Angan-angan Lumbung Pangan
Proyek lumbung pangan nasional sejak seperempat abad lalu selalu menyisakan bencana. Petani yang kenyang dengan janji sejahtera tak mau tertipu lagi. Kini mimpi lumbung pangan melambung lagi seiring pemindahan ibu kota.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F07%2F20200709IDO_Presiden_Food_Estate3_1594300377.jpg)
Presiden Joko Widodo memantau langsung lokasi program lumbung pangan nasional di Desa Bentuk Jaya, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, Kamis (9/7/2020).
Kebutuhan pangan saat pemindahan ibu kota negara ke lokasi baru di Kalimantan Timur tidak bisa dianggap remeh. Memberi makan 500.000 orang bukan perkara mudah. Program strategis nasional lumbung pangan di Kalteng mungkin bisa jadi jawaban. Walakin, program yang disebut food estate itu masih menemukan banyak masalah dan dibayangi kegagalan.
Di Kalimantan Timur, kebutuhan pangan disiapkan untuk 3,77 juta penduduk yang tersebar di 10 kabupaten dan kota. Jika seluruh aparatur sipil negara (ASN) ibu kota berpindah juga, kebutuhannya berlipat, diperkirakan menjadi 5,58 juta orang.
Saat ini, data dari Dinas Pangan, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Kalimantan Timur mencatat kebutuhan beras di Kaltim mencapai 456.000 ton per tahun. Untuk memenuhi kebutuhan itu, beras produksi lokal, baik persawahan maupun padi ladang, mencapai 300.000 ton per tahun. Kekurangannya dipasok dari Pulau Jawa, Sulawesi, serta beras impor. Begitu juga kebutuhan lainnya, seperti daging, sayuran, dan kebutuhan pokok lainnya.
Kebutuhan beras di Kaltim mencapai 456.000 ton per tahun. Untuk memenuhi kebutuhan itu, beras produksi lokal, baik persawahan maupun padi ladang, mencapai 300.000 ton per tahun.
Dengan keadaan seperti itu, memenuhi kebutuhan pangan para pekerja pun akan menjadi pekerjaan rumah yang tidak mudah. Apalagi jika 1,5 juta ASN beserta keluarganya akan pindah ke lokasi baru nanti.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F01%2Fcd494770-02f1-41c8-a1c0-d51fb7244da3_jpg.jpg)
Seorang petani di Desa Belanti Siam, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, pada Jumat (29/1/2021) duduk di atas karung-karung gabah kering hasil panen di lokasi lumbung pangan. Hasil panen kali ini jauh dari harapan petani.
Pemerintah kemudian pada tahun 2019 memulai program strategis nasional di Kalimantan Tengah yang disebut food estate atau lumbung pangan. Program ini dilaksanakan di dua kabupaten pada tahap awal, yakni Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau. Rinciannya, seluas 10.160 hektar di Kabupaten Pulang Pisau dan 20.000 hektar di Kabupaten Kapuas. Totalnya 30.160 hektar, hampir sama dengan setengah luas Provinsi DKI Jakarta.
Penanaman padi tahap pertama dilakukan langsung oleh Presiden Joko Widodo pada 8 Oktober 2020 di Desa Belanti Siam, Kabupaten Pulang Pisau, Kalteng. Desa itu masuk dalam kawasan Center of Excellence (CoE) yang luasnya mencapai lebih kurang 2.000 hektar di persawahan milik masyarakat setempat.
Baca juga : Meski Tuai Banyak Kritik, Program Lumbung Pangan Tetap Dimulai
Dalam kesempatan itu, Presiden Jokowi mengungkapkan program tersebut bakal diperluas hingga 168.000 hektar, baik di kawasan persawahan yang sudah ada maupun kawasan yang bakal dibuka baru untuk persawahan. Meskipun demikian, hingga kini belum ada data pasti mengenai total luas lahan dalam proyek lumbung pangan itu.
Petani kemudian diminta menanam pada bulan Oktober, lebih cepat dari yang biasa mereka lakukan. Heriyanto, Sekretaris Kelompok Tani Sido Mekar di Desa Belanti Siam, hanya menghasilkan 1,4 ton per hektar. Biasanya ia bisa mendapatkan hasil 3-4 ton per hektar. Hal serupa dialami 37 petani yang menjadi anggota kelompok taninya.
