangat terisolasi dan dijaga ketat oleh TNI. ”Tidak boleh ada satu pun yang masuk,” ujar Goni mengisahkan. Namun, dia meyakini saat itu banyak sekali orang yang ditahan di kamp penahanan. ”Bahkan, banyak orang yang meninggal dunia dan mayatnya dibuang ke sungai,” ujar Goni.
Kepala Dinas Pariwisata Palembang Isnaini Madani berjanji akan mengumpulkan semua masukan dari berbagai pihak untuk dijadikan pertimbangan pengembangan kawasan wisata Pulau Kemaro. Dengan begitu wisata di Pulau Kemaro tidak lagi terpuruk.
Syafri pun berkomitmen tidak akan menghapus jejak sejarah yang ada di Pulau Kemaro. Selain tempat wisata, pemerintah juga akan membuat tempat khusus yang akan menggambarkan perjalanan sejarah di pulau seluas 82 hektar tersebut.
Bagi Hendri dan Dedi, kemelut yang terjadi bukanlah hal yang perlu dipersoalkan. Yang terpenting saat ini adalah bertahan hidup. Layaknya benteng yang kuat menahan gempuran penjajah, penghuni Pulau Kemaro pun bertahan di tengah gempuran pandemi.