Kami Senang Ibu Kota Pindah, tetapi Enggak Mau Terlalu Heboh
Masyarakat di sekitar lokasi ibu kota negara baru di Kalimantan Timur merasa senang sekaligus cemas. Pemerintah didesak menyiapkan dulu kebijakan yang melindungi hak-hak hidup masyarakat lokal.
Beribu masalah timbul jauh sebelum ibu kota negara dipindah. Konflik lahan, kerusakan lingkungan, hingga masalah sosial menyelimuti di sekitar lokasi pemindahan ibu kota negara yang baru di Kalimantan Timur. Masyarakat sekitar pun berharap, pindahnya ibu kota bisa memberikan rasa aman dan meningkatkan perekonomian.
Asmit (69) merupakan tokoh masyarakat di Desa Bumi Harapan, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara. Rumahnya tak jauh dari lokasi yang digadang-gadang menjadi pusat ibu kota negara yang baru, lebih kurang 11 kilometer.
Sejak Presiden Joko Widodo menyampaikan Kalimantan Timur akan menjadi destinasi pemindahan ibu kota negara yang baru, jantungnya berdegub. Begitu Presiden Jokowi mengunjungi lokasi di dekat rumahnya, ia mulai yakin ibu kota bakal pindah.
Belum pernah sebelumnya saya melihat Presiden RI. Kalau pindah ke sini, mungkin bakal lebih sering, jadi bakal tahu rasanya tinggal di ibu kota. Selama ini, kan, sepi di sini. (Asmit)
Pada Kamis (11/3/2021), Asmit bercerita kembali bagaimana ia menunggu di pinggir jalan saat rombongan Presiden melintas. Ia bahkan yakin sekali Presiden Jokowi melirik ke arahnya saat membuka perlahan kaca mobil sambil melempar beberapa lembar kaus.
”Belum pernah sebelumnya saya melihat Presiden RI. Kalau pindah ke sini, mungkin bakal lebih sering, jadi bakal tahu rasanya tinggal di ibu kota. Selama ini, kan, sepi di sini,” tutur Asmit.
Asmit senang ibu kota pindah ke lokasi di dekat desanya. Desanya akan menjadi lebih ramai, pendatang kian banyak, kios yang ia jaga bisa lebih besar untuk memenuhi kebutuhan para pendatang. Desa yang baru menikmati listrik pada 2016 itu bisa saja menjadi kota besar. Ia sudah bermimpi soal itu.
Baca juga : Selamatkan Pesut, Perlu Zonasi Lindung Sebelum Ibu Kota Pindah
Bapak lima anak itu sehari-hari merupakan petani. Ia memiliki kebun sawit dan karet di belakang rumahnya. Total lahan yang ia klaim miliknya mencapai 1,25 hektar. Namun, hanya rumah dengan ukuran 15 meter x 50 meter yang sudah bersertifikat, sisanya hanya segel. Segel merupakan Surat Keterangan Penguasaan Fisik Bidang Tanah, yang biasanya dikeluarkan pemerintah desa.
”Belum disertifikat, sudah mencoba melalui Prona, katanya menunggu giliran,” ujar Asmit.
Kekhawatiran Asmit muncul di samping rasa semangatnya menyambut ibu kota negara. Ia khawatir lahan-lahan yang ia miliki bersama keluarga dicaplok orang lain. Ia khawatir akan makin banyak orang menjual tanah, artinya makin banyak pula orang yang bakal mengaku-ngaku memiliki lahan. Ia tak mau membayangkan bagaimana konflik itu bisa terjadi.
Asmit bercerita, kelima anaknya bekerja di pertambangan, sebagian bekerja di Samarinda dan Balikpapan menjadi pegawai di bandara. Mereka tidak di kampung untuk mengurus kebunnya. Jadi, ia dan istri perlu terus menengok, bahkan mulai memagari kebunnya.
Asmit disebut warga sekitar sebagai ”orang Paser”, merujuk pada salah satu subsuku Dayak. Ia tidak lahir di sana, melainkan di Tanah Grogot, Kabupaten Paser. Di Desa Bumi Harapan, ia menjadi satu dari sedikit warga lokal di tengah transmigran. Ia pun menjadi salah satu yang dihormati di desa itu.
Kami senang, tetapi enggak mau terlalu heboh. Saat ini yang kami harap sertifikat tanah bisa diurus lebih cepat.
Sebagai orang Dayak, ia biasa ke hutan mencari kehidupan melalui hasil hutan bukan kayu, seperti madu. Namun, kebiasaan itu mulai hilang sejak perkebunan kelapa sawit masuk. Sempat bekerja menjadi buruh sawit, ia kemudian membeli beberapa bidang tanah di desa itu lalu menanam sawit. Ia terbentuk menjadi petani sawit dan karet.
”Kami senang, tetapi enggak mau terlalu heboh. Saat ini yang kami harap sertifikat tanah bisa diurus lebih cepat,” kata Asmit.
Asmit sudah hampir lupa juga tak lagi kuat berburu di hutan. Istrinya pun tak lagi meramu seperti Dayak Paser yang masih memiliki akses ke hutan. Mereka sudah hidup berbaur.
