Beragam cobaan tidak berhenti menghantam sebagian petani di Indonesia. Sejauh ini, solusinya tidak selalu melegakan. Mereka pasrah menanti nasib baik yang tidak kunjung datang.
Oleh
Abdullah Fikri Ashri
·5 menit baca
Nasib petani ibarat pepatah: sudah jatuh tertimpa tangga. Setelah kesulitan pupuk subsidi, sawah mereka lalu kebanjiran. Kini, hasil keringat petani ditawar murah seiring rencana pemerintah mengimpor sejuta ton beras.
Sapuri (55) sibuk menutup tanggul jebol di Kali Wates, Desa Panguragan Kulon, Kecamatan Panguragan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Rabu (24/3/2021). Karung berisi tanah, kayu, hingga bebatuan dijadikan penghambat derasnya aliran banjir.
Terik matahari, seekor ular, dan bangkai ikan tidak ia hiraukan. Jauh lebih penting menyelamatkan padinya yang ditanam 40 hari lalu agar tidak mati tenggelam. Apalagi, sudah tiga kali ia tandur. ”Ruginya juga tiga kali lipat,” ujar bapak tiga anak dan lima cucu ini.
Ia mengeluarkan Rp 750.000 untuk ongkos tanam pertama di lahan 3.500 meter persegi Januari lalu. Ini belum termasuk biaya traktor Rp 800.000 dan sewa lahan sekitar Rp 8 juta per tahun. Sayangnya, banjir tetap saja membuatnya gagal tanam.
Sapuri pun menanam ulang dengan biaya lebih mahal, Rp 1,5 juta. Sebab, tenaga kerja yang dibutuhkan lebih banyak karena harus memilah rumpun padi untuk ditanam kembali. Ongkos pupuk juga melonjak karena jatah pupuk subsidinya sudah habis.
Jika sebelumnya ia mengeluarkan sekitar Rp 500.000 untuk pupuk subsidi, biaya tanam ulang dengan pupuk nonsubsidi mencapai lebih dari Rp 1,5 juta. Susahnya mendapatkan pupuk subsidi membuat petani menggeruduk kios pupuk setempat.
Saat pupuk subsidi langka, banjir kembali datang. Lagi-lagi, Sapuri mengeluarkan ongkos tanam dan pupuk seperti sebelumnya. ”Akhirnya, saya minjem (pinjam) di tengkulak,” ujar Sapuri yang tidak kaget lagi jika tengkulak menawar rendah hasil panennya nanti. Dia pasrah.
Sutislah (51), petani lainnya, mengatakan, banjir memaksa petani tanam tiga hingga empat kali. ”Seumur-umur, baru kali ini petani tanam sampai empat kali. Biasanya, hanya dua kali. Bahkan, ada yang menyerah tanam padi karena enggak punya modal,” ujarnya.
Petani sudah melaporkan jebolnya tanggul sejak Januari. Namun, hingga kini belum ada perbaikan berarti. Petugas pengairan hanya memberikan 100 karung. Petani lalu mengisi sendiri dengan tanah dan membuat tanggul darurat. Kekuatannya tidak bisa diperkirakan sampai kapan. Mereka petani tanpa keahlian khusus memperbaiki tanggul rusak.
Petani juga sudah mengirim data gagal tanam untuk asuransi. Namun, hingga kini belum ada pencairan. Petani mulai ikut asuransi karena ketika kemarau, sawah terancam gagal panen karena kekeringan. Hujan kebanjiran, kemarau kekeringan. Ironis.
Semoga musim tanam kedua nanti masih dapat air. Soalnya, panen di sini bulan Juni karena banyak yang tanam ulang.
”Semoga musim tanam kedua nanti masih dapat air. Soalnya, panen di sini bulan Juni karena banyak yang tanam ulang,” katanya. Padahal, saat itu musim kemarau.
Di Panguragan, diperkirakan 700 hektar sawah terendam banjir dan beberapa di antaranya gagal tanam. Sedikitnya 5.287 hektar sawah di Cirebon kebanjiran awal tahun 2021.
