Produksi Garam Aceh Hanya Penuhi Konsumsi Rumah Tangga
Petani merasa dengan sistem rebus saja mereka sudah untung sehingga tidak perlu mengeluarkan modal membuat geomembran.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Produksi garam di Provinsi Aceh dalam setahun yang rata-rata 11.000 ton hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Petani juga memilih menggunakan teknologi sederhana dalam memproduksi garam dengan sistem rebus, belum menggunakan teknologi agar bisa memproduksi garam lebih luas.
Kepala Seksi Pelayanan dan Pengembangan Usaha Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh Erwandi, Rabu (24/3/2021),mengatakan, produksi garam Aceh per tahun 11.000 ton, sementara kebutuhan konsumsi per tahun 9.688 ton. ”Untuk kebutuhan konsumsi masih cukup mengandalkan produksi dari petani lokal,” kata Erwandi.
Adapun untuk industri jauh lebih besar daripada kebutuhan konsumsi rumah tangga. Namun, pihaknya masih mendata kebutuhan garam industri. Kebutuhan garam untuk industri saat ini dipasok dari agen di Provinsi Sumatera Utara dan Pulau Jawa.
Erwandi mengatakan, petani di Aceh masih mengandalkan pola produksi tradisional, yakni sistem rebus. Dengan pola rebus, bentuk garam lebih halus dan rasa asin lebih kuat daripada garam jemur. Harga garam rebus juga lebih mahal.
Harga garam rebus kisaran Rp 5.000 per kilogram, sementara harga garam jemur kisaran Rp 2.000 per kilogram. ”Makanya petani di Aceh lebih memilih rebus, meski harus mengeluarkan tenaga lebih,” kata Erwandi.
Dalam beberapa tahun terakhir Pemprov Aceh mengenalkan sistem geomembran, pola jemur menggunakan alas plastik di bawah terowongan (tunnel) yang juga terbuat dari plastik pada petani. Pola ini diharapkan memudahkan kerja dan meningkatkan hasil produksi.
Pada 2019 sebanyak 60 unit geomembran dihibahkan untuk petani. Namun, belakangan sistem geomembran tidak begitu diminati oleh petani. Banyak petani yang pernah diberikan geomembran tidak melanjutkan, justru mereka kembali beralih ke sistem rebus.
”Petani merasa dengan sistem rebus saja mereka sudah untung. Sehingga tidak perlu mengeluarkan modal membuat geomembran,” kata Erwandi. Oleh karena itu perlu mengubah pola pikir petani garam dari hanya sekadar menjadi petani, menjadi pengusaha garam, sebab pasar tersedia sangat lebar.
Perlu mengubah pola pikir petani garam dari hanya sekadar menjadi petani, menjadi pengusaha garam, sebab pasar tersedia sangat lebar. (Erwandi)
Ketua Kelompok Tani Garam Lam Ujong, Kecamatan Mesjid Raya, Aceh Besar, Azhar Idris menuturkan, pihaknya pernah mendapatkan bantuan geomembran pada akhir 2017, namun kini geomembran itu telah rusak. Adapun biaya pembuatan geomembran per unit mencapai Rp 8 juta.
Akhirnya petani kembali ke pola rebus. Dengan pola rebus dalam sehari Azhar menghasilkan 140 kilogram. Dengan harga Rp 5.000 per kilogram dia memperoleh pendapatan kotor Rp 700.000. Setelah dipotong biaya produksi, separuhnya menjadi pendapatan bersih.
”Dengan harga Rp 5.000 per kilogram saja kami sudah untung, apalagi harga di atas itu,” kata Azhar.
Azhar mengatakan belum memiliki rencana untuk melanjutkan pola geomembran, sebab butuh modal besar untuk pembuatan tunnel. Dengan pola geomembran per unit tunnel menghasilkan 1,2 ton garam durasi 15 hari. Dengan harga jual Rp 2.000 per kilogram, potensi pendapatannya Rp 2,4 juta per 15 hari atau Rp 160.000 per hari.
Paling sedikit perlu ada 5 tunnel yang dibangun untuk bisa mendapatkan untung. Petani merasa berat. selain modalnya mahal, juga diperlukan lahan yang luas. Petani garam di Aceh rata-rata memiliki lahan yang sempit.
Azhar mengatakan setiap garam yang dia produksi dengan pola rebus selalu terserap oleh pasar. Bahkan pada waktu tertentu dia kesulitan memenuhi permintaan. ”Kalau petani garam rajin, pasti ada rezeki dan bisa sejahtera,” ujar Azhar.