Mereka Tidak Ingin Mulai dari Nol Lagi
Warga di sekitar RU VI Balongan, Indramayu, Jawa Barat, menghadapi dilema. Mereka kemungkinan besar harus meninggalkan tempat tinggal mereka. Padahal, pindah rumah sering kali urung membawa serta sejahtera.
Sebagian warga sekitar Pertamina RU VI Balongan di Balongan, Indramayu, sudah beberapa kali pindah rumah menanggalkan kehidupan yang telah dibangun sebelumnya. Mereka pernah berkorban agar aktivitas negara berjalan mulus. Sayangnya, tidak semua warga lantas merasakan sejahtera.
Dalam ruangan 3 meter x 3 meter di lapangan futsal kompleks Bumi Patra Pertamina, Indramayu, Rabu (31/3/2021), Idris dan delapan orang lainnya beristirahat meski tidak terlalu tenang. Bisa jadi mereka lebih beruntung. Di luar kamar itu, ratusan warga Blok Kesambi, Desa Balongan, tidur di atas matras, karpet, dan rumput sintetis lapangan.
Idris dan lima anggota keluarganya terpaksa meninggalkan rumahnya yang berdiri di atas tanah 450 meter persegi. Ledakan tangki di PT Pertamina RU VI Balongan pada Senin (29/3/2021) pukul 00.45, kurang 300 meter dari rumahnya, seakan mengusirnya. ”Saya bangun dengan pusing karena seharian sudah ada bau menyengat. Ternyata, setelah itu terjadi ledakan,” ucapnya.
Mobil tuanya buatan tahun 1983 berpacu meninggalkan kobaran api di kawasan kilang yang memerahkan langit. Warga panik dan berusaha pergi sejauh mungkin menggunakan kendaraan dan kedua kaki. Jangankan membawa barang berharga, pintu rumah saja tak dikunci.
Ledakan itu menyebabkan 29 orang luka ringan dan 6 warga luka berat karena terbakar. Hingga Selasa malam, 714 jiwa mengungsi di Bumi Patra Pertamina. Adapun warga terdampak sekitar 2.000 orang. Mereka berasal dari Desa Majakerta, Balongan, Rawadalem, Sukareja, Tegalurung, dan Sukaurip.
Baca juga: Pemerintah Pertimbangkan Relokasi Warga Sekitar Ledakan Kilang Balongan
Bagi Idris, mengungsi seperti menanggalkan kehidupan. Kediamannya sekaligus menjadi bengkel las dan tambal ban untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Namun, tinggal di rumah sama saja memelihara trauma. Kobaran api di tangki masih tampak jelas dari permukiman. Lagi pula, rumah tetangganya juga tak dihuni.
Untuk sementara, pengungsi belum diizinkan pulang karena rentan terdampak asap dari api yang masih menyala. Pemerintah daerah pun mempertimbangkan merelokasi warga di sekitar kilang setelah dilakukan kajian.
Jangan sampai pemda sudah menyiapkan (lahan), tetapi warga malah kembali ke lokasi lama. Relokasi harus memperhatikan kondisi warga dan juga mata pencariannya.
Bupati Indramayu Nina Agustina menyampaikan, pihaknya masih menunggu hasil evaluasi insiden dari berbagai pihak. ”Nanti bisa diketahui kira-kira berapa jarak aman untuk tempat tinggal warga,” ujarnya.
Anggota Komisi VIII DPR, Selly Andriani Gantina, meminta pemda melibatkan warga dalam rencana relokasi. ”Jangan sampai pemda sudah menyiapkan (lahan), tetapi warga malah kembali ke lokasi lama. Relokasi harus memperhatikan kondisi warga dan juga mata pencariannya,” katanya.
Ingin sejahtera
Rencana matang harus jadi perhatian penting. Kabar warga harus pindah bukan kali ini saja. Sebelum ledakan, warga memang sudah mendengar rencana pembangunan Petrochemical Complex di sekitar Pertamina RU VI. Megaproyek dengan investasi sekitar Rp 100 triliun ini dibangun atas kerja sama Pertamina dan China Petroleum Corporation Taiwan.
Pembangunannya membutuhkan lahan 331,92 hektar di lima desa di Balongan, yakni Sukaurip (35,44 hektar), Tegal Sembadra (45,21 hektar), Sukareja (86,47 hektar), Balongan (31,08 hektar), dan Majakerta (108,2 hektar). Satu desa lainnya, yakni Limbangan (25,5 hektar), berada di Kecamatan Juntinyuat.
Pembebasan lahan tahap pertama dilakukan di Sukaurip, Tegal Sembadra, dan Sukareja, seluas 167,12 hektar. Ini sesuai Keputusan Gubernur Jabar Nomor 593/Kep.1000-Pemksm/2019 pada 10 Desember 2019 tentang Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Petrochemical Complex di Indramayu. Targetnya 2019-2020 pembebasan lahan tuntas. Namun, hingga kini belum ada kesepakatan harga.
”Di Kesambi (Desa Balongan), warga sudah kumpul dua kali untuk sosialisasi pembangunan itu. Fotokopi AJB (akta jual beli) juga sudah dikumpulkan, tapi belum bicara harga. Saya mengajukan Rp 15 juta per meter persegi untuk pindah,” kata Idris.
Ia mengakui, tawarannya dianggap terlalu tinggi. Namun, proyek Pertamina di daerah lainnya ikut jadi pemicunya. Di Kabupaten Tuban, misalnya, warga Desa Sumurgeneng, Kecamatan Jenu, mendadak kaya karena ramai-ramai membeli mobil setelah menerima uang pengganti.
