Di Balikpapan, Aku Menjadi "Dukun" Dadakan
Tanpa pikir panjang saya mulai komat-kamit dengan gelas di dekat dada. Sesungguhnya hanya bibir yang bergerak-gerak tanpa sepotong mantra atau doa pun saya baca. “Terima kasih, Pak. Ndak terlalu pusing lagi," katanya.

Perempuan dayak long gliit duduk di tepi Sungai Tepai saat masak bersama di Desa Long Tuyoq, Kecamatan Long Pahangai, Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan Timur, Rabu (11/12/2019).
Sejak awal pandemi Covid-19, kantor menganjurkan kami para wartawannya untuk menghindari liputan lapangan jika dinilai tidak mendesak atau berpotensi terlibat kerumunan.
Dengan demikian, saya jadi lebih banyak wawancara via sambungan telepon. Beberapa liputan saya garap dari rumah bersumberkan webinar, kajian data, atau siaran pers daring.
Salah satunya, tulisan hasil telepon ke beberapa orang Suku Dayak Long Gliit di Desa Long Tuyoq dan Suku Dayak Bahau Umaq Lakuwe di Desa Liu Mulang. Desa tersebut saling bersebelahan di hulu Sungai Mahakam, Kecamatan Long Pahangai, Mahakam Ulu.
Namun, kondisi itulah yang telah menyelamatkan daerah ini dari serangan wabah.
Desa ini masih bisa dijangkau sinyal telepon, namun tidak oleh internet. Selimut hutan yang rapat membuat sinyal internet sulit diperoleh di desa ini. Jaringan internet hanya ada di kantor desa, itupun sangat lambat.
Namun, kondisi itulah yang telah menyelamatkan daerah ini dari serangan wabah. Pengawasan pun menjadi lebih mudah karena hanya ada satu pintu masuk, yakni melalui jalur sungai.
Pada awal pandemi, Mahakam Ulu memecahkan rekor dengan nol kasus Covid-19. Padahal, sembilan kabupaten/kota lainnya di Kaltim mencatatkan ratusan kasus pada Juli 2020.

Atap rumah warga Desa Long Tuyoq dan Liu Mulang di Kecamatan Long Pahangai, Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan Timur, dikelilingi hutan yang rapat, Kamis (12/12/2020).
Kebetulan, saya sudah dua kali ke desa itu dan menyimpan nomor telepon beberapa warga di sana, termasuk Kepala Suku Dayak Long Gliit, Blawing Belareq.
Dari Pak Blawing, saya mendapat cerita bahwa suku dayak telah menjalankan isolasi mandiri versi adat sejak muncul kabar Covid-19 masuk Indonesia. Ritual itu mereka sebut tolak bala hang bengan. Hang berarti ’batas’ dan bengan berarti ’penyakit’.
Ritual itu mengharuskan mereka membuat patung kayu yang dipercaya dapat menyerap penyakit yang datang sehingga penyakit tidak menular ke manusia.
Mereka juga diharuskan berdiam di rumah selama beberapa hari agar terhindar dari penyakit. Dalam kaca mata protokol kesehatan, perilaku ini kita sebut menjaga jarak dengan penyakit. Tulisan tentang ritual tersebut kemudian terbit dengan judul Kala Hutan jadi Benteng Alami dari Pandemi.
Baca juga: Kala Hutan Jadi Benteng Alami dari Pandemi
Liputan-liputan serupa banyak saya garap dari rumah dinas Kompas di Balikpapan, Kalimantan Timur, yang saya tempati. Dengan demikian, saya jadi sering berjumpa dan mengobrol dengan Wasanati, seorang ibu yang membantu membersihkan halaman rumah dinas ini. Acara ngobrol biasanya berlangsung sekitar jam 12.00 Wita, sambil dia menyapu.
Suatu kali, seperti hari-hari sebelumnya, Ibu Wasanati masuk ke halaman dengan membawa sapu lidi bergagang. Wanita berusia 57 tahun itu kemudian mengiyakan saat saya tawari minum. Saya masuk dan mengambil sebuah gelas. Dari jendela, saya lihat tiba-tiba ia mematung dengan kedua tangan memegangi pagar rumah dinas.
Baca juga: Tim Hore Saat Liputan Pencarian Sriwijaya Air SJ-182

