Belasan Rumah Warga Retak Terimbas Megaproyek Jalan Wisata Pemprov Sultra
Proses pembangunan jalan akses wisata Toronipa, Sulawesi Tenggara, dengan anggaran Rp 1,1 triliun, menyisakan dampak bagi warga. Sejumlah rumah warga retak dan ambles akibat pemancangan tiang.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·5 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Proses pembangunan jalan akses wisata Toronipa, Sulawesi Tenggara, dengan anggaran Rp 1,1 triliun, menyisakan dampak bagi warga. Sejumlah rumah warga retak dan ambles akibat pemancangan tiang. Tidak hanya itu, lahan warga juga belum tuntas dibayarkan.
Koddang, Kepala Dusun II Leppe, Kecamatan Toronipa, Kabupaten Konawe, menerangkan, lantai rumahnya terus ambles sedalam hampir 10 sentimeter. Hal itu terjadi sejak pemancangan tiang jalan dimulai pada Februari lalu. Guncangan pemasangan tiang membuat rumahnya bergetar sehingga merusak fondasi rumah.
”Sudah mau dua bulan begini. Tiap mereka pukul tiang pancang, di rumah bergetar juga. Sampai lantai ambles di ruang tengah, kamar, dan teras,” kata Koddang, Kamis (1/4/2021).
Saat disambangi awal pekan ini, sejumlah rumah warga di Desa Bajo Indah hingga Desa Leppe, Kecamatan Toronipa, terlihat retak di berbagai sisi. Keretakan dimulai dari fondasi hingga dinding bagian dalam. Sejumlah lantai rumah warga juga ambles dan rusak.
Di Desa Leppe, sejumlah rumah terlihat rusak, khususnya yang dekat dengan pembangunan jalan yang berada di atas laut. Bagian jalan akses wisata Kendari-Toronipa ini berupa jembatan dengan model tiang pancang. Di dusunnya, Koddang melanjutkan, pihaknya belum mendata secara pasti berapa jumlah rumah yang rusak akibat pemancangan tiang. Hanya saja, dua rumah di sekitar rumahnya juga mengalami kerusakan yang sama.
Menurut Koddang, pihaknya telah melaporkan hal ini ke tingkat desa. Namun, belum ada tindak lanjut dari pelaksana proyek terkait kerusakan yang dialami. Ia berharap pemerintah memberikan perhatian karena warga merasakan dampak dari pembangunan jalan.
”Kami juga tidak tahu ada pembangunan begini. Seingat saya tidak ada sosialisasi, pemberitahuan, tiba-tiba laut di depan rumah kami ditimbun, dan tiang pancang dipasang. Kami ini kalau mau keluar harus memutar karena di depan sudah tertutup,” ucap Koddang, yang saban hari masih melaut ini.
Di Desa Bajo Indah, yang berdampingan dengan Desa Leppe, kerusakan rumah akibat pemancangan tiang terdata jauh lebih banyak. Sedikitnya sembilan rumah warga telah dilaporkan rusak.
Mona (43), warga Bajo Indah, menyampaikan, sejak pemancangan tiang dimulai pada awal Februari, kerusakan rumah mulai terjadi. Keretakan di sejumlah bagian rumah terus membesar. Fondasi rumah juga retak dan ambles di beberapa bagian. Dinding rumah retak dari bawah hingga ke plafon. Ia khawatir, jika keretakan terus berlanjut, akan membahayakan penghuni rumah.
Tidak hanya rumahnya, tambah Mona, di Desa Bajo Indah sedikitnya ada sembilan rumah yang retak dan rusak akibat pemancangan tiang. Mereka lalu bersepakat untuk menahan aktivitas pengerjaan jalan karena dampak yang ditimbulkan. ”Kami lalu dipanggil bertemu dengan pelaksana, termasuk Dinas Sumber Daya Air dan Bina Marga Sultra. Di situ disepakati akan ada ganti rugi, tetapi setelah pembangunan selesai,” tutur Mona.
