Ledakan di Balongan, Kisah Kasih Kala Krisis
Insiden ledakan tangki di Pertamina RU VI Balongan tidak menyurutkan kasih para penyintas dan sukarelawan. Mereka saling bantu menghidupkan harapan di tengah trauma.
Insiden ledakan tangki di Pertamina RU VI Balongan tidak menyurutkan kisah kasih para penyintas dan sukarelawan. Mereka saling bantu menghidupkan harapan di tengah trauma bencana.
Peristiwa muram itu masih menapak jelas di wajah Wahyudin (39). Kantong matanya menghitam. Wajahnya lusuh. Lima hari terakhir, dia sulit memejamkan matanya. ”Paling bisa enak tidur hanya sejam sehari,” ucap pria berbadan kurus ini di GOR Bumi Patra, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Jumat (2/4/2021) siang.
Akan tetapi, lelahnya seperti tidak berbekas saat berhadapan dengan lebih kurang 800 pengungsi di GOR Bumi Patra. Mereka warga terdampak ledakan tangki Pertamina Balongan, Senin (29/3/2021) pagi.
Udin tidak keberatan membiarkan warga makan terlebih dulu. Perutnya yang keroncongan terbiasa terisi setelah membagikan makanan hingga memikul dus berisi air minum. Sosoknya yang murah senyum juga ikut meredakan kecemasan penyintas.
Baca juga: Bersama Meredam Ledakan Kepanikan di Balongan
”Di depan orang-orang, saya tetap senyum. Bilang capek mah capek. Tapi, saya enggak mau nunjukin itu. Saya harus ceria untuk anak-anak dan warga di sini,” ujar Udin yang dipercaya sebagai koordinator pengungsian GOR Bumi Patra.
Terlihat tegar, Udin lalu terdiam. Dua jarinya menyapu bulir air di sudut matanya. Rupanya dia ingat kembali peristiwa naas Senin membara pukul 00.45. Ledakan mengagetkan warga. Kobaran api dengan mudah memerahkan langit gelap.
Saat kejadian, ia hanya berjarak kurang dari 500 meter dari sumber ledakan. Dari 72 tangki di area kilang berkapasitas 1,35 juta kiloliter (KL), ada 4 tangki yang terdampak dengan kapasitas 100.000 KL.
Utamakan warga
Saking dasyatnya ledakan, lebih kurang 1.600 rumah rusak, termasuk rumah Udin. Kaca-kaca rumah warga pecah. Plafon runtuh. Ledakan juga menyebabkan 29 warga luka ringan dan 6 orang lainnya luka berat karena terbakar.
Udin yang mengatakan pernah belajar cara-cara penyelamatan saat bekerja di salah satu proyek Pertamina bergerak cepat. Warga di sekitarnya yang tengah terlelap dibangunkan.
Udin bahkan ikut mencari tumpangan untuk membawa warga pergi dari kejaran api. Dia mengutamakan menyelamatkan banyak nyawa meski saat itu belum tahu bagaimana nasib keluarganya sendiri.
Bahkan, ketika sampai di GOR Bumi Patra sekitar pukul 04.30, Udin mendahulukan nasib warga. Dia ambil pulpen dan menyobek kardus. Udin lantas menulis identitas penyintas. Dia mendata dengan teliti sembari berharap pada yang Kuasa ada nama istri dan anaknya.
”Saya sempat cemas karena ternyata tidak ada nama mereka di Bumi Patra. Beruntung, setelah ditelusuri, mereka ada di Pendopo Bupati Indramayu, sore hari,” katanya. Satu titik pengungsian warga lainnya ada di Islamic Center.
Saat semua kelurganya dipastikan selamat, Udin tidak lantas diam. Dia justru semakin giat berkarya bagi penyintas lainnya. Udin ikut memastikan kebutuhan makanan penyintas tercukupi. Saat hujan deras mengguyur dapur umum, dia ikut mengangkut alat masak ke tempat aman.
Akan tetapi, niat baik tidak selalu berjalan mulus. Dia sempat dituding egois. Ada rumor Udin mendapat fasilitas lebih baik. Nyatanya, Udin tidak tidur di atas matras, seperti pengungsi lainnya. Dia jadikan karung tipis menjadi alas tidur.
”Alhamdulillah, kami (bekerja) sukarela,” katanya.
Udin tidak keberatan hidup di pengungsian. Dia masih bersyukur bisa hidup, makan dan minum. Dia menyatakan sudah terbiasa hidup di tengah keadaan serba terbatas.
”Saya ini kadang kerja kadang tidak. Macul atau kuli bangunan juga siap. Ada saja rezeki. Anak saya yang kelas 3 SMA sebentar lagi lulus. Dia mau kuliah. Saya akan coba cari uang,” kata orangtua tunggal dari 3 anak ini.
Akan tetapi, sebelum mimpinya terwujud, untuk sementara ia ingin berbakti. Udin ingin memastikan para penyintas ledakan hidup aman. ”Saya menganggap anak-anak di sini itu anak sendiri dan bapak ibu di sini orangtua saya. Alhamdulillah sejauh ini saya masih sehat. Saya dikasih vitamin sama petugas kesehatan,” ujarnya.
Udin dan penyintas lainnya tidak sendiri. Banyak sukarelawan ingin meringankan beban warga. Mereka rela meninggalkan keluarga dan pekerjaan demi membantu dapur umum agar tetap mengepul. Bagi mereka, niat baik yang dilakukan dengan hati akan semakin menguatkan jiwa banyak orang.