Ibu Wasanati (57), petugas kebersihan di kompleks Balikpapan Baru, di sela-sela membersihkan jalan di sekitar rumah dinas Kompas di Balikpapan, Kalimantan Timur, Kamis (21/1/2021).
Selama beberapa saat, wajahnya hanya tertunduk. Saya buru-buru menaruh gelas dan bergegas ke teras. Wanita yang mengenakan caping dan rompi oranye itu hanya bergeming saat saya tanya apakah ia sakit.
Saya lalu memintanya beristirahat dan tidak usah menyapu halaman yang penuh dengan guguran daun belimbing. “Kepala saya pusing, Pak. Sejak pagi,” katanya di siang yang terik itu, pada pertengahan Januari 2021.
Napasnya terengah-engah. Saya memintanya duduk. Di balik caping, terlihat keringat membasahi dahi dan sekitar mata. Saya masuk kembali dan mengambil segelas air yang sempat tertunda. Ketika kemudian saya sodorkan gelas tersebut, si ibu malah melirik dan berujar, “Doakan dulu airnya nah, Pak. Biar saya sembuh.”
Baca juga: Meliput All England 2009, Kala China Perkasa Indonesia Terpana
Saya terkejut. Namun, tanpa pikir panjang mulai komat-kamit dengan gelas saya letakkan di dekat dada. Sesungguhnya hanya bibir saya yang bergerak-gerak tanpa sepotong mantra atau doa pun yang saya baca. Saya hanya ingin memenuhi permintaannya dengan harapan bisa memberi sugesti positif.
Ia kemudian menyambut gelas yang saya sodorkan dan meminumnya sebagian. Sisa air ia pakai membasuh muka. Ibu Wanasati menghela napas lalu terdiam sambil memandang ke arah jalan.
“Terima kasih, Pak. Ndak terlalu pusing lagi,” katanya. Saya diam dan merasa heran. Apakah semanjur itu air yang hanya diberi komat-kamit tanpa satu katapun terlantun?

Ibu Wasanati (57), petugas kebersihan di kompleks Balikpapan Baru, saat beristirahat di teras rumah dinas Kompas di Balikpapan, Kalimantan Timur, Kamis (21/1/2021).
Ibu Wasanati adalah petugas kebersihan di Kompleks Balikpapan Baru. Selama lebih dari 15 tahun terakhir, ia berganti-ganti pekerjaan, mulai dari petugas kebersihan, pemotong rumput untuk taman kota, tepi jalan raya, dan sekarang di kompleks perumahan Balikpapan Baru.
Di kompleks inilah rumah dinas Kompas berada. Saya menempatinya sejak medio 2019. Akhir 2019, saya mulai kenal dan sesekali mengobrol dengan Ibu Wasanati. Saya kemudian memintanya membantu menyapu halaman rumah dinas saat terlihat kotor. Tentu saja jika memang diperbolehkan.
Halaman rumah dinas cepat sekali kotor oleh guguran daun pohon cemara, pohon belimbing, dan pohon mangga. Saat saya harus meliput ke luar kota beberapa hari, halaman akan segera dipenuhi guguran dedaunan dan buah serta rumput liar.
Baca juga: Berburu Momen Evakuasi Harimau Inyiak di Perbukitan Solok
Ibu Wanasati setuju membantu menjaga kebersihan halaman rumah dinas. Sejak itu, ia tak sungkan beristirahat di halaman usai menyapu dua ruas jalan di kompleks sepanjang 1 kilometer-an yang menjadi tanggung jawabnya.
Ia juga kerap meminta air minum karena bekalnya biasanya sudah habis saat pertengahan hari. Belakangan, saya punya kebiasaan menaruh botol minum berisi air putih di halaman rumah dinas, kalau-kalau Ibu Wasanati butuh minum dan saya sedang tidak di rumah.
Pengalaman menjadi "dukun" dengan “air jampi-jampi” ternyata bukan yang terakhir. Beberapa hari kemudian, Ibu Wasanati kembali datang. Kali ini, ia berdiri di depan pintu sambil satu tangan memegang pinggang. “Pak, pinggang saya sakit. Ada obat gosok?” katanya dengan suara khas yang sedikit parau. “Saya coba cari, ya, Bu.”

Ibu Wasanati (57), petugas kebersihan di kompleks Balikpapan Baru, sedang menyapu halaman rumah dinas Kompas di Balikpapan, Kalimantan Timur, Sabtu (27/3/2021).
Ternyata saya tak punya balsam atau sejenisnya. Di kotak P3K hanya ada minyak kayu putih. “Sudah didoakan, Pak?” ucap Ibu Wasanati saat menerima uluran minyak kayu putih.
Saya jawab sudah meski sebenarnya belum. Saya tanya, apakah ia terjatuh sehingga pinggangnya sakit. Ia bilang, pinggangnya sudah lama terasa nyeri. Katanya, akibat terlalu sering membungkuk, jongkok, dan berjalan jauh saat menyapu dan mencabut rumput.
Beberapa hari setelahnya, ia menyampaikan terima kasih karena pinggangnya sudah tidak terlalu nyeri setelah diolesi minyak kayu putih. Saya terkesiap. Begitu mangkus dan sangkilnya minyak kayu putih itu! Saya lalu memintanya periksa ke dokter dengan fasilitas Kartu Indonesia Sehat untuk memastikan penyakit di pinggangnya.
“Iya, Pak. Nanti, saya coba ke dokter,” ujar Ibu Wasanati.
Efek plasebo
Setelah kejadian itu, saya penasaran mencari tahu penjelasan yang Ibu Wasanati alami. Saya temukan sebuah artikel berjudul The Power of The Placebo Effect yang menjelaskan tentang plasebo dan efeknya.
Plasebo digunakan dalam uji klinis efektivitas pengobatan. Misalnya, untuk mengetahui efek suatu obat, sebagian peserta uji akan diberikan obat asli. Sisanya menerima plasebo atau obat "palsu" yang tidak memiliki kandungan dan khasiat apapun.
Dengan cara ini, para peneliti dapat mengukur kerja obat asli dengan cara membandingkan reaksi kedua kelompok. Jika keduanya memiliki reaksi yang sama, obat tersebut dianggap tidak bekerja.

