Sejumlah perempuan di Kota Ambon membudidayakan sayuran dan umbi-umbian untuk dijual. Mereka ikut mencari nafkah di tengah kondisi ekonomi keluarga yang terpuruk akibat pandemi Covid-19.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
Areal perbukitan seluas dua hektar di Kelurahan Waihoka, Kota Ambon, Maluku, memperpanjang napas belasan keluarga yang terhimpit ekonomi akibat pandemi Covid-19. Satu tahun terakhir, mereka menanam aneka sayuran dan umbi-umbian di sana. Hasilnya dijual demi menjaga asap dapur tetap mengepul.
Julia Yordana (40) menyodorkan sepotong singkong hangat di dalam gubuk di tengah kebun yang dikelilingi rimbun singkong siap panen. "Selama masa Covid-19 sudah panen dua kali. Sekarang sekitar 200 pohon singkong," katanya, Kamis (4/3/2021) petang.
Di balik rimbunan singkong membentang beberapa bedeng sayur kangkung dan sawi yang baru saja tumbuh setelah dipanen beberapa hari sebelumnya. Setiap tiga pekan, kangkung dan sawi sudah bisa dipanen. Juga ada seledri (daun sup), terong, dan tomat. Setiap bulan, Julia meraup penghasilan Rp 2,3 juta dari kebun itu.
Pandemi Covid-19 menyebabkan kemiskinan di Maluku kian meningkat. Sepanjang Maret-September 2020, orang miskin bertambah dari 318.180 jiwa menjadi 322.400 jiwa.
Tak hanya budidaya sayuran, ibu empat anak itu juga membuat pupuk kompos. Ia mengambil kotoran burung dari kerabatnya lalu dicampur dengan serbuk kayu limbah bengkel mebel. Setiap bulan ia bisa menjual sampai 15 karung pupuk dengan harga Rp 50.000 per karung.
Ia juga menyediakan bibit aneka sayuran. Bibit ini tak dijual, melainkan dibagikan gratis kepada mereka yang ingin membudidayakannya. Ia memahami, betapa sulitnya mendapatkan bibit bagi mereka yang baru memulai usaha menanam sayuran. "Pademi ini semua orang susah termasuk saya. Jadi mari sama-sama saling membantu," katanya.
Sebelum pandemi, Julia menanam sayuran yang terbatas untuk konsumsi keluarga. Ia dan suaminya adalah buruh serabutan dengan upah harian. Saat pandemi Covid-19 menyergap Maluku pada 22 Maret 2020, tak ada lagi peluang bekerja serbutan. Suaminya pekerja bangunan menyambi ojek. Penghasilan tak menentu.
Tergolong keluarga miskin, Julia terdaftar dalam Program Keluarga Harapan (PKH). Setiap tiga bulan ia mendapatkan Rp 700.000 serta Rp 200.000 per bulan untuk lauk pauk. Namun, jumlah tersebut tidak cukup untuk kebutuhan hidup di Ambon dengan tingkat kemahalan yang tinggi. "Belum lagi buat beli pulsa paket internet untuk anak-anak belajar jarak jauh," ujarnya.
Sali Rometna (38), ibu rumah tangga yang juga ikut menanam sayur menuturkan, pandemi Covid-19 membuat mereka berpikir keras untuk mencari penghasilan. Lewat kenalan, mereka mempromosikan sayuran kepada masyarakat kota Ambon melalui media sosial. Akhirnya, banyak orang langsung datang ke kebun untuk membeli.
Harga jual di kebun lebih murah dibandingkan di pasar. Daun seledri per polybag hanya Rp 15.000, sedangkan di pasar lebih mahal Rp 10.000. Nilai jual tanaman di kebun mama-mama itu menggunakan pupuk organik. Kini, mereka sedang mencari akses agar dibeli pengelola swalayan dan minimarket di Kota Ambon. Mereka berharap pemerintah dapat memfasilitasi.
Sali sendiri juga bagian dari peserta PKH. Setiap tiga bulan ia mendapatkan jatah Rp 600.000 dan uang lauk pauk Rp 200.000 per bulan yang harus diambil dalam bentuk bahan pokok. Suami Sali buruh bangunan menyambi ojek. "Musim korona ini penumpang kurang naik ojak karena takut tertular, jadi suami di rumah saja," katanya.
