Terlupakan Selama Pandemi, Difabel Riang Gembira Sambut Vaksinasi
Penyandang disabilitas merupakan kelompok yang sangat terpuruk selama pandemi. Mereka harus menghadapi pahitnya masa pandemi di tengah keterbatasan dan sulitnya akses ekonomi yang sebelum pandemi juga memang terbatas.
Oleh
NIKSON SINAGA
·5 menit baca
KOMPAS/NIKSON SINAGA
Penyandang tunanetra, Mardizon Tanjung (51), mengikuti vaksinasi di GBI Rumah Persembahan, Medan, Sumatera Utara, Kamis (18/3/3021).
Wajah Mardizon Tanjung (51) tampak riang gembira saat menjalani vaksinasi di Gereja Bethel Indonesia Rumah Persembahan, Medan, Sumatera Utara, Kamis (18/3/2021). Setelah jarum suntik ditancapkan ke lengannya, penyandang tunanetra itu buru-buru meminta surat tanda telah divaksinasi dari tenaga kesehatan.
”Surat ini sangat penting bagi saya yang merupakan tunanetra yang berprofesi sebagai tukang pijat. Selama pandemi setahun ini, ekonomi kami terpuruk karena pasien pijat menurun drastis,” kata Mardizon.
Mardizon sangat bersemangat ketika mendapat undangan untuk divaksinasi. Sedari pagi, ia sudah bersiap meskipun vaksinasi dimulai pukul 14.00. Ia pun berangkat dari rumahnya di Jalan Notes dengan ditemani seorang pendamping.
Penyandang disabilitas merupakan kelompok yang sangat terpuruk selama pandemi. Mereka harus menghadapi pahitnya masa pandemi di tengah keterbatasan dan sulitnya akses ekonomi yang sebelum pandemi juga memang sangat terbatas.
Mardizon adalah gambaran penyandang disabilitas yang terpuruk selama pandemi. Sudah 30 tahun ia berprofesi sebagai tukang pijat. ”Sejak awal saya berkomitmen untuk tidak turun meminta-minta di jalan. Saya mau menghidupi keluarga saya dengan keringat sendiri,” katanya.
Mardizon pun bisa menghidupi keluarganya dari profesinya. Sebelum pandemi, ia bisa mendapat pasien pijat 200 hingga 250 orang per bulan. Dengan tarif Rp 70.000 per orang, ia mendapatkan penghasilan yang cukup untuk menghidupi keluarganya.
Namun, pandemi Covid-19 membuat ekonomi keluarganya terpuruk.
Hampir tidak ada pasien pijat selama beberapa bulan pertama pandemi Covid-19. Selain karena tidak ada pasien, ia juga takut tertular Covid-19.
Marizon pun harus menguras semua tabungannya agar bisa bertahan hidup. ”Kami makan telur, tahu, dan tempe saja tidak apa-apa, yang penting bisa bertahan,” katanya.
Beruntung, anaknya yang saat ini sedang kuliah jurusan ekonomi di sebuah perguruan tinggi swasta di Medan mendapat beasiswa.
Patuh protokol kesehatan
Saat ini, pasien pijat langganannya pun sudah mulai datang. Namun, jumlahnya masih berkisar 20-50 orang per bulan. Ia pun menerapkan sejumlah protokol, seperti mewajibkan pasien dan dirinya memakai masker dan mencuci tangan. Ia juga mengganti seprai setiap satu pasien selesai dipijat.
Marizon pernah mencoba memakai sarung tangan. Namun, hasil pijatnya tidak maksimal karena indra perabanya tidak bisa bekerja maksimal untuk mengenali bagian tubuh dan urat. ”Saya juga coba pakai hazmat, tetapi saya tidak tahan karena panas,” katanya.
Hal yang sama juga dialami penyandang tunanetra lain,
Lando Landelinus Manurung (56). ”Dalam sebulan, sekarang saya hanya mendapat 20 pasien pijat. Biasanya bisa sampai 150 orang,” katanya.
Setelah mendapat vaksinasi, Lando pun berharap bisa mendapat kekebalan untuk perlindungan dirinya dan pasiennya. ”Mudah-mudahan pasien kami pun bisa meningkat lagi setelah kami divaksin,” katanya.
