Rujak Cingur, Hibriditas Rujak Buah dan ”Djanganan” dari Jawa
Rujak cingur adalah makanan khas Jawa Timuran. Bukan makanan Raja Firaun dari Mesir. Makanan berpetis ini diduga berasal dari hibriditas iseng yang justru disukai hingga sekarang.
Oleh
DAHLIA IRAWATI
·6 menit baca
Dari mana asal rujak cingur? Diduga dari kreativitas pedagang memenuhi hasrat kuliner pelanggannya sehingga tercipta perpaduan ”djanganan” dan rujak buah. Hibriditas iseng itu kemudian justru disukai hingga sekarang.
Pernahkah datang ke Jawa Timur dan menikmati sepiring rujak cingur? Rujak cingur adalah makanan Jawa Timuran, terdiri dari aneka sayuran, seperti kangkung dan kecambah rebus, irisan tahu, tempe, lontong, cingur rebus (daging dari mulut/moncong sapi), dan beberapa irisan buah, yang disiram dengan bumbu kacang dan petis sehingga warnanya cokelat/kehitaman.
Bagi penyukanya, rujak cingur adalah surga. Perpaduan kesegaran buah dan sayuran, serta daging cingur kenyal namun tidak alot, kemudian disiram bumbu (terdiri dari petis, kacang, cabe, dan terasi yang dilumat halus pakai ulekan batu), sungguh tak ada duanya.
Jangan terlalu pedas untuk menikmati rujak cingur agar sensasi rasa petis dan terasi tidak tertutup pedas. Untuk melengkapi sepiring rujak cingur, bisa ditambah dengan kerupuk uyel renyah yang sesekali bisa dicocolkan ke bumbu. Kriuk….
Nama rujak cingur baru-baru ini melejit, saat ada pemberitaan bahwa asal-usulnya dari Mesir dan merupakan makanan kesukaan Raja Firaun. Berita daring tersebut dirujuk dan ditulis ulang oleh beberapa media online di Tanah Air. Hal itu menimbulkan kehebohan, dan belakangan, media yang pertama kali menulis kabar tersebut sudah mencabut dan merevisi tulisan itu.
Lalu cingur itu sendiri apa? Menurut Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Jawa Timur dalam laman tulisan Makanan Khas Jawa Timur Menggoyang Lidah Nusantara disebutkan bahwa cingur adalah bagian dari moncong (mulut) sapi, tepatnya di daerah sekitar hidung, bibir, dan dagu sapi. Beberapa penjual rujak cingur, kadang memasang cingur secara utuh sebagai bagian dari kepala sapi, untuk menunjukkan bahwa mereka benar-benar memakai cingur dan bukan hanya kulit atau kaki sapi.
Bagaimana asal-usul kuliner rujak cingur? Pengamat kuliner Universitas Brawijaya, Ary Budiyanto, menduga bahwa rujak cingur adalah bentuk hibrid (bentuk baru hasil persilangan) dari rujak buah dan ’djanganan’.
’Djanganan’ sendiri, menurut Ary, merupakan salah satu resep kuliner kolonial sebagaimana ditulis Cornelia dalam buku Kokki Bitja, atau, Kitab Masak-Masakan (H)India, Jang Baharoe dan Samporna (tahun 1864) terbitan Cornell University. Di sana digambarkan bahwa ’djanganan’ adalah masakan terdiri dari kacang panjang, tauge, kol, daun kacang, mentimun, kangkung, dan buncis, yang disiram dengan campuran bumbu cabe, gula merah, terasi, kemiri bakar, asam dan petis.
”Resep ’djanganan’ ini adalah resep kolonial Kokki Bitta yang legendaris. Mirip dengan rujak sayur petis, meskipun tidak memakai cingur dan kacang tanah,” kata Ary.
Makanan lain mirip dengan rujak cingur menurut Ary adalah pecel sayur dan rujak buah. ”Apakah rujak cingur ini hibrid dari pecel sayur dan rujak buah? Bisa jadi demikian. Seperti proses rujak soto atau pecel lodeh. Bisa juga karena hibrid iseng pelanggan yang ingin makan campuran rujak buah dan janganan atau sayur. Bermula dari keisengan, lalu jadi menjadi ketagihan, deh,” kata dosen Antropologi Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Brawijaya itu.
Resep ’djanganan’ ini adalah resep kolonial Kokki Bitta yang legendaris. Mirip dengan rujak sayur petis meskipun tidak memakai cingur dan kacang tanah.
Satu ciri khas tak bisa dilupakan adalah, bahwa rujak cingur menggunakan pisang kluthuk sebagai bagian dari bumbu ulek. ”Makan rujak, bisa jadi bikin sebah atau terasa tidak enak di perut. Maka, pisang kluthuk ini fungsinya menetralisir rasa tidak enak itu,” kata Ary.
