Perantau NTT Berharap Ada Kabar Baik dari Lokasi Bencana di Desa
Perantau asal Nusa Tenggara Timur berharap kabar baik segera datang di tengah gangguan komunikasi dengan keluarga di kampung halaman yang terdampak bencana banjir dan longsor.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Gangguan jaringan internet dan telekomunikasi menyulitkan komunikasi antara perantau asal Nusa Tenggara Timur di Jabodetabek dan keluarga yang terdampak banjir serta longsor di kampung halaman. Mereka berharap kabar baik segera datang sembari berupaya menggalang bantuan kemanusiaan.
Siklon tropis Seroja memicu curah hujan lebat dan ekstrem di berbagai wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT). Dampaknya, terjadi banjir dan longsor yang melanda Kota Kupang, Flores Timur, Malaka Tengah, Lembata, Ngada, Alor, Sumba Timur, Rote Ndao, Sabu Raijua, Timor Tengah Selatan, dan Ende.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 68 korban meninggal dan 938 keluarga atau 2.655 jiwa terdampak bencana. Jumlah korban diperkirakan masih akan bertambah karena pendataan terus berlangsung di tengah kendala gangguan sinyal atau jaringan (Kompas, 5 April 2021).
Siklon tropis Seroja memicu curah hujan lebat dan ekstrem di berbagai wilayah Nusa Tenggara Timur.
Choky Askar Ratulela (25), perantau asal Lembata di Jakarta, terkejut ketika membaca berita tentang banjir dan longsor melanda wilayah NTT. Keterkejutannya segera berganti kekhawatiran ketika panggilan telepon ke keluarga di kampung tak kunjung tersambung, pesan singkat tak terkirim, dan hanya centang satu di aplikasi percakapan.
”Nyaris hilang kontak (dengan keluarga di NTT). Sangat susah berkomunikasi sepanjang hari Minggu dan Senin. Terakhir telepon pagi tadi. Itu pun panggilan putus sambung sampai tiga kali,” kata Choky di Jakarta, Selasa (6/4/2021).
Setelah berhasil menghubungi kerabatnya di NTT, Choky baru memperoleh kabar bahwa neneknya meninggal dan tiga kerabatnya hilang akibat tersapu banjir dan longsor yang melanda Desa Tanjung Batu, Kecamatan Ile Ape, Lembata. Dari panggilan telepon terakhir, neneknya sudah dimakamkan, tetapi tiga kerabatnya belum ditemukan.
Paskal Pelema (35), perantau asal Lembata di Jakarta, juga masih kesulitan berkomunikasi dengan keluarganya di Desa Waimatan, Kecamatan Ile Ape Timur. Informasi terakhir dari panggilan telepon, kondisi di desanya masih penuh dengan reruntuhan sehingga sulit untuk mencari para korban.
Perasaan Paskal pun campur aduk karena di Desa Walimatan itu bermukim puluhan kerabatnya. Pendataan sementara setelah banjir dan longsor, ada 23 warga di desa itu yang hilang.
”Hanya ada dua atau tiga orang yang sudah ditemukan. Yang lain belum karena masih sangat sulit untuk mencari korban. Harus ada bantuan alat berat,” ucap Paskal.
Mario Kuat Hala (28) dan keluarganya di Bekasi, Jawa Barat, pun harap-harap cemas terkait nasib keluarganya di NTT. Mereka kalang kabut karena sudah tiga hari tidak bisa menghubungi sang ayah yang tengah berada di Desa Kolilanang, Kecamatan Adonara Timur, Flores Timur. Kecamatan ini termasuk salah satu wilayah terdampak banjir dan longsor di Pulau Adonara.
Ia menghubungi beberapa saudara di Larantuka, kenalan dari lembaga swadaya masyarakat setempat, sampai menyebarkan informasi tidak bisa berkomunikasi dengan ayahnya di media sosial Instagram. Informasi itu lalu disebarkan lagi oleh kenalannya ke Twitter dengan harapan ada kabar baik yang datang.
”Beberapa jam setelah informasi itu beredar, ada panggilan masuk dari ayah. Ia mengabari kalau dalam keadaan yang baik. Kami masih terus coba untuk berkomunikasi melalui panggilan telepon, pesan singkat, dan aplikasi percakapan,” ujar Mario.
Panggilan telepon dari ayahnya itu tak berlangsung lama karena terkendala gangguan jaringan di Adonara. Ayah dan keluarganya di desa masih menunggu bantuan dan evakuasi karena akses antardesa rusak, listrik padam, dan jaringan telekomunikasi masih terganggu.
