Sineas Aceh Kampanye Peradilan Adat Melalui Film Fiksi
Sineas Aceh yang tergabung dalam Adoc Production merilis sebuah film fiksi pendek berjudul ”Suloh”. Film mengangkat proses peradilan adat di desa sebagai sarana penyelesaian sengketa antarwarga.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Sineas Aceh yang tergabung dalam Adoc Production merilis sebuah film fiksi pendek berjudul Suloh. Film ini mengangkat proses peradilan adat di desa sebagai sarana penyelesaian sengketa antarwarga tanpa harus berurusan dengan pengadilan negara.
Film Suloh diputar perdana pada Selasa (30/1/2021) bertepatan dengan Hari Film Nasional. Film berdurasi 18 menit itu akan dijadikan bahan kampanye penguatan peradilan adat di Aceh sebagai alat penyelesaian masalah di tingkat tapak.
Produser Suloh, Faisal Ilyas, Rabu (31/3/2021), di Banda Aceh, mengatakan, film ini untuk mengangkat kebudayaan yang kian meluntur di masyarakat. Suloh atau proses peradilan adat selama ini dilakukan melalui musyawarah di level gampong. Melalui suloh, perangkat desa, tokoh desa, dan para pihak yang terlibat dalam sengketa bermusyawarah untuk menyelesaikan.
Rapat desa dipimpin oleh geuchik/kepala desa yang dalam film diperankan oleh Mirja Irwansyah. Sementara peserta rapat adalah para pihak yang bersengketa, tokoh adat, tokoh pemuda, dan warga.
Film Suloh mengangkat kasus perusakan kaca mobil milik Doni (Munawar) oleh Sigam. Sigam mengalami gangguan jiwa, tetapi dalam film itu tidak dihadirkan. Sigam diwakili oleh ibunya, Laila (Cut Ratnawati).
Sigam dituduh merusak kaca mobil. Namun, Laila tidak mau membayar kaca mobil itu sebab pada kesempatan yang sama Sigam mengalami luka di kepala yang diduga dipukul oleh Doni.
Doni mengelak tuduhan itu, meski ada yang menyaksikan saat Doni merangkul tubuh Sigam di dalam kegelapan malam. Dalam rapat yang berlangsung di balai desa, perdebatan tak terelakkan. Saling tuding dan saling sela semakin membuat suasana panas.
Dalam keadaan panas itu, ada yang mengancam membawa kasus ke pengadilan negara. Namun, kepala desa punya solusi yang menenangkan warganya.
Film Suloh disutradarai oleh Azhari. Film ini menggunakan bahasa Aceh, tetapi disertai terjemahan bahasa Indonesia. Pembuatan film ini dibiaya Balai Pelestarian Nilai Budaya Aceh.
Seusai pemutaran perdana, Kepala Balai Pelestarian Nilai Budaya Aceh Irini Dewi Wanti menuturkan, film tersebut menjadi media kampanye penguatan adat dan budaya masyarakat Aceh. Irini mengatakan, sebenarnya warga memiliki mekanisme sendiri untuk menyelesaikan sengketa-sengketa ringan yang terjadi di desa tanpa harus dibawa ke pengadilan negara.
”Sekarang banyak kasus kecil, sesama keluarga, anak lapor orangtua, tetapi harus diselesaikan ke pengadilan. Seharusnya bisa diselesaikan secara kekeluargaan,” kata Irini.
Sekarang banyak kasus kecil, sesama keluarga, anak lapor orangtua, tetapi harus diselesaikan ke pengadilan. Seharusnya bisa diselesaikan secara kekeluargaan.
Dosen Ilmu Hukum Adat Universitas Syiah Kuala, Adli Abdullah, mengatakan, ada 18 kasus yang bisa diselesaikan melalui peradilan adat di tingkat desa. Menurut Adli, peradilan adat memiliki kekuatan hukum dan diakui oleh negara.
Hal itu diatur dalam Qanun (Peraturan Daerah) Provinsi Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat. Peraturan Gubernur Aceh Nomor 60 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Penyelesaian Sengketa/Perselisihan Adat dan Istiadat. Selain itu, adanya keputusan bersama antara Gubernur Aceh, Kepolisian Daerah Aceh, dan Majelis Adat Aceh.
Beberapa kasus yang bisa diselesaikan di peradilan adat desa di antaranya persoalan warisan, pencurian ringan, sengketa di pasar, pertanian, dan perkelahian ringan. Adli mengatakan penyelesaian melalui peradilan adat mempertimbangkan keharmonisan antarwarga untuk masa jangka panjang.
Namun, film tersebut mendapat kritikan dari penonton. Ihan Nurdin, novelis, menuturkan, film tersebut tidak menggambarkan semangat kesetaraan jender sebab Laila menjadi satu-satunya peserta rapat mewakili perempuan. Dalam rapat itu, posisi Laila sebagai terdakwa, mewakili Sigam, anaknya. ”Film ini menguatkan budaya patriaki di dalam masyarakat Aceh,” kata Ihan.
Selain itu, dalam film yang diselesaikan hanya persoalan kaca mobil yang rusak, sementara Sigam yang mengalami luka pada kepala tidak dibicarakan. Menurut Ihan, kasus Sigam mengalami luka di kepala harusnya penanganannya juga disepakati bersama.