Lindungi Jahe Lokal, Ratusan Ton Jahe Impor Kembali Dimusnahkan
Sebanyak 287,7 ton jahe impor berpenyakit kembali dimusnahkan demi melindungi produktivitas jahe lokal yang nilainya Rp 3,4 triliun per tahun. Produksi jahe lokal harus digenjot karena pangsa pasarnya besar dan terbuka.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·3 menit baca
MOJOKERTO, KOMPAS — Jahe impor yang berpotensi membawa hama dan penyakit pada tumbuhan kembali dimusnahkan. Hal itu untuk menjaga produktivitas jahe lokal yang nilainya Rp 3,4 triliun per tahun dan melindungi kelestarian sumber daya pertanian lainnya. Momentum ini hendaknya dijadikan titik tolak menggenjot produksi jahe petani karena pangsa pasarnya sangat besar.
Volume jahe (Zingiber officianale var. roscoe) impor yang dimusnahkan kali ini sebanyak 287,7 ton. Pemusnahan jahe asal India dan Myanmar yang masuk melalui Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, itu dilakukan dengan cara dibakar. Pembakaran tersebut menggunakan fasilitas insinerator milik PT Hijau Alam Nusantara, di Kecamatan Ngoro, Mojokerto, Jawa Timur, Jumat (26/3/2021).
Berdasarkan volumenya, jahe impor yang dimusnahkan kali ini lebih besar daripada yang dimusnahkan pekan lalu, yakni 108 ton. Jahe itu berasal dari Vietnam dan Myanmar yang masuk melalui Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.
”Sistem perkarantinaan akan terus diperkuat untuk melindungi kelestarian sumber daya pertanian di Tanah Air. Adapun penolakan jahe impor yang berpotensi mengandung penyakit dan ditindaklanjuti dengan pemusnahan ini telah didasari hasil kajian dan analisis risiko,” ujar Sekretaris Badan Karantina Pertanian Kementerian Pertanian Wisnu Haryana, di Mojokerto.
Analisis yang dimaksud mencakup pemeriksaan fisik dan laboratorium yang dilakukan oleh karantina tumbuhan komoditas segar. Hasil pemeriksaan menunjukkan, jahe impor tersebut berpotensi membawa hama dan penyakit tumbuhan sehingga tidak memenuhi persyaratan karantina yang ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia.
Wisnu mengatakan, pihaknya telah meminta pemilik barang mengeluarkan komoditas berbahaya tersebut dari wilayah RI. Namun, sampai batas waktu yang ditentukan, hal itu tidak dilakukan sehingga dimusnahkan. Seluruh biaya pemusnahan menjadi tanggung jawab pemilik barang.
Pemusnahan harus dilakukan dengan cepat agar potensi hama dan penyakit tidak sampai menyebar sehingga mengontaminasi tanaman jahe lokal atau komoditas pertanian lainnya. Produksi jahe nasional sangat potensial dengan nilai mencapai Rp 3,4 triliun per tahun.
”Itu baru dari sisi produksi jahe. Apabila hama dan penyakit sampai tersebar, diperlukan juga biaya besar untuk mengeliminasi kontaminan. Waktu yang diperlukan juga bisa bertahun-tahun, ditambah biaya ekonomi lainnya yang harus ditanggung,” kata Wisnu.
Kepala Balai Besar Karantina Pertanian (BBKP) Surabaya Musyaffak Fauzi mengatakan, proses impor 287,7 ton jahe asal India dan Myanmar itu telah memenuhi prosedur administrasi. Namun, setelah diperiksa secara fisik, ditemukan kondisi jahe yang kotor, bertanah, dan terdapat nematoda dengan jenis Aphelenchoides fragariae.
Nematoda merupakan mikroorganisme parasit yang hidup dan berkembang di tanah. Adapun Aphelenchoides fragariae menyerang umbi dan daun sehingga dikenal juga dengan sebutan hawar daun.
”Kondisi itu tidak sesuai dengan deklarasi karantina negara asal yang tertera pada Phytosanitary Certificate yang menyatakan komoditas sehat dan aman,” ucap Musyaffak.
Dengan kondisi seperti itu, jahe impor tersebut tidak memenuhi peraturan internasional, yakni ISPM 20 dan ISPM 40. Importasi itu juga tidak memenuhi persyaratan sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 25 Tahun 2020 tentang 166 jenis organisme pengganggu tanaman yang terbawa melalui tanah.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi IV DPR Hasan Aminudin mengatakan, pemusnahan jahe impor berpenyakit telah sesuai dengan regulasi. Sebaliknya, dia mengajak berbagai pihak, terutama Kementan, dinas pertanian provinsi, dan dinas pertanian daerah, agar segera merumuskan kebijakan terkait upaya peningkatan produksi jahe lokal.
Mengacu pada volume jahe impor yang dimusnahkan di Jakarta ataupun di Mojokerto, kebutuhan jahe pada industri di dalam negeri sangat besar. Kebutuhan yang besar ini merupakan peluang pasar yang harus dimanfaatkan secara optimal oleh petani dengan meningkatkan produktivitasnya.
Berdasarkan data Badan Karantina Pertanian, jahe produksi petani dalam negeri sudah diekspor ke 30 negara. ”Indonesia harus lebih fokus lagi pada pengembangan jahe lokal agar tidak perlu lagi ada jahe impor, apalagi jahe impor yang berpenyakit,” kata Hasan.