Kisah Panjang Minuman Lokal Nusantara
Bangsa kita punya sejarah panjang soal minuman lokal Nusantara. Minuman itu menempati posisi penting, bukan buat mabuk-mabukan, melainkan sebagai bagian ritual adat, adaptasi dengan alam, dan mempererat hubungan sosial.
Tidak seperti kopi dan teh yang diperkenalkan oleh bangsa asing, bangsa kita sebenarnya memiliki sejarah panjang minuman lokal nusantara. Minuman Nusantara itu menempati tempat penting, bukan untuk mabuk-mabukan, melainkan sebagai bagian ritual adat, adaptasi dengan alam, serta untuk mempererat hubungan sosial.
Era pandemi Covid-19 ini, Gubernur Bali Wayan Koster sempat membikin heboh dengan keberhasilannya menyembuhkan pasien tanpa gejala Covid-19 dengan terapi usada (pengobatan) menggunakan ramuan berbahan dasar arak Bali. Pasien menjalani terapi uap menggunakan alat nebulizer, yaitu menghirup uap ramuan selama maksimal 1 menit. Hal itu dilakukan 3 kali sehari. Dan hasilnya, 68 persen pasien OTG yang dikarantina akhirnya bebas Covid-19.
Bagi masyarakat Bali, arak juga bagian dari ramuan pengobatan. Terapi ala Bali tersebut tidak pernah bisa diduga oleh masyarakat kebanyakan, yang melihat bahwa arak selama ini hanya sekadar minuman memabukkan.
Fungsi lain arak tercatat dalam buku berjudul Bali, Sekala & Niskala Volume II (1990), karya Fred B Eiseman Jr Eiseman. Di sana disebutkan bahwa arak tidak sekadar minuman beralkohol. Arak juga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pengobatan, baik pengobatan internal maupun pengobatan eksternal. Eiseman menyebutkan, arak Bali diproduksi dari tuak, yakni fermentasi sadapan nira kelapa ataupun nira lontar.
Kisah Bali sukses menggunakan minuman beralkohol untuk pengobatan, hanya satu bagian cerita dari beragam kisah tentang minuman lokal Nusantara.
Baca juga: Ramuan Usada Arak Bali Untuk Percepat Kesembuhan Pasien Covid-19
Etika
Di Maluku Utara, ada beragam minuman beralkohol yang menjadi bagian dari tradisi di sana. Antropolog Universitas Khairun, Maluku Utara, Safrudin Abdulrahman dalam ”Sharing Session Budaya Minum Tradisional di Nusantara” yang diselenggarakan Rumah Produktif Indonesia bekerja sama dengan Asosiasi Antropologi Indonesia, Rabu (3/3/2021) malam, menjelaskan bahwa ada 32 suku bangsa lokal di Maluku Utara yang masing-masing memiliki tradisi atau kebiasaan yang berkaitan dengan makanan dan minuman.
Safrudin menyebutkan, minuman tradisional di Maluku Utara itu, antara lain, adalah ake goraka/air jahe (Ternate, Tidore dan hampir semua etnis lokal di Maluku Utara), sarabati (Tidore Ternate) minuman para sultan, Kofi dabe, kofi nyiru (Tidore-Ternate), soklat (Makeang, Kayoa), rorano (ramuan) sebagai minuman yang berfungsi pengobatan (di semua etnis local di Maluku Utara), oke sou (minuman yang disuguhkan pada saat seorang wanita mengalami haid pertama). Semua minuman di atas menggunakan rempah pala dan cengkih.
”Adapun minuman beralkohol di sana adalah saguer/sageru (lahang), yaitu minuman beralkohol hasil sadapan air nira yang dikonsumsi mentah. Air nira ini rasanya terlalu manis sehingga harus dicampur dengan beberapa jenis akar-akaran serta kulit kayu tertentu (dono) yang rasanya pahit agar bisa diminum,” kata Safrudin.
Baca juga: Sihir dari Bumi Maros
Menurut dia, pada beberapa suku tertentu di Maluku Utara, saguer/lahang dijadikan sebagai minuman yang dikonsumsi setiap saat, terutama pada pelaksanaan ritual, atau bisa juga pada pesta adat.
Pesta adat (bira sungi) pada orang Modole, misalnya, menurut dia, tidaklah lengkap kalau tidak ada lahang, dan pesta tidak akan dilakukan kalau belum ada lahang atau saguer. Rasa saguer/lahang dibedakan menjadi dua, ada untuk wanita yang rasanya lebih manis. Sementara yang laki-laki rasanya lebih pahit walau tetap masih ada rasa manisnya.
