BKSDA Sumbar Buru Penganiaya Simpai yang Viral di Medsos
BKSDA Sumatera Barat memburu pelaku yang menangkap dan menganiaya simpai atau surili sumatera (”Presbytis melalophos”), hewan endemik Sumatera terancam punah, yang videonya viral di media sosial.
Oleh
YOLA SASTRA
·4 menit baca
PADANG, KOMPAS — Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Barat memburu pelaku yang menangkap dan menganiaya simpai atau surili sumatera (Presbytis melalophos), hewan endemik Sumatera terancam punah, yang videonya viral di media sosial. Para pelaku terancam hukuman lima tahun penjara dan denda Rp 100 juta.
Pengendali Ekosistem Hutan BKSDA Sumbar Ade Putra, Kamis (1/4/2021), mengatakan, pihaknya mendapatkan laporan tentang video itu pada Kamis pagi. Ade dan timnya sudah berkoordinasi dengan beberapa Resor Konservasi Wilayah (RKW) BKSDA Sumbar.
”Kami berkoordinasi dengan beberapa (RKW) BKSDA, seperti Tanah Datar, Pariaman, dan Padang, untuk menelusuri lokasi kejadian dan identitas pelaku. Ada dua lokasi yang dicurigai mirip dengan video, yaitu Lintau Buo, Tanah Datar dan Lubuk Minturun, Padang,” kata Ade, yang juga menjabat Kepala RKW Agam BKSDA Sumbar, Kamis.
Selain dengan RKW, BKSDA Sumbar juga berkoordinasi dengan sejumlah Kepolisian Resor untuk memburu pelaku. Dari video yang beredar, perbuatan pelaku sudah masuk dalam kategori pidana.
Dalam video durasi 26 detik itu, seorang pemuda terlihat menarik ekor simpai yang menjerit dan meronta-ronta ketakutan. Empat pemuda lainnya, termasuk perekam video, tertawa melihat aksi itu. Sekilas, kejadian berlangsung di pinggir sungai kecil berair jernih dan dikelilingi semak.
Simpai yang frustrasi sempat berbalik dan melompat ke arah pelaku sehingga ia terlepas. Pelaku terjatuh ke belakang dan simpai berlari ke dalam sungai. Atas perintah perekam, pelaku kembali menangkap simpai yang lemah dengan menarik ekornya. Seorang di antara penonton menyodorkan karung putih ke orang yang menangkap simpai.
Ade menjelaskan, perbuatan pelaku melanggar Pasal 21 Ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Koservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Setiap orang dilarang menangkap, melukai, membunuh, memiliki, menyimpan, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa dilindungi baik dalam keadaan hidup, mati ataupum bagian-bagian tubuhnya serta hasil olahannya.
Menurut Ade, pelaku setidaknya telah menangkap dan melukai hewan dilindungi. Simpai itu diperkirakan sudah dewasa, usia sekitar delapan tahun. Atas perbuatan tersebut, pelaku bisa terancam hukuman 5 tahun penjara dan denda Rp 100 juta.
”Berdasarkan video, terlihat ada aktivitas menangkap, memegang ekor. Satwa tidak bisa bergerak dan tampak meronta-ronta. Tampak juga sebuah karung disiapkan diduga untuk menangkap,” ujar Ade. Namun, motif mereka menangkap simpai itu belum jelas, apakah untuk diperjualbelikan atau untuk dipelihara.
Perbuatan pelaku melanggar Pasal 21 Ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Koservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. (Ade Putra)
Ade mengimbau masyarakat agar segera menginformasikan kepada BKSDA Sumbar apabila menemukan satwa liar, terutama yang dilindungi. Masyarakat juga bisa menghubungi aparat setempat, seperti pihak nagari/desa/kelurahan dan kepolisian. Jika lokasinya tidak jauh dari kawasan hutan, bisa langsung dilepaskan.
Ditambahkan Ade, salah satu pemicu perburuan satwa liar ataupun satwa dilindungi masih sering terjadi karena masih ada masyarakat yang hobi memelihara satwa tersebut.
”Peluang itu memotivasi mereka tangkap satwa karena ada pangsa pasarnya, selain juga sosialisasi belum sampai ke mereka. BKSDA terus melakukan sosialisasi secara intensif melalui berbagai media,” ujar Ade.
Secara terpisah, Koordinator Komunitas Orangufriends Padang Novi Rofika sangat menyayangkan penganiayaan terhadap satwa dilindungi sebagaimana yang terekam di dalam video tersebut. ”Perbuatan itu melanggar hak hidup satwa liar,” kata Novi.
Menurut Novi, masyarakat Minangkabau sebenarnya punya kearifan untuk melindungi hutan dan satwa. Namun, entah di mana salahnya, anak-anak Minangkabau sekarang banyak yang tidak lagi punya pengetahuan terkait kearifan tersebut. ”Dalam video, jelas sekali terlihat tidak ada penghargaan mereka terhadap hak hidup satwa liar,” ujarnya.
Novi menjelaskan, normalnya hewan simpai sulit ditangkap karena biasa hidup di pohon tinggi atau puncak-puncak pohon, mirip dengan kebiasaan orangutan. Kebiasaan itu berbeda dengan monyet dan beruk yang memang sering turun ke darat dan tidak takut dengan manusia.
”Jadi, ada dua kemungkinan simpai ini bisa ditangkap. Kalau tidak diburu, berarti dia terfragmentasi. Terfragmentasi ini maksudnya ada kesalahan pada habitatnya sehingga membuat dia harus turun dan berdekatan dengan manusia,” ujar Novi.
Novi meminta aparat penegak hukum segera menangkap dan memproses para pelaku yang terlibat dalam penganiayaan itu sesuai aturan yang berlaku. Penegakan hukum secara tegas diperlukan agar ada efek jera sehingga kejadian serupa tidak terulang.