Petualangan Perempuan Skotlandia Mencari Minyak Makassar Tahun 1884
Kepulauan Nusantara selalu menarik perhatian para penjelajah Barat. Salah satunya Anabelle Keith atau Anna Forbes, istri penjelajah dan naturalis Skotlandia, Henry Ogg Forbes, yang mengunjungi Makassar tahun 1884.
Oleh
Iwan Santosa
·4 menit baca
Kepulauan Nusantara selalu menarik perhatian para penjelajah Barat. Pada dekade 1880-an, Anabelle Keith atau Anna Forbes (1855–1922)—istri penjelajah dan naturalis Skotlandia, Henry Ogg Forbes—bepergian ke wilayah Timur Nusantara hingga ke Pulau Papua.
Ini adalah catatan Anna Forbes dalam buku Unbeaten Tracks in Island of The Far East, menuliskan kesannya saat berkunjung ke Kota Makassar sekitar tahun 1884 dalam perjalanan menemani suaminya menjelajahi wilayah timur Nusantara.
Saat tiba di Pelabuhan Makassar dengan menumpang kapal uap pada 30 April 1884, Anna Forbes mencari ”minyak Makassar”. Namun, tidak seorang pun di sana yang paham apa yang dimaksud Anna Forbes dengan minyak Makassar atau ”Macassar Oil” itu.
Adapun, lanjut catatan Anna Forbes, Kota Makassar semasa itu menjadi pusat perdagangan dari wilayah Timur Hindia Belanda, semisal kayu rotan dari Borneo atau Kalimantan, kayu cendana dan lilin dari sarang lebah asal Flores atau Timor, dan teripang dari Teluk Karpentaria di utara Australia.
Ada juga minyak kayu putih dari Pulau Buru, pala dan kulit kayu musoi dari Papua dan lain-lain kekayaan alam yang dijual pedagang Tionghoa dan Bugis di Kota Makassar. Demikian pula beras dan kopi hasil panen di Sulawesi dijual di sana.
Semasa itu, perdagangan ke Kepulauan Aru juga dikendalikan dari Makassar dengan menggunakan perahu-perahu tradisional Bugis. Aneka mutiara dan indukan kerang mutiara, hingga cangkang kura-kura dan penyu didatangkan dari Aru untuk dijual ke Eropa. Sementara sarang burung walet dan teripang dari Aru dibawa ke Makassar untuk dijual ke masyarakat Tionghoa sebagai pelengkap menu tradisional Tionghoa.
Sepanjang dermaga Pelabuhan Makassar, aneka kapal bisa berlabuh langsung dekat daratan menempel ke dermaga. Anna Forbes mengatakan, dirinya bisa langsung menjejakkan kaki ke bumi (terra firma) begitu turun dari kapal di Makassar.
Tidak jauh dari dermaga Makassar, terdapat deretan pertokoan dipenuhi toko-toko pedagang Eropa, Arab, dan Tionghoa. Di ujung pertokoan terdapat deretan pohon yang tumbuh rimbun.
Selepas deretan pepohonan itu, terdapat daerah hunian dan perkantoran bangsa Eropa. Banyak rumah baca yang menampilkan berbagai buku dan bahan bacaan berkualitas dari Eropa. Tidak jauh dari sana terdapat bangunan benteng megah, Fort Rotterdam.
Anna Forbes setiap hari meninggalkan kapal yang penuh sesak untuk berjalan-jalan menjelajahi Kota Makassar. Dia melewati beberapa kampung dan untuk pertama kali merasakan minum air kelapa segar dari buahnya dan menyaksikan penduduk setempat memanjat pohon kelapa yang menjulang tingggi untuk memetik buah kelapa.
Menurut dia, buah yang baru dipetik dan dijatuhkan dari pokok kelapa, airnya lebih segar dan manis daripada air kelapa yang dijual di pasar. Anna Forbes juga melihat rumah gubuk bambu warga setempat dan bercengkrama dengan kaum perempuan di rumah mereka yang antusias menerima tamu perempuan Eropa.
Kesan lain dari Kota Makassar semasa itu adalah keberadaan galangan kapal tradisional di salah satu tepian pantai. Berderet galangan kapal membuat kapal-kapal kayu yang kokoh untuk mengarungi lautan. Sepintas, menurut Anna Forbes, ada struktur kapal yang mirip dengan jung Tiongkok.
Kapal-kapal tradisional tersebut, menurut Anna Forbes, berukuran kecil, tetapi kokoh, yang mampu mengangkut beban 80 ton dengan diawaki 30 pelaut. Dek kapal melengkung ke bawah menjadi bagian paling dasar untuk membelah ombak lautan.
Dia memperhatikan ada keunikan konstruksi kapal Makassar dengan adanya lubang berukurang satu yard persegi di bagian belakang kapal dengan ketinggian sekitar satu meter di atas permukaan air. Lubang itu berguna untuk menjaga keseimbangan dan tersambung ke bagian perut kapal tempat barang dagangan diangkut.
Tidak ada bahan kimia modern, minyak, vernis, yang digunakan untuk membangun dan menyelesaikan kapal tradisional Makassar. Sebaliknya, bambu, rotan, dan atap sirap digunakan dalam konstruksi kapal tradisional.
Anna Forbes mengutip catatan naturalis Alfred Russel Wallace, yang beberapa tahun sebelumnya berlayar dengan perahu tradisional Makassar, dengan nyaman dan menyenangkan termasuk dalam acara makan di kapal tradisional.
Ketika itu, jamuan makan di kapal uap bersifat resmi dengan berbagai aturan dan etiket di ruangan sempit, makanan hangat disajikan, dan para penumpang berdesakan. Alih-alih menikmati hidangan, mereka justru banjir keringat karena kepanasan. Berbeda dengan santapan makan di kapal tradisional Makassar yang sangat akrab dengan sajian dihidangkan di atas daun pisang sebagai alas makan.
Meski demikian, tentu saja kapal uap lebih unggul karena memiliki kecepatan di atas kapal layar Makassar, sehingga dapat mencapai tujuan dengan lebih tepat waktu. Keberadaan kapal uap Eropa, kapal-kapal Makassar, Tionghoa, dan aneka jenis kapal di Pelabuhan Makassar terlihat menarik dan indah.
Anna Forbes juga mencatat adanya hubungan diplomasi antara Gubernur Hindia Belanda di Makassar dan Gubernur Timor Portugis yang kerap mengadakan kunjungan kehormatan. Saat berada di Makassar, Anna Forbes sempat menyaksikan Gubernur Timor da Franca dengan iringan kuda-kuda Timor mengantarkan mereka mengunjungi Gubernur Belanda di Makassar.
Setelah empat hari di Makassar, Anna Forbes melanjutkan pelayaran bersama suaminya Henry Ogg Forbes ke Larantuka di Pulau Flores. Anna dan suaminya menikah di Kota Batavia pada 1882, lalu melakukan penjelajahan ke berbagai pulau yang indah di Nusantara zaman Hindia Belanda.