”Meski minum minuman beralkohol, ada etika saat mengonsumsi saguer pada ritual dan pesta adat. Ada sistem sanksi (bobang). Dan sanksinya itu bisa sangat besar sehingga orang akan sangat berhati-hati untuk minum,” kata Safrudin.
Meski minum minuman beralkohol, ada etika saat mengonsumsi saguer pada ritual dan pesta adat. Ada sistem sanksi (bobang).
Sejarah
Kisah Bali dan Maluku Utara dengan minuman tradisionalnya tidaklah muncul tiba-tiba. Ada kisah panjang tentang sejarah minuman Nusantara, yang sudah ada sejak berabad-abad lalu. Dan ada banyak ragam minuman di seluruh Nusantara.
Dalam Prasasti Taji berangka tahun 901 Masehi, misalnya, dikisahkan bahwa pesta perayaan penetapan Desa Taji sebagai desa sima/perdikan (desa yang bebas dari pajak) dirayakan dengan mereka menghabiskan …”beras 57 kadut, kerbau 6 ekor, ayam 100 ekor, dan segala macam lauk-pauk yang asin, seperti dendeng asin, dendeng ikan kadiwas, ikan kawan, ikan bilunglung, telur, rumahan, dan minuman tuak”. Tampak bahwa minuman tuak sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat di masa lalu.
Baca juga: ”Air Manise” Diusulkan Menjadi Formula Sopi di Maluku
Antropolog Universitas Indonesia, Raymond Michael Menot, menyebut banyak catatan sejarah soal minuman Nusantara. Catatan itu ada di prasasti (Watukura pada 902 M dan prasasti Pangumulan A), Babad Tanah Jawi, Kitab Negarakertagama, dan Kakawin Arjunawiwaha. Dari sana, Raymond menyebutkan bahwa budaya minum di Nusantara sudah ada sejak berabad-abad lalu sebelum bangsa asing datang.
Namun, Raymond menegaskan bahwa budaya minum tersebut bukanlah budaya minum-minum. ”Budaya minum di sini mengacu pada kegiatan masyarakat mengonsumsi minuman tradisional beralkohol, yang memiliki nilai dan norma sesuai kepercayaan turun-menurun, dan digunakan dalam proses ritual atau adaptasi terhadap lingkungannya,” katanya.
Dalam acara itu hadir pula sebagai pembicara Harry Nazarudin dari Fermenusa (Forum Fermentasi Nusantara) serta Safrudin Abdulrahman (antropolog Universitas Khairun, Maluku Utara).
Menurut Raymond, dalam sejarahnya, meminum minuman beralkohol pada masyarakat dulu memiliki tiga kegunaan. ”Ada tiga kegunaan, yaitu untuk ritual, kehidupan sehari-hari (adaptasi alam yang dingin/berangin), dan untuk mempererat hubungan sosial,” katanya.
Baca juga: Bali dan NTT Berharap Minuman Lokal Tetap Dikelola dan Dipertahankan
Kisah minuman lokal Nusantara juga disebut-sebut dalam buku Pertemuan Ilmiah Arkeologi V, Yogyakarta 4-7 Juli 1989. Titi Surti Nastiti menyebut bahwa masyarakat Jawa kuno selalu menyuguhkan minuman dalam pesta. Mengutip naskah Negarakertagama, Titi Surti Nastiti menyebut bahwa seusai pertemuan kerajaan setiap bulan Caitra (Maret-April), selama dua hari diadakan pesta di Bubat, di mana di sana dihidangkan berbagai jenis sajian untuk para tamu.
Menurut dia, masyarakat Jawa Kuno telah mengenal berbagai minuman, baik yang beralkohol, seperti sura, waragang, sajeng, arak/awis, tuak, maupun minuman non-alkohol, seperti cinca, kinca, dan duh ni nyung. Ada juga minuman yang belum bisa dideteksi beralkohol atau tidak, seperti jatirasa, pangasih, draksa, dan mresi.
Jenis-jenis minuman lokal Nusantara kala itu (hingga kini) ada yang difermentasi dan didistilasi. ”Untuk menghasilkan minuman beralkohol ada dua cara, yaitu natural dan distilasi. Untuk minuman hasil dari proses natural ini aman. Namun, kalau untuk produk distilasi bisa jadi menimbulkan bahaya jika berlebihan,” kata Harry Nazarudin dari Forum Fermentasi Nusantara.