Baca juga : Jokowi Lanjutkan Proyek Pemindahan Ibu Kota
Hal serupa dirasakan Khalifah, warga Kelurahan Pemaluan, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara. Ia tak lagi bisa mencari daun singkui yang mengandung MSG untuk masakannya. Daun itu diganti oleh micin yang biasa ia beli.
”Kadang masih mencari sayur di hutan, seperti rotan muda dan pakis,” ujarnya sambil duduk di depan kios. Ia kini memilih berjualan.
Khalifah tinggal persis di seberang wilayah PT ITCHI, tempat yang dikunjungi Presiden Joko Widodo dan merupakan area utama pemindahan ibu kota nantinya. Kebiasaan sebagai orang Dayak Paser sudah hilang.
Kelurahan Pemaluan ini disebut sebagai calon titik nol ibu kota negara (IKN). IKN sendiri, sesuai data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), berada di lahan 260.000 hektar atau empat kali luas Jakarta.
Ia dan Asmit sama-sama senang ibu kota bakal dipindah semakin dekat dengan kehidupan mereka. Meski belum pernah diajak berbicara oleh pemerintah terkait harapan mereka terhadap pemerintahan ibu kota, mereka percaya ide itu bisa menjadi harapan baru dan membuat hidup mereka lebih baik.
Jauh dari lokasi itu, harapan yang sama diutarakan Kepala Adat Dayak Mului Jidan. Kampungnya berlokasi sekitar 300 kilometer dari Kota Balikpapan, Kalimantan Timur. Namun, harapan akan mendapatkan kehidupan yang jauh lebih baik kian dekat ketika ia mendengar ibu kota bakal dipindah ke Kaltim.
Kampungnya hampir tidak pernah dikunjungi tenaga kesehatan, tidak ada listrik, guru jarang datang, dan baru saja menikmati air pipa dua tahun lalu. Keadaan itu sudah jadi barang biasa. Warga Mului tak pernah protes, karena, bagi mereka, hutan adat tetap terjaga. Hutan jadi identitas mereka dan pemberi kehidupan. ”Kami ingin ibu kota pindah, tetapi jangan rusak adat dan hutan kami. Itu saja,” ujarnya.
Melihat harapan yang begitu besar disertai kekhawatiran warga, pemerintah pusat maupun daerah optimistis pemindahan ibu kota akan berdampak baik dan menjadi pemecah beragam masalah di Kaltim maupun di Indonesia.
Sebelumnya, Kompas bertemu dengan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kaltim Aswin membahas persiapan daerah untuk menyambut pemindahan ibu kota negara. Aswin menjelaskan, pihaknya siap membantu pemerintah pusat untuk menyiapkan semua kegiatan di lapangan, berbagi data, hingga membentuk beragam forum diskusi.
Baca juga : Mimpi Calon Penyangga Ibu Kota Baru dan Bayang-bayang Krisis Air
Permasalahan sosial, lanjut Aswin, yang akan timbul karena ada 500.000 pekerja atau pendatang yang bakal hadir di Kaltim pada tahap pertama, sudah diantisipasi. Ia percaya Kaltim merupakan wilayah yang heterogen. Banyak suku bangsa berbeda yang sudah hidup berbaur di Kaltim, termasuk di sekitar lokasi calon ibu kota.
”Kedatangan orang dari luar memang selalu menjadi hal baru. Namun, di sini warga sudah terbiasa dengan itu karena masyarakatnya memang sudah heterogen,” kata Aswin.
Kedatangan orang dari luar memang selalu menjadi hal baru. Namun, di sini warga sudah terbiasa dengan itu karena masyarakatnya memang sudah heterogen.
Menurut Aswin, dengan sendirinya akan muncul transformasi budaya, teknologi, dan hal lainnya yang menjadi hal positif di tengah masyarakat. Selalu ada waktu dan kesempatan untuk beradaptasi.
Antropolog Dayak dari Universitas Mulawarman, Simon Devung, mengungkapkan, kekhawatiran masyarakat terkait budaya dan lahan sudah terjadi di Kaltim jauh sebelum rencana ibu kota negara itu dipindahkan. Alih fungsi lahan dari hutan menjadi perkebunan, usaha kayu, dan tambang sudah banyak merenggut hak-hak hidup masyarakat adat, bahkan masyarakat lokal.
”Jangan terlalu terburu-buru, siapkan dulu kebijakan yang melindungi hak-hak hidup masyarakat lokal di sini. Lihat saja Betawi atau Aborigin di Australia, di mana mereka tinggal sekarang,” ungkap Simon.
Baca juga : Tahun Ini Peletakan Batu Pertama Istana Presiden di Kaltim
Simon menambahkan, tanpa kebijakan yang melindungi masyarakat lokal, konflik sosial akan semakin mekar. Apalagi dengan banyaknya tenaga kerja yang akan datang secara mendadak ke Kaltim atau para aparatur sipil negara yang datang dari luar daerah.
”Pemerintah perlu punya konsep untuk persiapan manusianya, penciptaan suasana, kelola dan kontak sosial juga hubungan sosial. Ini bukan sekadar membuka lapangan pekerjaan. Jangan sampai konflik saja yang didapat ujungnya,” ungkap Simon.