Jalan Terjal Keluarga Korban Kekerasan Seksual Mencari Keadilan
Beberapa waktu sejak kejadian pemerkosaan itu, Renjana sering menangis dan tertawa sendiri, mencoret-coret kertas, tidak mau makan, tidak mau mandi, hingga berniat bunuh diri.
Bukannya mendapatkan keadilan, keluarga korban kekerasan seksual di Padang, Sumatera Barat, justru dipolisikan atas kasus penipuan dan penggelapan. Women Crisis Center Nurani Perempuan menduga ada upaya kriminalisasi terhadap keluarga korban dalam upaya menuntut keadilan.
Keluarga Renjana, nama samaran, tidak bisa benar-benar merasa tenang. Sang ibu bakal melewati hari-hari di balik jeruji besi terus terbayang-bayang di pikiran mereka. Sementara, Renjana (16), putri sulung dari empat bersaudara, masih berjuang menghilangkan trauma atas tindak kekerasan seksual yang dialaminya.
Ibu Renjana dilaporkan atas kasus penipuan dan penggelapan uang senilai Rp 20 juta ke Kepolisian Sektor Koto Tangah, Padang, 10 Februari 2021. Laporan dibuat oleh keluarga R (22), tersangka kekerasan seksual terhadap Renjana. Laporan itu dilanjutkan penyelidikan oleh kepolisian.
”Polisi bilang, kalau uang tidak dikembalikan, ibu bisa tinggal, bisa masuk ke dalam (penjara). Mereka juga kasih bayangan, ngurus anak susah kalau tidak ada istri,” kata ayah Renjana (42) di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang, Senin (22/3/2021), menirukan perkataan polisi.
Kasus bermula dari tindak kekerasan seksual yang dilakukan R pada Renjana, yang adalah pacarnya, awal Januari lalu. Orangtua Renjana melaporkan kasus itu ke Polsek Koto Tangah pada 3 Januari. Tak lama berselang, polisi menangkap tersangka R atas dugaan melarikan anak di bawah umur serta pemerkosaan.
Ibu Renjana bercerita, beberapa waktu sejak kejadian pemerkosaan itu, putrinya sering menangis dan tertawa sendiri, mencoret-coret kertas, tidak mau makan, tidak mau mandi, hingga berniat bunuh diri. ”Sedih saya melihatnya,” kata ibu Renjana terisak-isak.
Sementara itu, keluarga tersangka R terus berupaya mendatangi dan membujuk keluarga korban agar bersedia mencabut laporan. Uang Rp 20 juta juga mereka tawarkan untuk biaya pengobatan Renjana.
Setelah tiga kali dibujuk, tawaran itu akhirnya mau tidak mau diterima keluarga korban. Mereka butuh uang untuk mengobati sang anak, sedangkan mereka dari kalangan tidak mampu.
Melalui contoh surat di internet, keluarga tersangka R meminta ibu Renjana menulis surat perjanjian bermaterai Rp 6.000. Inti dari surat itu kedua belah pihak sepakat berdamai, menyelesaikan kasus secara kekeluargaan, dan tidak ada saling menuntut secara hukum. Jika kedua belah pihak melanggar perjanjian, akan menerima sanksi yang berlaku.
Seusai perjanjian damai, kedua pihak yang bersepakat mendatangi Polsek Koto Tangah untuk mencabut laporan terhadap tersangka R. Namun, setelah dua kali mereka mendatangi kantor polisi, polisi tidak bisa mengabulkan, karena kasus kekerasan seksual terhadap anak itu pidana murni, bukan delik aduan.
Keluarga tersangka R, yang kecewa niat hati tak kesampaian, meminta kembali uang Rp 20 juta dari keluarga korban. Alasan mereka, isi perjanjian tak dapat dipenuhi oleh keluarga korban. Di sisi lain, sebagian uang itu, Rp 8 juta, sudah digunakan keluarga untuk pengobatan Renjana.