Petis
Bicara soal rujak cingur tidak pas jika tidak mengupas soal petis. Petis, menurut Ary, sudah banyak dipakai untuk sambal sejak dahulu kala dan itu tertuang dalam Serat Centhini.Begitu juga ragam rujak juga sudah dikenal di Chentini. Namun, di sana secara spesifik tidak disebut rujak petis atau cingur.
”Ada yang bilang petis adalah hasil samping terasi udang dan beraal dari Cirebon atau bahkan Masa Pajajaran. Tetapi, ini agak meragukan karena pembuatan terasi rebon udang tak ada proses penggodokan yang nanti sisanya dikatakan untuk bahan petis udang. Masih belum pasti apakah asal utama petis udang hasil samping dari terasi. Petis udang malah lebih dihasilkan dari kupasan udang, khususnya bagian kepalanya, yang nanti diolah dengan direbus dan dimasak menjadi pasta yang disebut petis udang,” kata Ary.
Ahli gastronomi peranakan Tionghoa, Aji Chen Bromokusumo (almarhum), dalam tulisannya di web budaya Tionghoa, http://web.budaya-tionghoa.net/index.php/item/1775-petis, mengatakan bahwa petis enak selama ini dikenal buatan keturunan Tionghoa di pesisir utara Jawa, seperti Brebes, Tegal, Pekalongan, Semarang, serta termasuk Sidoarjo.
Aji tidak tahu pasti kapan petis mulai dikenal, tetapi ia menduga bahwa petis mulai tercipta di pesisir utara Jawa pada abad ke-7. Saat itu, pelabuhan-pelabuhan di utara Jawa menjadi hub atau penghubung antara masyarakat lokal dan dunia internasional. Selain berdagang, di sana terjadi tukar menukar ilmu pengetahuan termasuk ilmu pengawetan makanan, dalam hal ini untuk produk perikanan.
Disebutkan, ada petis udang dan ikan. Ada pula kategorisasi petis, yaitu petis biasa dan petis kualitas super (istimewa). Petis kualitas biasa biasanya ada campuran tepung kanji, sedangkan petis super adalah murni dari bahan ikan dan udang.
”Orang Madura dan peranakan Tionghoa dahulu banyak menjual rujak cingur. Ini karena petis dan terasi enak dahulu banyak dibuat oleh orang Tionghoa,” kata Ary.
Adapun Dukut Imam Widodo, penulis buku Monggo Dipun Badhog, menyebut petis bagian dari makanan khas Surabaya. Bahkan, petis digambarkan menjadi simbol interaksi antarsuku di sana. Petis banyak didatangkan dari daerah lain, seperti Sidoarjo, Madura, Gresik, ataupun Lamongan. Selat Madura yang kaya beragam hasil laut membuat kota pesisir ini kaya akan jenis-jenis petis. Ada petis ikan, petis udang, ataupun petis lorjuk.
Masyarakat Surabaya menyukai petis udang berwarna kehitaman. Dibandingkan dengan daerah lain yang juga memproduksi petis, pemanfaatan petis sebagai bahan makanan lebih banyak dilakukan di Surabaya dan sekitarnya. Ada sajian makanan yang merupakan akulturasi dengan budaya Tionghoa, yaitu asinan sayur, di mana petis menjadi bumbu utama dalam hidangan.
Disebutkan oleh Dukut, bagi warga Surabaya, petis juga sudah menjadi bagiaan kegiatan makan keseharian. Biasanya, makan gorengan pun tidak lengkap jika tidak dicocol petis.
Lagu
Yang menjadi catatan Ary, rujak cingur diperkirakan mulai banyak dikenal seiring munculnya lagu Is Haryanto berjudul ”Rek Ayo Rek” yang booming tahun 1970-an.
Rek ayo rek mlaku mlaku nang Tunjungan. Rek ayo rek rame rame bebarengan
Ngalor ngidul liwat toko ngumbah moto. Masio mung nyenggal nyenggol ati lego
Sopo ngerti nasib Awak lagi mujur. Kenal anake sing dodol rujak cingur.
Pada tahun 1986, Kompas memberitakan bahwa Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Timur bersama Kanwil Deparpostel Jatim mengadakan festival Makanan Khas Jawa Timur (MKJT), yakni disebutkan salah satunya adalah rujak cingur. Pada saat itu, selain dilakukan inventarisasi makanan khas Jawa Timur, juga ditegaskan bahwa ciri makanan khas Jawa Timuran adalah tidak terlalu manis dan tidak terlalu pedas, menggunakan petis udang/pindang, serta memakai bumbu rempah dan lemak yang tidak berlebihan.
Ciri-ciri makanan itu adalah ciri umum. Sebab, disebutkan ada juga makanan Madura di mana cenderung asin, dan kuliner Madiun yang berciri manis karena terpengaruh Jawa Tengah.
Jadi, tertarikkah Anda mencoba kuliner Jawa Timuran khususnya rujak cingur? Yuk….