Bentuk Tim Terpadu Penanganan Konflik Sosial di Setiap Daerah
Mengelola dan memitigasi isu yang berpotensi menimbulkan konflik sosial penting dilakukan di setiap daerah. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian pun meminta setiap daerah membentuk Tim Terpadu Penanganan Konflik Sosial.
Oleh
JUMARTO YULIANUS
·3 menit baca
BANJARMASIN, KOMPAS — Konflik sosial berpotensi terjadi di setiap daerah di Indonesia. Mengelola dan memitigasi isu yang berpotensi menimbulkan konflik sosial penting dilakukan. Untuk itu, perlu kerja sama, soliditas, dan sinergitas pemerintah pusat, daerah, serta seluruh elemen masyarakat.
Menteri Dalam Negeri Muhammad Tito Karnavian mengingatkan pentingnya memitigasi dan menangani konflik sosial dalam penutupan Rapat Kerja Tematik Program dan Kegiatan dengan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) di Daerah di Gedung Mahligai Pancasila, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Kamis (1/4/2021).
Dalam acara bertemakan ”Sinergitas Penanganan Konflik Sosial” itu, Tito meminta setiap daerah di Indonesia membentuk Tim Terpadu Penanganan Konflik Sosial. Tim itu bertugas melakukan identifikasi perbedaan kepentingan dan identifikasi kepentingan umum. Dua hal tersebut adalah dasar dari sistem penanganan konflik.
”Saat terjadi perbedaan kepentingan dan kepentingan umum, tim penanganan konflik dapat mengendalikan atau menekan perbedaan kepentingan dan mengangkat persamaan atau kepentingan umum. Dengan begitu, pihak yang berkonflik diharapkan sadar bahwa mereka adalah satu dan tidak seharusnya berkonflik,” kata Tito dalam siaran pers dan rekaman video yang diterima, Kamis malam.
Tim Terpadu Penanganan Konflik Sosial terdiri atas berbagai unsur, mulai dari pemda, Polri, TNI, hingga tokoh masyarakat. Daerah-daerah yang belum memiliki tim penanganan konflik seperti itu diharapkan segera membentuknya paling lambat tiga bulan ke depan.
”Keseriusan menangani konflik sosial menjadi penting di negara kita yang sangat plural, penuh keberagaman, serta sarat dengan potensi konflik. Maka, saya minta kepada kepala daerah untuk segera membentuk tim penanganan konflik sosial,” tuturnya.
Saya minta kepada kepala daerah untuk segera membentuk tim penanganan konflik sosial. (Tito Karnavian)
Di bawah Tim Terpadu Penanganan Konflik Sosial, menurut Tito, perlu dibentuk tiga subtim lagi. Pertama, subtim pencegahan konflik sosial. Unsurnya bisa diisi Badan Intelijen Negara Daerah atau Kesbangpol maupun TNI. Tugasnya menginventarisasi potensi konflik di daerah dan mengawal skala prioritas yang kiranya dapat menimbulkan konflik. ”Jadi, 70 persen penanganan konflik sosial adalah pencegahan,” ujarnya.
Kedua, subtim penghentian kekerasan. Ketika konflik sudah tidak dapat dicegah, penghentian harus cepat dilakukan. Unsurnya dapat berasal dari Polri karena sudah masuk dalam penegakan hukum. Sementara unsur dari TNI, satuan polisi pamong praja, dan perlindungan masyarakat (linmas) dapat bergabung serta melakukan pelatihan pengamanan bersama di tingkat provinsi dan kabupaten/kota dalam upaya penghentian kekerasan.
Ketiga, subtim pemulihan. Tugasnya, melakukan rekonsiliasi dan mediasi dalam penyelesaian konflik. Unsur di dalamnya dapat berasal dari Kesbangpol maupun tokoh masyarakat. ”Rekan-rekan (kepala daerah) yang menilai potensi konflik di daerahnya rendah harus memperkuat di pencegahan dan simulasi untuk penghentian kekerasan,” kata Tito.
Menurut Penjabat Gubernur Kalsel Safrizal ZA, konflik sosial bisa terjadi di mana-mana. Entah disebabkan perbedaan individu, perbedaan kepentingan, atau perubahan sosial yang semakin cepat. ”Di era digital saat ini, dengan komunikasi yang sangat terbuka, perubahan sosial berpotensi menimbulkan konflik sosial,” ujarnya.
Karena itu, Safrizal berharap, pembahasan penanganan konflik sosial dapat menjadi penyemangat para kepala daerah untuk terus melakukan upaya-upaya mitigasi sebelum konflik terjadi.
”Sungguh murah kiranya kalau mitigasi dilakukan dibandingkan dengan pengobatan atau rehabilitasi setelah konflik. Untuk itu, kita harus memelihara kesehatan sosial agar kita semua bisa menjalankan roda pemerintahan dengan sebaik-baiknya,” kata Safrizal yang juga Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri itu.