Tak hanya Julia dan Sali, Tina Silooy (40), perempuan dari Nusaniwe juga tampil sebagai pejuang ekonomi keluarga pada saat pandemi Covid-19. Setiap hari, ia membeli ikan dari nelayan di tempat pendaratan Desa Eri. Dari sana ia menumpang mobol bak terbuka ke pasar di pusat Kota Ambon yang berjarak sekitar 12 kilometer.
Terkadang, ia menjunjung ember bak berisi ikan menyusuri perkampungan, menawarkan ikan dari rumah ke rumah. Setiap hari ia mendapat untung antara Rp 50.000 sampai Rp 100.000. "Kalau tidak kerja, siapa yang kasih makan anak-anak," kata janda beranak tiga itu. Kendati tergolong keluarga miskin, ia tak mendapatkan bantuan apapun dari pemerintah.
Jadi tulang punggung
Baihajar Tualeka, Ketua Yayasan Lingkar Pemberdayaan Perempuan dan Anak yang sering terlibat mendampingi perempuan dan anak di Maluku menuturkan, beban perempuan kian berat pada masa pandemi. Selain mengatur rumah tangga, mereka mau tak mau harus membantu suami mencari nafkah keluarga.
Laporan yang ia peroleh, banyak mama-mama, terutama dari keluarga miskin seringkali mengalami kekerasan dari suami yang kehilangan pekerjaan akibat pandemi Covid-19. Ini yang membuat banyak ibu rumah tangga ikut bekerja mencari uang. "Justru banyak ibu rumah tangga kini menjadi tulang punggung keluarga. Diperlukan kehadiran pemerintah lewat program pemberdayaan," ucapnya.
Data Badan Pusat Statistik (BPS), pandemi Covid-19 menyebabkan tingkat kemiskinan di Maluku kian meningkat. Sepanjang Maret-September 2020, orang miskin bertambah dari 318.180 jiwa menjadi 322.400 jiwa. Penambahan 4.220 jiwa penduduk miskin dalam enam bulan itu setara penambahan 23 orang miskin baru setiap hari. Persentase penduduk miskin naik 0,55 poin menjadi 17,99 persen.
Rata-rata garis kemiskinan yang menjadi batas penghitungan kemiskinan adalah Rp 573.685. Adapun garis kemiskinan di perdesaan Rp 566.497 dan perkotaan Rp 584.061. Artinya, mereka yang dinyatakan miskin bila pengeluaran dalam satu bulannya kurang dari angka tersebut. Kondisi kemiskinan bisa jadi semakin parah bila pandemi ini berlarut-larut.
Belum ada kepastian kapan pandemi Covid-19 berakhir. Di Maluku, sejak kasus pertama kali diumumkan pada 22 Maret 2020, hingga 8 Maret 2021, jumlah warga Maluku yang terinfeksi virus SARS-CoV-2 sebanyak 7.133 kasus. Data Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Maluku, jumlah warga yang meninggal akibat virus itu mencapai 106 orang. Kasus tersebar di seluruh kabupaten/kota yang berjumlah 11 daerah.
Vaksinasi untuk pengendalian Covid-19 di Maluku kini sedang berlangsung, tetapi berjalan lambat karena berbagai kendala seperti kondisi geografis. Baru 51,73 persen dari target 15.108 orang yang tuntas menjalani vaksinasi. Untuk tahap kedua, lasia yang divaksin masih terpusat di Kota Ambon. Itupun baru sekitar 1.000 orang dari target 22.000 lansia.
Waktu terus berjalan bersama pandemi korona yang belum jinak. Dan, kondisi ekonomi masih sangat bergantung pada penanganan Covid-19 yang belum bisa dipastikan kapan menemui titik akhirnya. Satu hal yang pasti, semua orang berjuang menjaga asa, termasuk Julia, Sali, dan Tina, mama-mama "akar rumput" Ambon yang tangguh berjuang menjaga hidup, lebih dari sebatas asap dapur tetap mengepul.