Lokasi bencana di Pulau Adonara sulit ditembus. Gelombang laut dan hancurnya infrastrukstur menjadi kendala. Listrik padam, bahan bakar menipis. Perlu penanganan secara holistik agar daerah itu segera bangkit.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
Mata publik kini tertuju ke Adonara, pulau yang terletak di ujung timur Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Sampai Selasa (6/4/2021), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan, 49 orang meninggal dan 22 orang terluka akibat banjir bandang yang menerjang Adonara pada Minggu (4/4/2021) dini hari. Kini, untuk menjangkau berbagai lokasi bencana di pulau seluas 509 kilometer persegi, itu tak mudah.
Pesawat propeler lepas landas di Bandar Udara Sultan Hasanuddin Makassar, Sulawesi Selatan, pada Selasa (6/4) pagi dalam kondisi cuaca kurang baik. Pesawat mengudara disambut awan tebal yang menggantung di sepanjang rute menuju Bandar Udara Frans Seda di Maumere, Kabupaten Sikka, NTT.
Di rute yang diperkirakan menjadi titik tumbuhnya siklon tropis itu, beberapa kali pesawat terguncang. Selama penerbangan sekitar 1 jam 20 menit itu, awak kabin beberapa kali meminta penumpang tetap mengenakan sabuk pengaman. Di dalam pesawat terdapat sejumlah penumpang yang hendak menuju Pulau Adonara untuk urusan kebencanaan.
Tiba di Maumere, perjalanan dilanjutkan melalui jalur darat menuju Larantuka yang berada di sisi timur. Maumere dan Larantuka sama-sama berada di Pulau Flores yang terpisah jarak sekitar 137 kilometer. Perjalanan dari Maumere yang berada di pantai utara Flores lalu membelah perbukitan menuju Larantuka di pantai selatan.
Jalan Trans-Flores yang dilalui cukup lebar dan mulus, tetapi berkelok sama seperti ruas jalan lainnya di Pulau Flores. Banyak orang menjuluki Flores adalah pulau sejuta kelokan. Kelokannya yang mengocok perut. Akibat hujan deras dalam satu pekan terakhir, longsor terjadi di beberapa titik meski tidak sampai menutup ruas jalan. Butuh waktu tempuh lebih dari tiga jam untuk mencapai Larantuka.
Tiba di Larantuka, gelombang tinggi yang terjadi tiga hari terakhir, sudah reda. Sehari sebelumnya, Senin (5/3), rombongan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Letnan Jenderal Doni Monardo batal ke Adonara lantaran gelombang tinggi. Padahal, waktu tempuh penyeberangan Larantuka ke Adonara tidak lebih dari 20 menit.
”Kapal baru bisa jalan hari Selasa ini, tetapi pakai sistem buka tutup. Kalau angin, langsung tutup,” kata Mario, salah satu awak kapal penyeberangan Larantuka ke Pelabuhan Tobilota di Adonara. Segeralah berangkat sebelum cuaca buruk datang lagi.
Dengan memilih jalur itu, akan lebih mudah menjangkau satu per satu lokasi bencana dalam satu kali perjalanan. Lokasi bencana tersebar di Kecamatan Wotan Ulumado, Kecamatan Adonara Timur, dan Kecamatan Ile Boleng. Lokasi pertama yang dituju Desa Oyangbarang. Jalan menuju Oyangbarang cukup baik, tetapi di beberapa sisi jalan terdapat longsoran.
Di salah satu titik, material longsor menutup jalan sepanjang 25 meter dengan ketebalan hingga 40 sentimeter. Sejumlah anak muda dengan sukarela membersihkan jalan itu. Di beberapa ruas yang lain, tebing yang berdiri di sisi jalan mulai terbelah dari atas. ”Kalau hujan, tidak boleh lewat di sini,” kata Albertus Ama, pemandu.
