”Art Deco”, Tabungan Kenangan di Bandung Merespons Perubahan
Lewat kekayaan arsitektur, Kota Bandung beradaptasi menghadapi zaman. Saat pandemi, keberadaannya kembali menebar makna tidak sederhana.
Menjadi salah satu kota di dunia dengan kekayaan bangunan bergaya art deco versi UNESCO tahun 2014, Kota Bandung masih menjaga segudang kenangan. Memorinya terekam melintasi zaman pada ratusan bangunan lawas menjadi saksi keteguhan ”Kota Kembang” merespons ragam perubahan.
Terselip di antara gedung-gedung tinggi di Jalan Ir H Djuanda, Didago Cafe membawa Bella (25), pengunjung, menelusuri lorong waktu, Rabu (24/3/2021). Tempat ngopi di bangunan lawas mengajaknya singgah mencicipi suasana Bandung tempo dulu.
Cat dinding di kafe dua lantai tampak mengelupas. Bekas rembesan air di dak terlihat. Namun, tidak merusak suasana, semuanya justru memberi sensasi baru. Bagi Bella, hal itu membuat nuansa lawasnya kentara. Desain melengkung di salah satu sisi bangunan dan pola jendela horizontal menerus kian menonjolkan kekhasan langgam art deco bangunan ini.
Art deco merupakan gaya hias, termasuk arsitektur, yang muncul di Eropa setelah Perang Dunia I. Berakhirnya perang diduga menginspirasi para arsitek mengekspresikan kegembiraan dalam kreativitas desain. Bandung yang tengah giat membangun jadi salah satu laboratorium ekspresi itu.
”Bangunannya tidak megah tetapi keunikan desainnya membawa kesan mewah dan istimewa. Memang gedung tua, tetapi bersih,” ujar Bella.
Baca juga: Wajah Belgia di Kairo
Narasi singkat tentang sejarahnya dituliskan pada plakat berbahan stainless steel yang ditempelkan di dinding samping semakin membuat Bella jatuh hati. ”Didago Cafe kini menyambut kedatangan Anda, baik untuk bersantai, menunggu teman, hingga membuat kenangan baru”, begitu bunyi potongan kalimatnya.
Bangunan itu didirikan biro bangunan dan perancang Buwana pada 2 Februari 1954. Fungsi awalnya sebagai penginapan bernama Hotel Dago. Seiring waktu, fungsinya berubah. Sempat menjadi kantor lalu terbengkalai tidak dipakai. Bangunan ini kembali ”dihidupkan” sebagai kafe sejak September 2019.
Pendiri Didago Cafe, Meilina, mengatakan, semula kondisi bangunan rusak parah karena sudah 20 tahun terbengkalai. Dindingnya berlumut, langit-langit bocor, dan beberapa kosen keropos. Dibutuhkan setahun untuk merenovasinya.
Saya enggak mau nilai sejarahnya hilang. Dengan tidak banyak diubah dari bentuk asli, membuatnya lebih menarik.
Sebenarnya ada cara lebih praktis memperbaiki bangunan itu sehingga dapat segera difungsikan, misalnya mencopot semua kosen dan mengganti dengan yang baru. Seluruh dinding bisa dicat sehingga terlihat lebih cerah.
Namun, Meilina tak memilih cara itu. Lumut yang menempel di dinding dikerik. Setelah itu diamplas, debunya disedot, dan dibersihkan. Dindingnya tidak dicat ulang. Jendela lebar di sisi depan dan samping dipertahankan. Konsep terbuka tanpa sekat di teras samping di lantai satu dan dua juga tidak diubah.
”Saya enggak mau nilai sejarahnya hilang. Dengan tidak banyak diubah dari bentuk asli, membuatnya lebih menarik,” ujarnya.
Pilihan mempertahankan konsep asli bangunan itu teruji saat dunia dilanda pandemi Covid-19 sejak Maret tahun lalu. Didago Cafe cepat beradaptasi saat pandemi. Dengan sejumlah langkah seperti menutup akses ke ruang utama untuk membatasi interaksi hingga membatasi pengunjung 50 persen dari kapasitas 250 orang, protokol kesehatan relatif mudah diterapkan.
Berjarak sekitar 3 kilometer dari Didago Cafe, Kafe Magma juga beradaptasi di Jalan Braga sejak tiga tahun lalu. Bangunan itu bekas toko pakaian ternama Au Bon Marche di zaman Hindia Belanda. Pakaian yang tengah tren di Eropa biasanya ada di sana. Dari sana, julukan Bandung Parisj van Java tumbuh subur di Bandung.
”Awalnya bangunan tidak diperhatikan. Kami upayakan lagi agar kembali seperti desain awal. Kami bahkan masih mencari dokumen untuk melihat bagaimana warna asli bangunan ini,” ujar pengelola Kafe Magma, Taufik Anwari (45).
Baca juga: Arsitektur Rumah Beradaptasi dengan Pandemi Covid-19
Jauh setelahnya, bangunan itu kini beradaptasi. Dengan plafon tinggi, berjendela lebar, dan ruang terbuka di belakang, bangunan bercat putih ini mendukung sirkulasi udara yang dibutuhkan dalam pandemi ini.
