Ratusan Burung Asal Ende dan Sekotak Telur Asal Taiwan Dimusnahkan
Ratusan ekor burung asal NTT dan belasan butir telur impor asal Taiwan, yang diduga mengandung hama dan penyakit pada hewan, dimusnahkan, Selasa (30/3) untuk mencegah sebaran pada hewan lainnya dan penularan ke manusia.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Sebanyak 156 ekor burung asal Ende, Nusa Tenggara Timur, dan sekotak telur asal Taiwan dimusnahkan oleh Balai Besar Karantina Pertanian Surabaya, Selasa (30/3/2021). Pemusnahan itu untuk mencegah sebaran penyakit karena sebagian burung terpapar virus flu burung.
Pemusnahan dilakukan dengan cara dibakar di dalam incinerator. Adapun lokasi berada di dalam area kantor BBKP Surabaya yang terletak di Jalan Raya Juanda. Pemusnahan ini merupakan bagian dari tindakan karantina yang disebut 8P, yakni pemeriksaan, pengamatan, pengasingan, penolakan, penahanan, perlakuan, dan pemusnahan.
Kepala BBKP Surabaya Musyaffak Fauzi mengatakan, ratusan burung asal Ende terdiri dari beragam jenis, seperti Branjangan, Anis Kembang, Decu, Tledekan, Ciblek, dan Bimoli. Ratusan burung itu merupakan barang hasil penindakan oleh penyidik dari Direktorat Polairud Polda Jatim pada 22 Maret lalu.
Burung-burung itu diduga diperdagangkan secara ilegal. Adapun perkaranya sendiri masih berlanjut meski barang buktinya harus dimusnahkan karena terindikasi terpapar penyakit berbahaya. Penyakit itu bisa menular pada satwa unggas lainnya dan menyebabkan tingkat kematian yang tinggi.
”Dari 156 ekor burung tersebut, berdasarkan hasil uji laboratorium, infeksi virus Avian Influenza atau flu burung ditemukan pada burung Tledekan dan Bimoli. Untuk memutus rantai sebaran virus, seluruh burung harus dimusnahkan,” ujar Musyaffaf Fauzi.
Avian influenza merupakan virus berbahaya karena bersifat zoonosis, artinya tidak hanya menular pada sesama unggas melainkan juga bisa menular kepada manusia. Paparan virus AI pada manusia bisa menimbulkan penyakit yang parah bahkan menyebabkan kematian.
Telur impor
Selain memusnahkan burung asal Nusa Tenggara Timur, BBKP Surabaya pada saat bersamaan juga memusnahkan sekotak telur impor dari Taiwan. Dalam kotak itu terdapat 14 butir telur yang kondisinya sebagian sudah busuk sehingga rentan menyebarkan beragam penyakit di lingkungan sekitar.
Berdasarkan hasil uji laboratorium, infeksi virus flu burung ditemukan pada burung Tledekan dan Bimoli, untuk memutus rantai sebaran virus, seluruh burung harus dimusnahkan (Musyaffaf Fauzi)
Kepala Bidang Karantina Hewan BBKP Surabaya Cicik Sri Sukarsih mengatakan telur impor itu merupakan hasil penindakan yang dilakukan oleh Karantina Pertanian Surabaya Wilayah Kerja Kediri. Masuknya telur impor itu tidak disertai dengan dokumen karantina sehingga berpotensi menyebarkan penyakit yang berbahaya.
”Selain kondisinya rusak dan busuk, berdasarkan hasil pengamatan dalam pengasingan, telur itu tertular hama dan penyakit hewan karantina atau HPHK. Tindakan pemusnahan itu sendiri didasarkan pada Undang Undang Nomor 21/2019,” kata Cicik.
Sebelumnya, BBKP Surabaya memusnahkan sebanyak 287,7 ton jahe impor asal India dan Myanmar yang masuk melalui Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Pemusnahan dengan cara dibakar itu dilakukan di incinerator milik PT Hijau Alam Nusantara di Kecamatan Ngoro, Mojokerto, Jumat (26/3/2021).
Berdasarkan volume, jahe impor yang dimusnahkan kali ini lebih besar dibandingkan dengan yang pekan lalu. Sebelumnya, jahe yang dimusnahkan sebanyak 108 ton. Jahe itu berasal dari Vietnam dan Myanmar yang masuk melalui Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta.
”Sistem perkarantinaan akan terus diperkuat untuk melindungi kelestarian sumber daya pertanian di Tanah Air. Adapun penolakan jahe impor yang berpotensi mengandung penyakit dan ditindaklanjuti dengan pemusnahan ini telah didasari hasil kajian dan analisa risiko,” ujar Sekretaris Badan Karantina Pertanian Kementerian Pertanin Wisnu Haryana di Mojokerto.
Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan jahe impor tersebut berpotensi membawa hama dan penyakit tumbuhan sehingga tidak memenuhi persyaratan karantina yang ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia. Hama dan penyakit itu berpotensi mengontaminasi tanaman jahe lokal yang produktivitasnya mencapai Rp 3,4 triliun per tahun.