Perjalanan pun tiba di lokasi pertama di Desa Oyangbarang, Kecamatan Wotan Ulumado, yang berjarak 14 kilometer dari Tobilota. Di desa itu sebanyak tiga orang terseret banjir bandang. Selasa, satu orang ditemukan meninggal dan dua lainnya masih dalam pencarian. Pencarian dilakukan oleh warga tanpa bantuan aparat. Pencarian dilakukan secara manual tanpa alat berat.
Puluhan rumah di desa itu hancur dan hanyut tanpa bekas. Material tanah bercampur batu dan potongan kayu menimbun permukiman mereka. Material itu terbawa dari pegunungan, mengalir lewat kali mati di pinggir kampung itu. Tiba di jembatan, material tersumbat lalu meluap ke permukiman.
Dari Oyangbarang selanjutnya bergerak menuju Desa Waiburak dan Kelurahan Waiwerang, ke arah timur sekitar 18 kilometer. Sebagian jalan yang sebelumnya rusak menjadi kian hancur akibat banjir dan longsor. Di salah satu titik, jalan putus dengan lebar sekitar enam meter. Warga setempat memasang papan dan balok kayu sebagai jembatan darurat. Pun hanya sepeda motor yang bisa melintas.
Sekitar 100 meter selepas dari titik itu, banjir masih menerjang jalanan dengan arus yang cukup kencang. Perlu bantuan orang lain untuk membantu melewatkan sepeda motor. Aliran air sepanjang lebih dari 100 meter melewati jalan berlubang. Pengedara sangat sulit menentukan arah.
Perjalanan pun tiba di lokasi berikutnya, banjir bandang yang meluap dari kali mati yang membelah Waiwerang dan Waiburak di Kecamatan Adonara Timur. Ratusan rumah dalam radius hingga 100 meter dari bibir sungai pun rata dengan tanah. Sebanyak sembilan orang ditemukan meninggal dan dua orang masih hilang.
Jembatan Waiburak yang menghubungkan lima dari delapan kecamatan di Pulau Adonara putus. Alternatifnya adalah melewati badan kali mati yang baru saja meluapkan material itu. Kendaraan melewati lumpur. Pun hanya kendaraan roda dua yang bisa melintas kali selebar lebih dari 50 meter itu.
Perjalanan selanjutnya menuju lokasi bencana di Desa Nelelamadiken, Kecamatan Ile Boleng, sekitar 14 kilometer ke arah timur. Desa itu berada di punggung Gunung Ile Boleng dan terletak di atas hamparan material hasil muntahan gunung tersebut.
Material itu terbawa air dan menutup permukiman sejauh lebih dari 500 meter. Ketebalan lumpur mencapai 3 meter. Sebanyak 54 orang ditemukan meninggal dan dua orang masih dalam pencarian. Lokasi tersebut dengan korban terbanyak. ”Untuk menemukan 54 korban itu, hanya ada satu alat berat saja. Itu pun milik swasta,” kata Kepala Kantor SAR Maumere I Putu Sudayana yang memimpin misi pencarian itu.
Arus transportasi di Adonara kini tersendat sehingga mobilisasi logistik pun tertahan. Sejauh ini belum ada tanda-tanda perbaikan infrastruktur atau setidaknya pembangunan jembatan darurat. ”Kondisi ini sangat menghambat distribusi logistik,” kata Saleh Kadir, relawan bencana setempat.
Banjir juga meluluhlantakkan jaringan listrik di beberapa jalur utama. Akibatnya, hampir semua warga di pulau berpenduduk sekitar 90.000 jiwa itu hidup dalam kegelapan selama tiga hari terakhir. Jaringan telekomunikasi dan internet di beberapa lokasi hilang.
Selain itu, pasokan bahan bakar menipis. Banyak kendaraan mogok. Sejumlah rumah makan tidak bisa beroperasi lantaran tak ada minyak tanah. Adonara yang kini dirundung duka kian terpuruk. Intervensi pemerintah secara holistik diperlukan agar kondisi ini cepat pulih.