Kafe Magma adalah penyambung napas bagi kreativitas. Karena itu, tidak akan dibiarkan tutup.
Tidak sekadar sebagai kafe, bangunan itu juga menjadi simpul dari berbagai komunitas kreatif di Bandung, Indonesia, bahkan dunia. Sejumlah forum mempunyai basis di sana, antara lain Bandung Creative City Forum (BCCF), Indonesia Creative Cities Network (ICCN), dan Jejaring Kota Kreatif UNESCO (UNESCO Creative City Network/UCCN). Namun, selama pandemi, kegiatan dibatasi demi menerapkan protokol kesehatan.
Agar kreativitas tak mati, Taufik tidak menutup kafenya. Diskusi-diskusi kecil sesekali masih dilakukan dengan protokol kesehatan ketat. ”Kafe Magma adalah penyambung napas bagi kreativitas. Karena itu tidak akan dibiarkan tutup,” ujarnya.
Diakui dunia
Banyaknya bangunan berlanggam art deco di Bandung turut dipengaruhi rencana pemindahan ibu kota Hindia Belanda dari Batavia (Jakarta) pada 1920. Hal ini memicu pembangunan infrastruktur besar-besaran di Bandung untuk dipersiapkan sebagai ibu kota baru.
Gaya art deco yang berkembang di Eropa saat itu ”meracuni” para arsitek mendesain bangunannya. Namun, mereka tidak menjiplaknya bulat-bulat, tetapi dikombinasikan dengan kebutuhan lokal, salah satunya menyesuaikan dengan iklim tropis.
”Perbedaan kultur dan iklim membuat kebutuhan bangunannya berbeda,” ujar Aji Bimarsono, Ketua Paguyuban Pelestarian Budaya Bandung atau yang dikenal sebagai Bandung Heritage.
Aji menyebutkan, beberapa bangunan art deco di Bandung, misalnya Hotel Savoy Homann, mempunyai ruang transisi yang semula tanpa sekat. Fungsinya melancarkan sirkulasi udara agar tidak terlalu panas.
Baca juga: Belajar dari Keistimewaan Bambu
Untuk menghindari rembesan hujan, pintu dan jendela pada beberapa bangunan tidak dibuat sejajar dengan dinding terluar. Sementara teras dibangun guna menyesuaikan kebiasaan warga bercengkerama di depan rumah.
”Jadi, bangunan art deco sangat variatif karena terbuka pada perubahan dalam merespons kebutuhan,” ujarnya.
Kemampuan itu juga yang membuatnya menarik minat banyak orang menggunakannya hingga kini. Tidak cuma sebagai kafe, tetapi juga kampus hingga kantor perbankan.
Salah satunya Gedung De Driekleur di sudut Jalan Sultan Agung dan Jalan Ir H Djuanda yang sejak 2007 digunakan oleh Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN). Gedung karya arsitek Belanda, Albert Frederik Aalbers, ini dibangun pada 1938.
Gedung empat lantai itu didominasi warna putih. Tak banyak ornamen dekoratif. Bentuknya mirip kapal pesiar dengan desain melengkung di kedua sisinya. Di awal 2000, BTPN menggandeng arsitek berpengalaman, Budi Lim, memimpin restorasi gedung yang pernah jadi markas kantor berita Domei. Dari sini, teks proklamasi kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945 disebarluaskan.
Restorasi ini berbuah hasil manis. BTPN mendapatkan penghargaan 2014 UNESCO Asia Pacific Awards for Cultural Heritage Conservation untuk kategori Honourable Mention.
Bangunan bergaya art deco ikonik lainnya adalah Villa Isola rancangan arsitek Belanda, CP Wolff Schoemaker. Rumah milik tokoh media, Dominique Willem Berretty, ini dibangun pada 1933.
Sudut bangunan tiga lantai ini dibuat melengkung membentuk seperempat lingkaran. Setiap ruangan mempunyai jendela dan pintu lebar berkaca sehingga memperlancar sirkulasi udara pencahayaan. Villa Isola banyak diklaim sebagai salah satu bangunan art deco sukses di dunia. Kini, Villa Isola digunakan kantor rektorat Universitas Pendidikan Indonesia.
Dalam buku Mystery of Art Deco Bandoeng karya Djefry W Dana (2020) disebutkan, Villa Isola merupakan pertanda periode arsitektur modern berkuasa di Hindia Belanda. Diciptakan dari semangat masyarakat modern dan progresif dengan adaptasi yang selaras dengan iklim lokal.
Akhir Perang Dunia I yang mengawali lahirnya art deco telah lebih dari satu abad berlalu. Namun, di Bandung, mahakarya kreativitasnya masih bisa dinikmati dengan beragam fungsi. Jika dahulu semangat art deco membawa ekspresi kebahagian pascaperang fisik, kini adaptasi perubahan dibutuhkan untuk merespons perang melawan keganasan Covid-19. Ketangguhan Bandung menghadapi perubahan demi perubahan akan terus diuji.
Baca juga: Karena Pandemi Tak Datang Sekali...