Belum pernah
Perantau asal NTT tak menyangka kalau siklon tropis Seroja yang memicu curah hujan lebat dan ekstrem menyebabkan banjir dan longsor di kampung halaman mereka. Bencana serupa belum pernah mereka alami sebelumnya.
Nicke Tkesnay (28), perantau asal NTT di Jakarta, pun terkejut ketika teman-temannya mengirimkan foto dan video situasi Kota Kupang yang porak-poranda karena hujan disertai angin kencang, banjir, dan gelombang pasang. Kerusakan juga terjadi pada kabel listrik dan garasi mobil rumahnya yang ditimpa pohon tumbang.
”Selama tinggal di NTT belum pernah ada kejadian bencana sebesar ini. Angin kencang biasa terjadi setiap tahun, tetapi tidak separah tahun ini. Bahkan, (kali ini) sampai terjadi banjir,” ucap Nicke.
Bencana yang melanda NTT ini juga memutus komunikasi dengan orangtuanya yang berada di Kecamatan Amanatun Utara, Timor Tengah Selatan. Ia terus mencoba menghubungi orangtuanya sejak tiga hari lalu dan sampai saat ini belum juga terhubung.
Sementara itu, Stenly Do Hina (29), perantau asal Sabu Raijua yang bekerja di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, pun tak menyangka bangunan dan atap rumahnya di Desa Deme, Kecamatan Sabu Liae, Kabupaten Sabu Raijua, porak-poranda diterjang hujan yang disertai angin kencang. Ia mengetahui kabar itu dari kerabatnya.
”Keluarga telepon kabari kalau atap rumah tersapu angin. Rumah tetangga ada yang sampai ambruk, tertimpa pohon tumbang. Ini baru pertama kali terjadi setahu saya. Anginnya kencang sekali, tidak seperti biasanya,” kata Stenly.
Dari panggilan telepon terakhir, pada Selasa, pukul 09.00 WIB, Stenly dikabari kalau situasi di Sabu Raijua mengkhawatirkan. Di desanya terjadi banjir, listrik padam, dan gangguan pada jaringan telekomunikasi.
”Keluarga saya di desa masih bertahan di rumah karena tidak tahu harus mengungsi ke mana,” ujar Stenly.
Mitigasi
Andreas Hugo Pareira, anggota Dewan Perwakilan Rakyat daerah pemilihan NTT I, menyampaikan, bencana alam di NTT kali ini tak terduga serta menimbulkan dampak yang parah. Oleh karena itu, menurut dia, perlu ada peningkatan mitigasi bencana.
Ke depannya, lanjutnya, pemerintah juga harus menyiapkan anggaran dan bantuan untuk pembangunan permukiman, infrastruktur jalan, dan jembatan supaya aktivitas warga dapat berangsur pulih.
Selama tinggal di NTT belum pernah ada kejadian bencana sebesar ini. Angin kencang biasa terjadi setiap tahun, tetapi tidak separah tahun ini.
”Semua pihak perlu evaluasi untuk peningkatan mitigasi. Yang terpenting saat ini memenuhi kebutuhan korban banjir dan longsor,” ujar Andreas.
Galang bantuan
Meskipun masih berbalut duka dan kepanikan akibat gangguan jaringan telekomunikasi di kampung halaman, perantau NTT pun bergerak cepat menggalang bantuan kemanusiaan.
Kalangan pemuda yang tergabung dalam Garda NTT bekerja sama dengan Saint Mary’s College Jakarta menggalang bantuan bagi korban bencana banjir dan longsor. Mereka mengumpulkan donasi antara lain tenda pengungsi, pakaian layak pakai, selimut, sembako atau mi instan, susu bayi, biskuit, obat-obatan, dan perlengkapan mandi.
Bantuan bisa disalurkan ke posko di Sekretariat Saint Mary’s Jakarta di Jalan KH Hasyhim Ashari Nomor 54 Kelurahan Petojo Utara, Jakarta Pusat.
Komunitas Perempuan Kepala Keluarga yang berada di bawah naungan Yayasan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga juga menggalang bantuan melalui platform urun dana BenihBaik. Donasi dapat diberikan di https://benihbaik.com/campaign/peduli-korban-banjir-ntt. Mereka menargetkan donasi sebesar Rp 200 juta dalam jangka waktu 90 hari. Saat ini sudah terkumpul Rp 181 juta.
Tahir Saleh Heringuhir juga menggalang donasi melalui platform urun dana Kita Bisa. Donasi dapat disalurkan lewat https://kitabisa.com/campaign/bantukorbanbanjirbandangflores. Tahir menargetkan donasi sebesar Rp 100 juta dalam waktu 30 hari. Sejauh ini telah terkumpul Rp 59 juta.