Menurut Heriyanto, menanam pada bulan Oktober terlalu dini. Biasanya ia dan anggota kelompoknya menanam pada bulan November lalu panen 115 hari setelah itu. Hasil yang anjlok itu pun membuat ia gigit jari, setidaknya jutaan rupiah ia gelontorkan untuk membeli obat pengusir hama.
Ia pun tak mendapatkan ganti rugi. ”Saat saya minta ke pendamping, ternyata jalannya rumit. Saya harus buat laporan sejak mulai menanam. Lha wong saya aja baru tahu setelah saya tanya kalau aturannya begitu,” tutur Heriyanto pada Kamis (1/4/2021).
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F10%2F2b470b75-7c8e-44a7-b35c-6f39aa37828f_jpg.jpg)
Salah satu traktor yang digunakan anggota TNI dalam membajak sawah sempat tersendat lumpur dan harus ditarik traktor lain di Desa Gadabung, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, Sabtu (10/10/2020). TNI Korem 102 Panju Panjung membantu persiapan sawah di lokasi lumbung pangan.
Heriyanto menjelaskan, sebelum menanam, dirinya memang diberikan banyak bantuan dari pemerintah karena lahannya masuk dalam CoE, mulai dari benih, kapur, pupuk, hingga beragam bantuan lainnya. ”Bahkan, saya diikutkan pelatihan menanam padi,” katanya sambil tersenyum.
Ia pun diberikan benih yang tidak biasa ia tanam. Benih dari pemerintah merupakan jenis Hipa-18, sedangkan yang biasa ia tanam jenis Impari-42.
Tak hanya Heriyanto. Ramelan, petani dari Kelompok Tani Karya Bakti, juga tak mendapatkan apa pun dari hasil tanam bulan Oktober. Saat ditemui Kompas pada Februari lalu, ia mengungkapkan, ”Ini gagal total. Kalau merosot itu masih ada hasilnya, sisa-sisanya, ini enggak ada.”
Baca juga : Janji Usang Lumbung Pangan
Ramelan menjelaskan, padinya tak berbulir lantaran terserang virus hama potong leher. Bulir-bulir langsung mati tak berbuah. Potong leher terjadi lantaran jamur cendawan (Pyricularia oryzae).
”Kami sudah ikuti semua anjuran pemerintah. Yang zonk kayak saya ini ada sekitar 7 hektar di kelompok tani saya, jadi bagaimana solusinya supaya saya bisa makan. Syukur kalau ada ganti rugi,” tutur Ramelan.
Kompas juga bertanya kepada beberapa warga Belanti Siam lainnya, seperti Suliswanto yang hanya mendapatkan 3,7 ton padi di lahan seluas 2 hektar miliknya. Lalu ada Budi Suryanto, Ketua RW 005 Desa Belanti Siam, dengan hasil panen 1,7 ton per hektar. Bahkan, Kepala Seksi Pemerintah Desa Belanti Siam Sukardi menjelaskan, dirinya bersama keluarga mengelola lahan sawah seluas 2 hektar. Dari 2 hektar tersebut, ia hanya mendapatkan 1,7 ton gabah.

Presiden Joko Widodo bersama rombongan memantau persiapan penanaman perdana di kawasan lumbung pangan di Desa Belanti Siam, Kabupaten Pulang Pisau, Kalteng, Kamis (8/10/2020).
Saat ini memasuki masa tanam kedua pada bulan April. Heriyanto dan Ramelan memilih mulai menanam dengan benih yang mereka beli sendiri. Masih dengan cara tanam pindah, persemaian dilakukan pada bulan Maret.
”Katanya ada benih pemerintah, tetapi belum datang. Jadi, saya beli benih sendiri dari Aceh secara online, harganya Rp 115.000 per kilogram. Saya bayar setelah panen, ada pemasoknya di sini,” ungkap Heriyanto.
Megaproyek food estate bukan barang baru. Seperempat abad lalu, proyek serupa pernah dibuat, bahkan di lokasi yang sama dengan saat ini, yakni di Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau.
Saat itu, Presiden Soeharto memilih Kalimantan Tengah sebagai wilayah sasaran lumbung pangan. Lahan seluas 1,4 juta hektar dibuka. Ia mengganti hutan gambut belantara menjadi sawah. Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) judulnya.