Ayah dan ibu Renjana tak dapat mengganti uang tersebut. Pekerjaan sang ayah sehari-hari hanya buruh lepas, sedangkan ibu Renjana seorang ibu rumah tangga. Mereka hanya bisa mengembalikan Rp 13 juta. Itu pun satu juta di antaranya dipinjam dari tetangga.
Akan tetapi, keluarga R tak mau menerima separuh-separuh. Mereka menuntut uang dikembalikan penuh. Karena tuntutan itu tak dapat dipenuhi, ibu Renjana yang menandatangani surat perjanjian dilaporkan ke Polsek Koto Tangah atas dugaan penipuan dan penggelapan uang.
”Saya merasa dijebak. Kami tidak pernah minta, mereka sendiri yang datang dan memberikan uang. Kata paman pelaku, uang Rp 20 juta itu untuk biaya pengobatan anak saya. Berkali-kali mereka datang ke rumah,” ujar ibu Renjana.
Direktur Women Crisis Center (WCC) Nurani Perempuan, Rahmi Meri Yenti, yang mendampingi pemulihan Renjana, mengatakan, pelaporan keluarga korban atas dugaan penipuan dan penggelapan adalah bentuk kriminalisasi. Kasus ini menunjukkan begitu beratnya perjuangan keluarga korban kekerasan seksual untuk mendapatkan keadilan.
”Sudah anak mereka sangat tertekan, secara emosional ada perubahan perilaku, ketika ingin mendapatkan keadilan seutuhnya, kemudian mereka malah dikriminalisasi. Kami berharap ke depan hukum betul-betul berpihak kepada korban,” kata Meri.
Kami berharap ke depan hukum betul-betul berpihak kepada korban. (Rahmi Meri Yenti)
Menurut Meri, kasus yang dihadapi orangtuanya membuat kondisi Renjana kembali menurun. Korban sering memikirkan kemungkinan ibunya dijebloskan ke penjara. Siswa SMA itu merasa bersalah atas kasus kekerasan seksual yang telah menimpanya. Ancaman kriminalisasi terhadap keluarganya telah memperburuk keadaan korban.
Selain kriminalisasi terhadap keluarga korban, Meri juga menyayangkan penanganan kasus kekerasan seksual terhadap Renjana. Menurut Meri, pembuatan berita acara pemeriksaan (BAP) tidak dilakukan oleh polisi wanita. Korban juga tidak didampingi oleh Satuan Bakti Pekerja Sosial (Sakti Peksos).
Penanggung Jawab Isu Perempuan dan Anak Lembaha Bantuan Hukum (LBH) Padang, Decthree Ranti Putri, sekaligus kuasa hukum keluarga Renjana, mengatakan, surat perjanjian damai itu batal demi hukum. Sebab, perjanjian itu mengandung kausa tidak halal karena melawan peraturan perundang-undangan.
Ranti menyesalkan tindakan polisi yang menindaklanjuti laporan keluarga tersangka R. Menurut Ranti, polisi tidak memahami konteks dugaan penipuan dan penggelapan. Perjanjian itu tidak memenuhi empat kriteria sesuai Pasal 1320 KUH Perdata, salah satunya suatu sebab yang halal.
”Dalam perjanjian itu, klausanya tidak halal. Seharusnya polisi sudah paham di sini. Jadi, bagaimana mungkin polisi melakukan pemanggilan atas kasus dugaan penipuan dan penggelapan?” kata Ranti.
Ranti menduga pemberian uang itu jebakan keluarga R yang diduga dekat dengan oknum polisi. Sementara itu, ayah dan ibu Renjana tidak melek hukum.
Dalam kasus dugaan penipuan dan penggelapan itu, lanjut Ranti, polisi selalu mengarahkan kedua belah pihak untuk berdamai. Kalau tidak, selalu ada ancaman terhadap pihak keluarga Renjana. Selain itu, aparat juga sering menyalahkan korban dan keluarga korban bahwa kekerasan seksual itu akibat kesalahan korban sendiri.