Sejumlah foto atau tanda identitas sebagai media pengobatan tradisional, Senin (2/2/2009). Ribuan orang dari berbagai daerah bahkan negara tetangga berdatangan ke Desa Balongsari, Megaluh, Jombang, dalam tiga pekan terakhir menyusul tersiarnya kemampuan Ponari sebagai juru sembuh.
Adapun efek plasebo adalah efek yang ditimbulkan setelah seseorang mengonsumsi plasebo. Orang dengan keluhan nyeri, ada yang merasa membaik atau bahkan kondisinya memburuk setelah mengonsumsi plasebo. Artikel riset Brain Connectivity Predicts Placebo Response across Chronic Pain Clinical Trials menjelaskan respons otak selama efek plasebo.
Para peneliti menggunakan citra resonansi magnetik fungsional untuk memindai otak pasien dengan nyeri kronis akibat osteoartritis lutut. Kemudian, setiap pasien diberi plasebo dan menjalani pemindaian otak kembali. Para peneliti mendapati adanya kerja otak yang kompleks sehingga sejumlah orang yang mengonsumsi plasebo merasakan nyeri yang mereda. Itulah yang disebut efek plasebo.
Saya kemudian menelepon Ketua Ikatan Dokter Indonesia Balikpapan, Dradjad Witjaksono, yang juga dokter psikiatri. Menurut Drajad, yang Ibu Wasanati alami bisa disebut efek plasebo. Dalam ranah non-medik, efek plasebo juga bisa berlaku melalui sugesti yang diberikan atau dipercaya.
Baca juga: Mengais-ngais Emosi di Belanda
Ia mencontohkan, segelas air putih bisa menjadi obat kalau pasien percaya air itu mujarab atau percaya yang memberikan air memiliki kemampuan menyembuhkan. Namun, ia menambahkan, "merasa sembuh" bukan berarti "sudah sembuh".
“Bahwa ‘merasa sembuh’ dan ‘sembuh’ bisa berarti dua hal. Dalam kesembuhan non-medik bisa berlaku efek plasebo. Sedangkan, kesembuhan sejati perlu pembuktian medik,” ujar Drajad.
Cara-cara penyembuhan, kata Drajad, harus menilik sumber penyakitnya. Jika seseorang merasa nyeri yang bersumber dari masalah psikologis, seperti stres, sedih, atau patah hati, maka sugesti melalui kata-kata, saran, konsultasi, atau hal serupa bisa mengurangi keluhan, dengan atau tanpa dibumbui perantara seperti air putih.

Sejumlah foto atau tanda identitas sebagai media pengobatan tradisional, Senin (2/2/2009). Ribuan orang dari berbagai daerah bahkan negara tetangga berdatangan ke Desa Balongsari, Megaluh, Jombang, dalam tiga pekan terakhir menyusul tersiarnya kemampuan Ponari sebagai juru sembuh.
Namun, jika sumber penyakitnya adalah penyakit fisik, seperti kanker, stroke, hingga demam berdarah, maka sugesti hanya bisa mengurangi rasa nyeri, tidak benar-benar menyembuhkan sumber sakit.
Penanganan medis adalah cara utama untuk menyembuhkan penyakit semacam itu. Adapun sugesti diberikan untuk membantu pengobatan medis agar pasien tidak stres akibat sakit yang diderita.
Saat akan menuliskan artikel ini, saya bertanya kepada Ibu Wasanati apakah ia sudah pergi ke dokter untuk memeriksakan rasa nyerinya. Ia jawab belum karena percaya penyakitnya akan sembuh sendiri.
Namun, jika sumber penyakitnya adalah penyakit fisik, seperti kanker, stroke, hingga demam berdarah, maka sugesti hanya bisa mengurangi rasa nyeri, tidak benar-benar menyembuhkan sumber sakit.
Saya kemudian minta izin kepada Ibu Wasanati untuk memotret dirinya karena ingin menulis pengalaman berinteraksi dengannya selama bertugas di Balikpapan. “Yah, memang Bapak mau pergi ke mana? Ndak usah pindah, Pak. Nanti ndak ada yang ngobatin saya,” katanya.
Saya jadi teringat pada Ponari, dukun cilik dari Jombang, yang masyhur dengan batu petirnya pada 2009. Mudah-mudahan saya tidak dianggap seperti Ponari...