Proses natural, menurut Harry, adalah dengan membiarkan gula bereaksi sendiri dengan ragi, lalu ditunggu hingga beberapa waktu. Ini bisa menghasilkan bir dengan kadar alkohol maksimal 5 persen dan wine dengan kadar alkohol di atas 5 persen hingga kruang dari 20 persen.
”Namun, jika distilasi, artinya larutan akan dimurnikan, dengan melalui proses pembakaran hingga mencapai kadar yang diinginkan. Bisa didistilasi 1 kali, 2 kali, bahkan 3 kali. Semakin banyak, kadar alkoholnya semakin tinggi,” katanya. Kadar alkohol tinggi inilah yang, menurut Harry, dinilai bisa membawa efek berbahaya (jika tidak tepat penggunaannya). Kadar alkohol pada minuman hasil distilasi biasanya lebih dari 20 persen.
Untuk minuman beralkohol kadar 5 persen, menurut Harry, bagi sebagian orang bisa melebarkan pembuluh darah, memengaruhi syaraf, lalu membawa efek relaksasi. Namun, memang hal itu dinilai sangat personal bagi setiaporang.
Baca juga: Brem, Tuak, dan Arak Bali Diatur Pergub
Pertanian Tebu
Budidaya pertanian padi dan dikenalnya penanaman tebu di Pulau Jawa dan Sumatera secara meluas pada abad ke-16 dan 17 berperan mendorong dimulainya penyulingan alkohol.
Dalam tulisan di blog pribadinya, Raymond Valiant, seorang profesional bidang perairan, blogger, sekaligus penyuka minuman tradisional yang tinggal di Malang mencatat bahwa pengaruh dari perdagangan dengan China menyebabkan pada tahun 1611 sudah berdiri penyulingan arak (dari Bahasa Arab: alaqi) di sekitar Batavia (Jakarta). Penyulingan arak itu memanfaatkan produksi serealia dan molasses dari sisa olahan tebu yang ditanam di sekeliling daerah aliran Sungai Cisedane dan Ciliwung.
Orang China berperan membawa masuk teknologi penyulingan secara bertahap, yang awalnya berpusat di kawasan penghasil padi, kemudian berkembang meluas ke bagian lain dari Nusantara.
Penyulingan beras yang ditanak dan diragikan hingga menjadi minuman beralkohol dikenal secara meluas di sekitar Batavia pada abad ke-17. Dalam bahasa Fukien, minuman itu disebut tsieuw, dan oleh orang Jawa dilafalkan ciu.
Baca juga: Ciu Banyumas Diwacanakan Jadi Bahan Baku Cairan Pembersih Tangan
Di sini beras ditanak dicampur dengan ragi dari rempah adas dan kayu manis, kemudian diragikan dan dibubuhi sisa tebu (tetes atau molasses) yang mengandung gula sehingga menghasilkan semacam adonan sour mash yang merupakan bahan dasar pembuatan minuman beralkohol dengan kadar lebih tinggi. Di beberapa tempat, adonan dasar ini kemudian dicampur dengan nira dari kelapa atau enau sehingga memberikan rasa yang lebih kuat karena air dari pepohonan itu memiliki aroma tersendiri
”Menarik untuk diketahui, salah satu ekspor paling berharga dari Jawa pada abad ke 17 dan ke-18 adalah arak. Pedagang Belanda membeli arak kelapa (dengan kadar etil-alkohol mendekati 60 persen) dan mengapalkannya ke China, India, Sri Lanka, dan Eropa,” kata Raymond Valiant.
Setelah VOC bubar dan perekonomian agraris di Jawa berkembang di bawah cultuurstelsel, penanaman tebu ikut berkembang. Hal itu mendorong industri minuman keras.
Pengolahan arak atau ciu meluas ke Jawa Tengah dan Jawa Timur, di mana sejak abad ke pertengahan abad ke-19 dan berkembang pesat penanaman tebu dan pertanian padi. Sentra penghasil arak tradisional yang disebut arjo (arak Jawa) kemudian berpusat di sekitar Solo, Madiun, Ngawi, dan bahkan Jember.
Begitu panjangnya kisah minuman tradisional Nusantara dengan makna masing-masing. Bagi pencintanya, akan berusaha memuliakan. Namun, bagi yang tidak suka, tetap akan tidak suka bagaimanapun narasinya. Dan hidup yang baik adalah keseimbangan di antara keduanya, seperti Yin-Yang dan Rwa Bhineda...
Baca juga: ”Rwa Bhineda”, Antara Gelap Terang Seisinya