Proyek lumbung pangan nasional sejak seperempat abad lalu selalu menyisakan bencana bagi masyarakat Kalteng. Program strategis nasional itu hingga kini belum terlihat keberhasilannya.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Program strategis nasional lumbung pangan di Kalimantan Tengah dinilai menabrak berbagai kajian hukum dan ekologis. Organisasi lingkungan di Kalteng menilai, program itu bakal berdampak pada kerusakan lingkungan.
Hal tersebut terungkap dalam diskusi dalam jaringan yang diselenggarakan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Tengah dengan tema ”Dilema Cita-cita Ketahanan Pangan Indonesia”, Rabu (31/3/2021) sore. Selain diskusi, kegiatan itu juga menayangkan film dokumenter tentang food estate yang dibuat Walhi Kalteng dan Save Our Borneo (SOB).
Program food estate di Kalteng pada tahap pertama dilakukan di dua wilayah, yakni Kabupaten Pulang Pisau dan Kapuas, dengan total luas lahan mencapai 30.160 hektar. Rinciannya, seluas 10.160 hektar di Kabupaten Pulang Pisau lalu 20.000 hektar di Kabupaten Kapuas. Jumlah total luasan itu hampir sama dengan setengah luas Provinsi DKI Jakarta.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Setelah Presiden Joko Widodo mengunjungi desanya, warga Desa Belanti Siam di Kabupaten Pulang Pisau, Kalteng, mulai bersiap untuk kembali menanam dengan menyemai benih padi, Sabtu (10/10/2020). Setidaknya 30.000 hektar sawah ekstensifikasi bakal ditanami padi sebagai tahap awal megaproyek food estate.
Selain program padi, pemerintah juga memiliki program pendukung food estate dengan melakukan penanaman singkong di Desa Tewai Baru, Kabupaten Gunung Mas, Kalteng, yang luasnya lebih kurang 600 hektar. Program ini dipimpin dan dilaksanakan oleh Kementerian Pertahanan RI.
Kepala Departemen Penguatan Organisasi dan Pendidikan Walhi Kalteng Bayu Herinata menjelaskan, dasar hukum pengembangan food estate di Kalteng tidak memiliki dasar hukum dan bertentangan dengan asas kepastian hukum dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
”Selain itu, terkait pemilihan lokasi food estate di lahan bekas proyek lahan gambut sejuta hektar pada saat zaman Orde Baru itu pun berpotensi terjadi kerusakan ekologis yang juga bertentangan dengan asas kecermatan dalam UU Nomor 30 itu,” kata Bayu.
Bayu menambahkan, penunjukan Kementerian Pertahanan menjadi leading sector atau pelaksana proyek bertentangan dengan asas tidak menyalahgunakan wewenang di dalam UU Nomor 30 Tahun 2014. ”Ini baru dari kajian hukum, dari kajian ekologis juga sebenarnya menyalahi banyak kebijakan,” ungkapnya.
Program lumbung pangan kali ini di Kalteng berada di lahan bekas PLG tahun 1995 yang lulasnya mencapai 1,4 juta hektar. Kondisi saat ini, lahan bekas PLG itu sudah menjadi areal persawahan dan kebun masyarakat. Beberapa bagian bahkan sudah menjadi wilayah hak guna usaha (HGU) perusahaan perkebunan sawit.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Warga Desa Belanti Siam membersihkan lahan di sawah milik orang yang mengupahnya di Kabupaten Pulang Pisau, Kalteng, Jumat (4/9/2020). Kawasan food estate itu, menurut rencana, bakal dikembangkan pemerintah menjadi pusat lumbung pangan nasional.
Direktur Eksekutif Walhi Kalteng Dimas Novian Hartono mengatakan, wilayah eks PLG merupakan wilayah yang hampir setiap tahun terbakar dan sedang direhabilitasi melalui program restorasi gambut. Menurut dia, kerusakan lahan gambut itu terjadi lantaran program PLG yang tidak ramah lingkungan. Program 25 tahun lalu itu juga merupakan program lumbung pangan dengan komoditas padi.
”Program ini kemudian diulang kembali saat ini, masih di lahan yang sama dengan sistem yang lebih kurang sama. Ini akan berpotensi pada kerusakan dan dampak lingkungan yang sama, yakni kebakaran dan bencana asap,” ungkap Dimas.
Dimas menambahkan, pemerintah seharusnya melakukan identifikasi wilayah dan lahan milik masyarakat. ”Selama ini masih banyak lahan masyarakat yang berada di kawasan hutan ataupun berkonflik dengan investasi,” kata Dimas.
Program ini kemudian diulang kembali saat ini, masih di lahan yang sama dengan sistem yang lebih kurang sama. Ini akan berpotensi pada kerusakan dan dampak lingkungan yang sama, yakni kebakaran dan bencana asap.
Koordinator Pantau Gambut Nasional Iola Abas mengungkapkan, program tersebut merupakan pilihan yang salah jika alasannya untuk mengantisipasi krisis pangan. Menurut dia, saat ini Indoonesia masih baik-baik saja dengan ketersediaan pangan.
”Alih-alih memperbaiki persoalan distribusi pangan atau diversifikasi pangan, pemerintah justru membuat proyek besar yang hasilnya belum tentu dirasakan masyarakat,” ungkap Iola.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Salah satu kanal primer di lahan bekas PLG tahun 1995 di wilayah Dadahup, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, Kamis (9/7/2020). Kanal itu, menurut rencana, bakal direhabilitasi untuk keperluan program lumbung pangan.
Program food estate di Kalimantan Tengah terus berjalan. Saat ini penanaman padi tahap kedua bakal dilakukan di Kabupaten Kapuas ataupun Pulang Pisau.
Sebelumnya, dalam kunjungan Komisi IV DPR ke Kabupaten Kapuas pada Senin (29/3/2021), Sekretaris Daerah Kalteng Fahrizal Fitri mengungkapkan, semua pihak ikut mengawal program ini. Pihaknya berupaya untuk terbuka dan transparan dalam menjalankan program.
”Anggota DPR sudah melihat langsung kondisi di lapangan sehingga kami berharap ini bisa dikawal betul-betul,” ungkap Fahrizal.
Fahrizal menjelaskan, program food estate di Kecamatan Dadahup pada tahap awal sudah disiapkan lahan seluas 2.000 hektar dengan rincian di blok A5 atau Desa Bentuk Jaya seluas 1.000 hektar dan di blok A2, B1, dan C1 juga seluas 1.000 hektar dan saat ini sedang mulai memanen. Menurut dia, masyarakat justru senang karena melalui program ini mereka mendapatkan bantuan dan bisa melakukan pemanenan dua kali.