Baca juga : Bersama Meredam Ledakan Kepanikan di Balongan
Fenomena itu sempat membuat warga di Desa Sukareja, Sukaurip, dan Tegalsembadra yang tanahnya sedang dibebaskan untuk pembangunan tahap 1 megaproyek Pertamina Balongan bermimpi seperti Tuban. Lahan warga di Sukareja, misalnya, ditawar paling tinggi sekitar Rp 400.000 per meter persegi, sedangkan di Tuban dipatok Rp 500.000-Rp 800.000 meter persegi.
Saya tidak mau rugi dua kali. Dulu juga pernah digusur dari Desa Sukareja karena pembangunan Pertamina. Orangtua saya dapat Rp 47 juta dari tanah 700 meter persegi. Untuk bangun rumah di tanah baru, sepeda motor saya seharga Rp 3 juta harus dijual.
”Saya tidak mau rugi dua kali. Dulu juga pernah digusur dari Desa Sukareja karena pembangunan Pertamina. Orangtua saya dapat Rp 47 juta dari tanah 700 meter persegi. Untuk bangun rumah di tanah baru, sepeda motor saya seharga Rp 3 juta harus dijual,” katanya.
Pada 1993 terjadi bedol desa di Sukareja untuk pengembangan proyek Exor I milik Pertamina. Sekitar 400 KK atau 2.000 jiwa penduduk Desa Sukareja direlokasi (Kompas, 6/11/1993).
Apalagi, hidup menjadi tidak mudah akibat pandemi. Idris harus banting tulang setelah terkena pemutusan hubungan kerja tahun lalu. Saat itu, ia bekerja di sebuah proyek di laut dengan penghasilan hingga Rp 9 juta per bulan. Kini, pemasukannya dari bengkel jauh di bawah itu. Sementara anak-anaknya masih sekolah dan butuh biaya.
”Kalaupun harus relokasi, kami mau ganti untung, bukan rugi,” ucapnya.
Khawatir
Warga Desa Sukaurip lainnya, Uustuhriah (34), berharap uang relokasi atau pembebasan lahan megaproyek Pertamina cukup tinggi. Dengan demikian, ia bisa memulai kehidupan baru. Luasan tanah yang dimilikinya sekitar 92 meter persegi. Dia berharap Pertamina bisa memberikan penawaran harga sekitar Rp 7 juta per meter persegi untuk tanah dan bangunan yang ditempatinya.
”Kalau bisa penawarannya lebih tinggi dari itu. Tidak mudah untuk memulai kehidupan dari awal di tempat baru dengan modal terbatas,” katanya.
Latifah (51), warga Desa Sukaurip, punya pendapat lain. Sorot matanya berkaca saat mendengar kata relokasi. Lebih dari tiga puluh tahun dia dan keluarganya menabung kenangan di rumahnya seluas 125 meter persegi. ”Rasanya, kok, berat kalau diminta untuk pindah. Membayangkannya pun tidak ingin,” katanya.
Rumah tersebut berada di pinggir jalan utama menuju tangki minyak Pertamina RU VI Balongan. Tanah itu merupakan warisan dari orangtua Latifah.
Ia menyebutnya sebagai rumah tumbuh, yang dibangun secara bertahap. Modal membangunnya didapat dari hasil tabungan kerja keras Latifah saat menjadi pekerja migran ke Arab Saudi selama enam tahun. Di tempat itulah Latifah bersama Abdika (53), suaminya, memulai kehidupan rumah tangga.
Sehari-hari Abdika bekerja sebagai kuli bangunan dengan penghasilan Rp 100.000 per hari. Uang tersebut masih kurang untuk membuat dapur keluarga tetap mengepul.
Baca juga: Dongeng Penekan Trauma Bagi Penyintas Ledakan Balongan
Lokasi rumah yang strategis dimanfaatkannya untuk mencari tambahan uang. Ia membuka warung kelontong dan menjual bensin eceran di pinggir jalan. Dia bisa mengumpulkan uang sekitar Rp 200.000-Rp 500.000 per hari dari hasil berjualan. Uang tersebut digunakan untuk modal kulakan dan uang makan keluarga.
”Saya tidak mau pindah. Rumahnya sudah enak dan makan tidak kekurangan. Kami bisa hidup dari hasil jualan,” ucap Latifah.
Meskipun trauma, ledakan saat itu sudah jadi risiko yang harus diterima karena tinggal di sekitar lokasi kilang. Dibandingkan pindah, ia memilih berdamai dengan situasi tersebut.
Akan tetapi, ada kekhawatiran, jika pada akhirnya nanti, para tetangga menerima tawaran relokasi ke daerah baru. Bersedia atau tidak, suka atau tidak, dia terpaksa mengikuti jejak mereka.
”Mau ditawar harga berapa pun, kok, rasanya tidak, ya. Rumah ini dibangun dari keringat dan perjuangan, sangat berharga. Tapi, kalau semua (tetangga) pindah, saya bakal ikut. Masa sendirian, tidak ada tetangga. Nanti tidak ada yang beli di warung saya juga,” ucapnya.
Hidup warga di sekitar infrastruktur vital negara memang tidak pernah mudah. Namun, sudah kewajiban negara mengutamakan nasib rakyat di atas segalanya.
Baca juga: Mimpi Warga Balongan Ingin Bahagia Seperti Tuban
[video width="640" height="352" mp4="https://kompas.id/wp-content/uploads/2021/03/WhatsApp-Video-2021-03-29-at-08.17.14.mp4"][/video]