Bangsa ini kehilangan Farid Husain, sang juru damai, yang berperan dalam menciptakan perdamaian atas konflik Poso dan Ambon. Ia juga berperan besar dalam perundingan RI dengan GAM di Helsinki.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
”Mengapa kita mesti berseberangan. Mengapa Anda tidak naik perahu yang sama dengan kami dan bersama-sama membangun Aceh?”
Dalam suasana hangat, dokter Farid Wadjdi Husain melontarkan ucapan itu kepada dua anggota delegasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM), saat hendak keluar dari kamar kecil sebuah rumah peristirahatan milik Pemerintah Finlandia di Vantaa, 25 kilometer dari pusat kota Helsinki, hampir 16 tahun yang lalu.
Tak ada yang menyangka, pertemuan informal itu berujung pada penandatanganan nota kesepahaman (memorandum of understanding) Helsinki pada 15 Agustus 2005. Kini, Republik Indonesia dan GAM sudah ada dalam satu perahu setelah hampir 30 tahun air mata tumpah di ”Bumi Cut Nyak” itu.
Sosok Farid memang tak bisa dianggap enteng dalam penyelesaian konflik Aceh. Ia diketahui sebagai orang yang bermain di balik layar dan berjasa menghentikan pertumpahan darah antarsaudara di Aceh.
Cara-cara yang digunakan pun terlampau sangat unik. Farid tak menjalin komunikasi dengan pihak yang berkonflik di hotel-hotel mewah atau restoran-restoran mahal. Beberapa kali, ia terlihat berbicara dengan delegasi inti atau tokoh teras GAM di lif, lobi hotel, tepi pantai, bahkan juga di toilet.
Jauh sebelum mendamaikan Aceh, rupanya, Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI Jusuf Kalla pernah menugaskan Farid Husain pula untuk menyelesaikan konflik di Poso dan Ambon. Pilihan Kalla tak pernah meleset. Konflik berkepanjangan di dua wilayah itu pun kini telah usai.
Menurut Kalla, Farid adalah anggota tim proses damai yang bekerja keras di lapangan, selain juga di meja perundingan. ”Di Ambon dan Poso, dia yang menemui langsung tokoh Muslim ataupun Kristen yang bertikai, dan membawanya duduk dalam perundingan,” kata Kalla, saat dihubungi Selasa (23/3/2021) malam.
Pelobi mesti membekali diri dengan pengetahuan yang luas, latar belakang, serta ”kisah-kisah” tentang banyak orang penting.
Berbicara dari hati
Dalam suatu wawancara dengan Kompas, 24 April 2007, Farid menuturkan, tak mudah menjadi orang yang harus muncul di atas dan di belakang panggung sekaligus. Dengan karakter dan kemampuan yang dimiliki, dia merasa lebih pas berperan di belakang panggung sehingga bisa lebih berkonsentrasi dalam lobi.
Apa kunci kepiawaiannya melobi?
Bagi Farid, pelobi mesti membekali diri dengan pengetahuan yang luas, latar belakang, serta ”kisah-kisah” tentang banyak orang penting. Dia, misalnya, tekun mempelajari latar belakang keluarga tokoh GAM. Ia berusaha keras masuk ke dalam lingkungan keluarga GAM. Kendati untuk itu ia harus masuk ke pelosok dusun dan hutan.
Ketekunan itu ia petik buahnya ketika bertemu tokoh teras GAM. Farid bisa dengan enteng menyapa tokoh teras GAM di luar negeri sambil berkata, ”Saya sudah bertemu anak bungsu Anda di dusun ini. Ia baik-baik saja. Pesannya, tolong belikan dia beberapa baju kaus dan cokelat.”
Tokoh GAM di luar negeri yang sudah sekian tahun tidak bertemu anaknya itu bisa meneteskan air mata mendengar kabar tentang buah hatinya.
Kegigihan Farid mewujudkan perdamaian yang abadi juga terasa di Ambon dan Poso. Meski konflik telah usai, Farid masih sering sekali bolak-balik berkunjung ke dua tanah di Timur Indonesia itu. Jika tak bisa hadir, ia berkomunikasi dengan para deklarator, baik dari Islam maupun Kristen.
Meski konflik telah usai, Farid masih sering sekali bolak-balik berkunjung ke dua tanah di Timur Indonesia itu.
Suatu ketika, ia melihat banyak pemuda yang pekerjaannya hanya nongkrong seharian di pasar dan pusat keramaian. Ia khawatir kondisi itu bisa menjadi potensi konflik kembali.
”Saya beri tahu Pak Kalla agar mereka diberikan pekerjaan. Bapak lalu mengirim traktor agar mereka bisa bekerja. Dibelikan 100 traktor. Dananya dari Kantor Menko Kesra (Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat). Memang tak terlalu besar dibandingkan hancurnya harmonisasi masyarakat," ujar Farid. Saat itu, Kalla menjabat sebagai Menko Kesra.
Dengan bekerja, menurut Farid, para pemuda itu akan kelelahan dan langsung tidur. ”Akan tetapi, kalau tidak kelelahan, pasti dia ngobrol ke sana kemari dan akhirnya bisa mengingat-ingat masa lalu,” tutur Farid, yang mengaku masih mempunyai tanggung jawab moral atas Poso dan Ambon (Kompas, 1 Februari 2008).
Keretakan rumah tangga
Namun, siapa sangka, jalan Farid sebagai juru damai ini ternyata juga dikenal sampai ke rekan-rekannya, terutama bagi pasangan rumah tangga teman-temannya yang bermasalah atau bahkan nyaris cerai. Ia akan turun tangan jika melihat keretakan dalam rumah tangga mereka yang meminta bantuannya.
Namun, tak ada yang menyangka pula, kepergian Farid begitu cepat. Dokter ahli bedah itu meninggal pada Selasa (23/3/2021) sekitar pukul 20.18 WIT. Ia pergi ketika Indonesia masih membutuhkan juru damai yang persisten dalam menyelesaikan konflik di negeri ini. Hari ini, semua hati retak atas kepergian Farid. Selamat jalan, Pak Farid, sang juru damai.