Meski demikian, ia melanjutkan, sejauh ini belum ada titik temu jumlah besaran ganti rugi yang akan diterima. Ia berharap ada solusi terbaik untuk warga karena membangun rumah membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Dari situ akan dipastikan nilai ganti rugi yang akan diberikan.
Camata Toronipa Masnur mengatakan, pembangunan Jalan Toronipa, khususnya pemancangan tiang, memang membuat sejumlah rumah warga rusak. Pertemuan dengan pihak pelaksana, yaitu PT Pembangunan Perumahan (PP), dengan Dinas SDA dan Bina Marga, telah berlangsung. Namun, nilai ganti rugi akan ditetapkan setelah survei lapangan dilakukan.
”Jadi, ada survei awal dulu, beberapa waktu lalu telah berlangsung. Ke depannya, setelah pemancangan dan pembangunan jembatan yang merupakan bagian akses jalan selesai, ada survei kembali. Dari situ akan dipastikan nilai ganti rugi yang akan diberikan,” kata Masnur.
Proyek Jalan Kendari-Toronipa merupakan satu dari tiga megaproyek Pemprov Sultra, selain RS Jantung dan perpustakaan. Jalan sepanjang 14,6 kilometer yang menghubungkan Kota Kendari dengan Toronipa di Kabupaten Konawe, yang merupakan lokasi wisata ini, akan diperlebar menjadi 27 meter dengan total anggaran Rp 1,1 triliun.
Pembangunan jalan mengikis bukit hingga membangun di atas pesisir. Pengerjaan saat ini memasuki tahap kedua yang akan berlangsung hingga tahun 2022.
Tidak hanya rumah yang rusak, pembebasan lahan juga menyisakan masalah. Nail, warga Kelurahan Kasilampe, Kendari, menuturkan, dirinya menolak ganti rugi lahan miliknya yang dinilai sangat rendah. Nilai ganti rugi juga berbeda dengan daerah lain yang justru tidak strategis.
”Kami di pinggir jalan, nilainya jauh lebih murah dibanding rumah lainnya yang berada di dalam gang. Itu yang kami tidak terima. Kami sudah laporkan ini, tetapi tampaknya tidak ada perhatian,” katanya.
Sembilan warga di Kelurahan Kasilampe, tutur Nail, bersepakat untuk tidak menerima ganti rugi. Pihaknya berharap pemerintah tidak menutup mata dan menyelesaikan persoalan di lapangan. Terlebih lagi, sejak awal tidak ada pembahasan ganti rugi bersama masyarakat.
Kepala Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air Sultra Abdul Rahim tidak menjawab panggilan telepon dan pesan yang dikirimkan Kompas. Sebelumnya, Rahim menerangkan, pembangunan tahap pertama pada 2019 dikerjakan dengan anggaran Rp 144 miliar. Di tahap ini, menyelesaikan pembangunan dan pelebaran jalan sepanjang 2,1 kilometer.
Menurut Rahim, desain awal yang mengambil jalan ke laut telah direvisi sehingga pembangunan hanya menambah jalan eksisting saat ini. Pembangunan jalan untuk mendukung pariwisata yang selama ini seperti tidak diperhatikan dengan baik.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Muhammadiyah Kendari, Andi Awaluddin, mengemukakan, sejak awal, pembangunan Jalan Kendari-Toronipa bukan sesuatu yang mendesak. Sebab, masih banyak jalan yang rusak di daerah lain, yang menghambat ekonomi masyarakat.
”Ini saya lihat sudah menyimpang dari visi gubernur sebelumnya. Apalagi, dengan skema peminjaman, itu bukan sesuatu yang mendesak untuk dilakukan. Kelihatan ini ada sesuatu yang aneh, dan hanya seperti proyek mercusuar. Bisa dibayangkan jika triliunan rupiah itu membangun puskesmas atau sekolah,” kata Awaluddin.
Jika menghitung satu puskesmas senilai Rp 500 juta, akan terbangun sekitar 2.200 puskesmas dengan anggaran Rp 1,1 triliun.