Ranti menjelaskan, sebenarnya uang Rp 20 juta yang diberikan keluarga tersangka bisa dikategorikan sebagai restitusi atau ganti rugi untuk pemulihan hak korban. Status restitusi itu diperkuat pula dengan kuitansi penyerahan uang pada 7 Februari 2021 yang menyebutkan untuk pembayaran ”biaya dispensasi pengobatan”.
”Penyidik mesti memahami, ini restitusi. Tidak bisa serta-merta kasusnya ditarik menjadi penipuan dan penggelapan. Uang diserahkan keluarga pelaku untuk biaya pengobatan dan nominalnya mereka tentukan sendiri. Semestinya, kepolisian berperan aktif dalam melindungi hak korban anak kekerasan seksual sebagaimana diatur UU Perlindungan Anak,” ujar Ranti.
Ditambahkan Ranti, dalam rangka pemenuhan dan perlindungan atas hak anak, penting sekali setiap kasus yang melibatkan anak ditangani oleh unit khusus Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA). Sementara itu, Polsek Koto Tangah tidak memiliki unit PPA. Ia menuntut agar Polda Sumbar bisa mengambil alih kasus ini.
Wakil Direktur LBH Padang Indira Suryani mengatakan, LBH telah melaporkan kasus kriminalisasi terhadap keluarga Renjana kepada Komisi Nasional (Komnas) Perempuan pada Jumat (19/3/2021). LBH Padang juga segera melaporkannya ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Selain itu, LBH Padang juga sudah mengirimkan surat permohonan penjelasan kepada Kepala Polsek Koto Tangah terkait kasus tersebut. LBH segera pula mendatangi Polda Sumbar untuk mendiskusikan kasus ini dan melakukan upaya hukum lanjutan.
Indira menuntut agar Polsek Koto Tangah menghentikan kasus dugaan penipuan dan penggelapan tersebut. Kemudian, karena tidak adanya Unit PPA di polsek, ia juga meminta kasus kekerasan seksual terhadap Renjana diambil alih oleh Polresta Padang atau Polda Sumbar.
”Kami takut kasus kekerasan seksual berujung SP3 (surat perintah penghentian penyidikan) dengan berlarut-larutnnya kasus dugaan penipuan dan penggelapan itu. Sebab, konflik kepentingannya tinggi,” ujar Indira.
Baca juga : Manipulasi Cinta dan Bobolnya Perlindungan Keluarga Mudahkan Kejahatan Eksploitasi Anak
Secara terpisah, Kepala Unit Reserse Kriminal Polsek Koto Tangah Inspektur Dua Mardianto Padang mengatakan, kasus kekerasan seksual terhadap Renjana masih berproses. Dalam waktu dekat, berkasnya akan dilimpahkan ke kejaksaan atau tahap II.
Sementara itu, kasus dugaan penipuan dan penggelapan oleh keluarga Renjana, kata Mardianto, sedang dalam penyelidikan. Polisi terus mendalaminya dan berkoordinasi dengan kejaksaan, kemudian baru diadakan gelar perkara, apakah kasus dilanjutkan atau tidak.
Menurut Mardianto, terlapor mengaku uang Rp 20 juta itu untuk biaya pengobatan Renjana, sedangkan pelapor mengaku uang itu untuk biaya obat sekaligus mengeluarkan tersangka R dari tahanan.
Mardianto membantah ia dan anggotanya punya konflik kepentingan dalam kedua kasus ini. ”Kami tidak tahu masalah itu, tahu-tahu (keluarga R) sudah buat laporan di Polsek Koto Tangah. Kalau korban (keluarga Renjana) merasa dikriminalisasi, yang mengkriminalisasi siapa? Setiap masyarakat melapor tentu kami terima dan tindak lanjuti,” ujarnya.
Baca juga : Mereka Butuh Perlindungan, Bukan Cacian