Baca juga: Mimpi Balongan Ingin Bahagia Seperti Tuban
Masak dengan hati
Di bawah tenda terpal berukuran sekitar 4 meter x 6 meter di belakang lokasi pengungsian, aroma berbagai masakan dan makanan bercampur menjadi satu. Masakan Suci Munaroh (46), sukarelawan dari taruna siaga bencana Dinas Sosial Indramayu, jadi salah satu yang aromanya mengugah selera.
Tangan Suci begitu cekatan mengangkat seember penuh bawang merah, bawang putih, dan cabai ke pangkuannya. Bahan itu ia tuangkan ke dalam wajan berdiameter sekitar 40 sentimeter yang telah diberi minyak goreng secara perlahan.
Sreeenggg... aroma wangi bumbu masak menyebar cepat memancing lapar.
Sorot matanya tajam menakar garam, kecap, dan gula. Ia mengandalkan nalurinya dalam menakar. Tak boleh berlebih, jangan sampai kurang. Semuanya harus pas.
Takaran yang pas itu berkebalikan dengan jam tidurnya, yakni 2-3 jam per hari. Sudah lima hari dia menjadi sukarelawan di dapur umum. Terkadang, ia menyempatkan pulang ke rumah untuk berganti pakaian, lalu kembali ke dapur umum untuk memasak.
Hati yang gembira membuat capek menjadi hilang. Saya kan punyanya tenaga, jadi yang bisa saya berikan, ya, tenaga untuk bantuin masak.
Dapur umum ini membuat sekitar 1.200 porsi untuk sekali makan. Artinya, dalam sehari dia dan para sukarelawan harus menyiapkan total 3.600 porsi per hari. Satu porsi terdiri dari nasi, lauk, dan sayur. ”Hati yang gembira membuat capek menjadi hilang. Saya, kan, punyanya tenaga, jadi yang bisa saya berikan, ya, tenaga untuk bantuin masak,” ucapnya.
Hari itu, Suci kebagian memasak semur telur pedas, lele goreng, dan ayam kecap. Tak perlu waktu lama untuk menyiapkan bumbu. Tangannya lihai memotong berbagai rempah utama, seperti batang sereh, daun salam, dan lengkuas.
Keterampilan memasaknya sudah terlatih sejak lama. Lima tahun lalu, Suci membuka warung nasi di rumah, berbagai menu ia siapkan sendirian. Tak heran jika dia terbiasa memasak dalam partai besar.
Sehari-hari, Suci berjualan kudapan basah dan kering untuk dititipkan ke pasar dan toko. Dalam seminggu, setidaknya dia bisa mengantongi sekitar Rp 500.000 dari hasil berjualan itu. Uang ini disebutnya cukup untuk membuat dapur rumahnya tetap mengebul, hobi memasaknya juga bisa tersalurkan.
Ketika dia menjadi sukarelawan, usaha kecil ini terhenti untuk sementara. Bagi dia, hidup tak boleh hanya perihal materi, tetapi ikut menjunjung kemanusiaan.
Sukarelawan di dapur lainnya, Susilawati (35), tampak sibuk membolak-balikkan ikan lele yang tengah digoreng. Sudah tiga kali tangan kanannya kecipratan minyak panas dari proses menggoreng itu. Bekas hitam masih terlihat jelas.
Selama ini, dia tak pernah jauh-jauh dari ikan. Di depan rumahnya, Susi berjualan bakso ikan tuna dengan penghasilan sekitar Rp 200.000 per hari. Namun, sudah lima hari ini dia tidak berjualan, tentu pemasukan untuk keluarganya berkurang.
Suaminya bekerja sebagai kuli bangunan dengan upah sekitar Rp 100.000 per hari. Namun, tidak setiap hari ada pekerjaan menanti. Dulunya suami bekerja sebagai sopir angkutan kota, tetapi sejak pandemi penumpang berkurang drastis. Hidup dalam keterbatasan tak lantas membuat dirinya menjadi pelit. Justru dia ingin bisa berbagi dan membantu sesama dengan kemampuan yang dia miliki.
”Saya percaya rezeki bukan hanya uang," ucapnya.
Tidak boleh sedih, harus gembira saat sedang menanak beras. Nanti nasinya jadi tidak enak.
Di sudut lain, ada sukarelawan dari PMI, Caswa (48) yang sibuk menanak nasi. Dalam sehari tim bisa memasak sekitar 270 kilogram beras. Hari itu wajahnya sangat semringah. Cucu laki-laki pertamanya baru lahir. Namun, ia belum bisa menjenguk cucunya karena masih bertugas.
"Tidak boleh sedih, harus gembira saat sedang menanak beras. Nanti nasinya jadi tidak enak,” ucapnya.
Sebelum makan disajikan kepada pengungsi, Boy Billy Prima, Kepala Bidang Perlindungan dan Jaminan Sosial Dinsos Indramayu, mencicipi satu porsi masakan sebagai tester. Meski punya jabatan, dia ingin memastikan semua makanan yang disajikan kepada pengungsi harus dalam kondisi baik. Kata dia, jangan sampai beban penyintas justru bertambah saat di pengungsian.
”Semua bahan mentah sampai matang harus dipastikan terlebih dulu. Hal ini untuk mengantisipasi jika ada keluhan dari pengungsi, misalnya sakit perut,” ucapnya.
Kegiatan di dapur umum masih terus berlanjut. Tidak hanya aroma masakan yang mendominasi bau sedap di lokasi. Ada tawa dan canda yang meramaikannya. Perlahan api dampak ledakan mulai bisa dikendalikan. Namun, seperti asap sisa kebakaran yang masih mengepul, semangat para penyintas dan sukarelawan juga tidak pernah luntur.
Baca juga: Mereka Tidak Ingin Mulai dari Nol Lagi