Penderitaan belum usai. Kualitas gabah petani bisa menurun. Gabahnya basah. Ibarat manusia, kalau minum terus, padi jadi kembung. ”Padinya sakit, anakannya juga sedikit,” katanya.
Produksi pun diprediksi berkurang. Dalam kondisi normal, Sutislah bisa memanen 7 ton gabah kering panen (GKP) di lahan garapannya seluas 1 hektar. Kini, ia memperkirakan panennya hanya 4 ton GKP. ”Itu untuk bayar biaya sewa lahan,” ujarnya.
Meski demikian, Sekretaris Dinas Pertanian Kabupaten Cirebon Wasman mengklaim, produksi padi di Cirebon tetap aman. Luas tanam padi Oktober-Maret mencapai 46.157 hektar. Adapun potensi panen 265.866 ton gabah kering giling.
”Insya Allah target tercapai,” ujarnya. Dalam setahun, Cirebon mampu memproduksi 350.000 ton beras. Padahal, kebutuhan beras di daerah berpenduduk 2,2 juta jiwa itu kurang dari 200.000 ton.
Beras impor 2018
Meski beras aman di konsumen, gabah petani terancam anjlok seiring rencana pemerintah mengimpor beras 1 juta ton. Suharno (55), petani di Desa Tegalkarang, Kecamatan Palimanan, Cirebon, misalnya, mengatakan, gabahnya ditawar Rp 3.300 per kilogram. Padahal, harga pembelian pemerintah (HPP) ditetapkan Rp 4.200 per kg GKP.
Belum impor saja harga gabah sudah anjlok. Bagaimana kalau impor?
”Belum impor saja harga gabah sudah anjlok. Bagaimana kalau impor?” katanya. Bapak lima anak ini merugi jika harga gabah rendah. Dengan harga Rp 3.300 per kg, ia hanya meraup sekitar Rp 3,3 juta. Padahal, modal tanamnya hingga panen lebih dari itu.
Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Kabupaten Cirebon Tasrip Abubakar pun meminta pemerintah mengkaji rencana impor. Pihaknya juga mendorong Perum Bulog menyerap gabah petani.
Pimpinan Perum Bulog Kantor Cabang Cirebon Ramadin Ruding mengklaim telah menyerap hasil panen petani sekitar 2.000 ton setara beras. Tahun ini, pihaknya menargetkan pengadaan 41.000 ton setara beras.
Namun, selain kualitas gabah petani, penyerapan juga terkendala gudang penyimpanan. Hingga akhir pekan lalu, stok beras di gudang Bulog Cirebon berkisar 70.000 ton. Sebanyak 5.000 ton beras di antaranya merupakan sisa impor dari Vietnam pada 2018. ”Mutu berasnya sudah turun,” ujarnya.
Dengan kapasitas gudang 111.000 ton beras, tempat yang tersisa untuk menyimpan beras sekitar 41.000 ton. Namun, karena ada broken space (gudang yang tidak bisa digunakan), sisa ruang yang optimal digunakan hanya 21.000 ton.
Sebenarnya, gudang bisa agak lapang jika beras disalurkan. Namun, skema penyaluran melalui ketersediaan pasokan dan stabilisasi harga (KPSH) yang dikenal dengan operasi pasar bisa mengganggu harga pasar. Penyaluran 5.000 ton beras per bulan itu hanya dilakukan jika tren harga beras naik.
Melihat kondisi itu, Ketua Gapoktan Sri Jaya Makmur, Cirebon, Amrin mengatakan, tanggung jawab harus ditanggung semua pihak. Hal itu tidak dilihatnya sekarang.
”Bulog itu kerap dijadikan kambing hitam kalau harga gabah jatuh atau harga beras naik. Nah, petani jadi sapi perah. Disuruh tingkatkan produksi tapi pemerintah impor,” kata Amrin sembari buru-buru pamit untuk mengecek gabahnya. Langit sudah menurunkan rintik air. Telat sedikit, gabah yang yang sedang dijemurnya bisa rusak diguyur hujan. Ujungnya, petani seperti dia pasti merugi lagi.