Baca juga : ”Food Estate” Ancam Kawasan Kubah Gambut di Kalteng
Tahun 1995, hutan-hutan dibuka. Pemerintah kemudian membuat lahan uji coba seluas 1.000 hektar di Desa Mampai, Kecamatan Kapuas Murung, Kabupaten Kapuas, Kalteng. Lahan tersebut menjadi percobaan apakah bibit, waktu tanam, dan jenis tanah rawa gambut itu bisa berhasil diintervensi pemerintah dan menghasilkan padi yang merunduk gemulai atau tidak.
Tak sampai setahun, proyek itu terancam gagal. Masalahnya ada pada jenis padi IR 66 dan padi jenis SAM yang ditanam Menteri Pertanian saat itu, Sjarifudin I Baharsjah, yang tidak cocok dengan tanah rawa gambut. Selain itu, sebagian besar lahan direndam banjir (Kompas, Kamis 1 Februari 1996).
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F10%2FDSC05465_1603211352.jpg)
Para petani di Desa Belanti Siam menyiapkan benih sebelum ditanam di lokasi lumbung pangan, Sabtu (10/10/2020). Mereka semua adalah transmigran yang datang pada 1982-1997 dari Pulau Jawa.
Proyek itu pun berakhir bencana berkelanjutan. Gambut yang rawan terbakar jika dibuka menjadi sumber bencana asap pada tahun 1997, 2015, hingga saat ini. Kawasan yang digunakan sebagai proyek lumbung pangan itu belum benar-benar terestorasi. Gambut belum pulih betul.
Kepala Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Peternakan Provinsi Kalimantan Tengah Sunarti mengungkapkan, pada masa tanam kedua, pihaknya tetap merekomendasikan pola tanam yang sama seperti penanaman perdana. Ia mengaku jenis benih yang digunakan adalah jenis Inpari 32 dan 42, jenis yang selama ini digunakan oleh petani. Sementara varietas Hipa hanya diberikan di CoE di bawah koordinasi Litbang Pertanian.
”Bantuan dari pemerintah merupakan benih unggul. Kalau petani yang menanam benih hibrida, itu adalah swadaya masyarakat sendiri,” ungkap Sunarti.
Baca juga : Lokasi Lumbung Pangan Kalteng Mulai Ditanami meski Kesulitan Air
Mengenai sistem tanam, menurut Sunarti, pihaknya masih menganjurkan dengan pola tanam pindah, bukan tanam sebar. Beberapa mesin untuk membantu petani melakukan pola tanam itu sudah bisa digunakan petani dengan cara pengajuan ke pendamping maupun langsung ke dinas terkait di wilayahnya.
Food estate tak hanya padi. Kompas mencatat, pemerintah saat ini sudah membuka 600 hektar kawasan hutan produksi di Desa Tewai Baru, Kabupaten Gunung Mas, Kalteng, untuk dijadikan kebun singkong. Targetnya, 1,4 juta hektar bakal jadi kebun singkong. Selain itu, masih dalam program yang sama, pemerintah berencana membuka peternakan sapi di Kabupaten Sukamara.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F09%2F20200904IDO_Food_Estate5_1599229111.jpg)
Tardi, warga Desa Belanti Siam, Kabupaten Pulang Pisau, Kalteng, membersihkan lahan di sawah milik orang yang mengupahnya, Jumat (4/9/2020). Kawasan lumbung pangan itu bakal dikembangkan pemerintah menjadi pusat lumbung pangan nasional.
Gubernur Kalteng Sugianto Sabran dalam setiap kunjungan selalu membahas lumbung pangan. Menurut dia, program ini tidak hanya untuk kesejahteraan petani di Kalteng, tetapi juga di Indonesia. Bahkan, kebutuhan pangan ibu kota negara baru pun bisa disuplai karena jika sesuai target, kebutuhan pangan di Indonesia bisa terpenuhi.
”Intinya harus optimistis, program ini berkah untuk kami. Lihat saja jalan diperbaiki, saluran irigasi, semua dibantu pemerintah pusat. Bukan tidak mungkin ke depan pelabuhan dan yang lainnya juga dibangun,” ungkap Sugianto.
Kini, para petani tak punya pilihan selain setia menunggu janji kesejahteraan. Meski ada keraguan, asa tetap dipupuk, digantungkan pada program pemerintah yang bertekad dalam waktu yang singkat membangun lumbung pangan. Semoga, tidak lantas berulang menjadi kenangan seperti program di masa lalu.
Baca juga : Food Estate Dinilai Tabrak Kajian Hukum