Difabel tunadaksa, David Sitorus (47), juga mengalami kesulitan selama pandemi. Beberapa bulan setelah pandemi, ia diberhentikan bekerja dari sebuah pabrik konfeksi. Ia pun kini membuka jasa menjahit di rumahnya, di Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang. Ada beberapa keluarga, teman, atau tetangganya yang menjahitkan pakaian kepadanya.
”Namun, itu tidak cukup untuk kebutuhan kami sehari-hari. Sekarang, saya juga harus menarik becak motor, kata David.
David harus mencukupi kebutuhan dapur dan biaya pendidikan dua anaknya yang saat ini kuliah dan seorang lagi yang masih SMA. ”Saya berprinsip anak saya harus sekolah sampai perguruan tinggi. Saya tak mempunyai harta apa-apa untuk diwariskan. Hanya pendidikan yang bisa saya berikan kepada anak-anak,” katanya.
Penyandang disabilitas menunggu giliran untuk divaksinasi Covid-19 di GBI Rumah Persembahan, Medan, Sumatera Utara, Kamis (18/3/2021).
David mengatakan, selama pandemi, pendapatannya menurun lebih dari setengah dibandingkan dengan sebelum pandemi. Mereka pun harus berhemat agar bisa mencukupi kebutuhan keluarga. Ia pun bersyukur mendapat bantuan pangan dari pemerintah selama pandemi. Setelah divaksin, ia berharap ekonomi bisa pulih dan bisa mendapat pekerjaan yang lebih baik.
Sekretaris Masyarakat Peduli Disabilitas Indonesia Sumut Andi Sipayung mengatakan, penyandang disabilitas sangat terpukul selama pandemi setahun ini. Akses mereka terhadap lapangan pekerjaan semakin sempit. Ada kalanya mereka menjadi sasaran pertama jika ada pemutusan hubungan kerja di satu perusahaan.
”Berbagai usaha yang umumnya ditekuni difabel, seperti jasa menjahit, pijat, dan ojek becak bermotor, juga sangat terdampak pandemi,” kata Andi.
Minim akses
Sebelum pandemi pun, kata Andi, pemenuhan hak hidup, hak mendapatkan pekerjaan yang layak, pendidikan yang lebih baik, dan kemudahan mengakses fasilitas umum sebenarnya masih sangat minim di Sumut.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, misalnya, mewajibkan pemerintah dan perusahaan milik pemerintah mempekerjakan difabel 2 persen dan perusahaan swasta 1 persen dari jumlah pegawainya. Namun, penerapannya masih sangat jauh dari seharusnya. ”Pemenuhan hak itu pun semakin minim dan terlupakan selama pandemi,” kata Andi.
Kompas
Penyandang tunawicara mengobrol dengan sambungan panggilan video saat menunggu giliran untuk divaksinasi Covid-19 di GBI Rumah Persembahan, Medan, Sumatera Utara, Kamis (18/3/2021).
Menurut Andi, yang juga merupakan tunadaksa, para difabel pun saat ini banyak yang tidak mendapatkan informasi tentang vaksinasi Covid-19. Lebih dari setengah di antara anggota mereka tidak mau divaksin karena menganggap difabel termasuk kelompok yang berisiko jika divaksinasi.
David dan anggota lainnya pun memilih divaksinasi lebih dulu untuk menunjukkan kepada teman-temannya bahwa mereka baik-baik saja setelah divaksinasi. ”Vaksinasi sangat penting agar akses kami terhadap pekerjaan bisa lebih baik lagi,” katanya.
Wali Kota Medan Bobby Afif Nasution mengatakan, kelompok difabel merupakan salah satu prioritas pemerintah untuk segera divaksinasi. ”Harapannya, saudara kita penyandang disabilitas bisa mendapat kekebalan terhadap Covid-19 dan lebih percaya diri lagi,” kata Bobby.
Bobby mengatakan, Kota Medan menargetkan vaksinasi 1,75 juta orang atau 70 persen dari 2,5 juta penduduknya. Ia berharap vaksinasi bisa membangkitkan kembali ekonomi Kota Medan yang terpuruk selama pandemi.
Di GBI Rumah Persembahan, para penyandang disabilitas pun menyambut vaksinasi dengan sangat gembira. Mardizon pulang dengan wajah yang berseri-seri. Mereka berharap pandemi segera berakhir dan ekonomi mereka bangkit lagi....