Berharap Damai Tak Enyah dari Mului
Rencana pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur terus digulirkan. Jauh di pelosok hutan, rencana itu terdengar oleh suku Dayak Paser Mului. Mereka punya asa terhadap rencana itu.
Memindahkan kampung ke lokasi baru jadi barang biasa bagi masyarakat adat Dayak Mului di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur. Saat pemerintah meminta mereka tinggal menetap pun, mereka menurut lalu menghutankan kembali kampung lama. Para pemburu dan peramu itu tidak begitu saja melupakan yang ditinggalkan, sambil berjuang hidup di lokasi baru.
Matahari belum juga terbit menerangi Dusun Mului, Kecamatan Muara Komam, saat Jidan (60) selesai mengikat parang di pinggang, Sabtu (13/3/2021). Dia lantas melangkahkan dua kaki kokohnya ke ladang miliknya. Jaraknya sekitar 1,5 kilometer dari rumahnya dengan kontur tanah sedikit berlumpur.
Setiap jelang panen, ia biasa berangkat sepagi mungkin. Jidan tidak ingin kawanan pipit keburu datang menyantap bulir padi di ladang seluas kurang dari sehektar yang ia kelola.
Baca juga : Jokowi Lanjutkan Proyek Ibu Kota
Tiba sekitar 20 menit kemudian, Jidan menuju pondok sederhana yang ia buat sendiri. Tinggi pondok itu sekitar 2 meter. Dindingnya dari kulit pohon. Tiangnya dari dari kayu akasia. Semuanya diambil dari alam. Hanya atapnya terbuat dari seng. ”Dapat bantuan dari pemerintah,” katanya.
Di dalam pondok, dapur dan kamar menjadi satu. Jidan lalu menyalakan tungku dan memasak air untuk menyeduh kopi hitam, setoples gula sudah ia siapkan. Api yang menyala mengalahkan udara dingin yang sedari tadi menusuk.
Ditemani kopi panas dan embun yang perlahan enyah, Jidan menarik-narik tali rotan yang ia buat di sepanjang kebun untuk mengusir burung. Benar saja, belum ada burung yang datang, Jidan mendahului mereka.
Di Dusun Mului, sekitar 300 kilometer dari Kota Balikpapan, pondok milik Jidan tidak berdiri sendiri. Bangunan serupa ada di tiap ladang menjadi tempat tinggal sementara warga jelang panen. Bahkan, waktu yang dihabiskan warga kerap lebih lama ketimbang tinggal di rumahnya sendiri. Jidan, misalnya, sudah hampir enam bulan tinggal di sana sejak mulai menanam. Merelakan padi dimakan burung adalah petaka bagi warga.
”Jika tidak ada hama, bisa mencapai 4 ton per ladang, kadang 3 ton. Itu sudah cukup untuk kebutuhan sampai panen atau masa tanam berikutnya,” kata Jidan.
Jidan tidak dilahirkan di lokasi dusun tempatnya tinggal kini, tetapi di hutan di kaki gunung lumut. Hingga usia lebih dari setengah abad, dia memperkirakan sudah empat kali berpindah kampung, hingga akhirnya menetap dan menjadi bagian dari Desa Swan Slotung.
Selama masih di sekitar Gunung Lumut, suku Dayak Mului tak risau. Berpindah ke mana pun selama masih dekat dengan hutan dan sungai Mului sudah cukup bagi mereka. Itu adalah warisan yang tidak bisa mereka tinggalkan. Kebiasaan itu dilakukan untuk terus memutar roda kehidupan.
Warga Dayak Mului percaya dengan istilah dalam bahasa setempat, bolum serga yang berarti hidup sejahtera. Sejahtera bagi mereka itu rasa aman, hidup selaras dengan alam demi masa depan yang panjang.
Jidan menjelaskan, biasanya pindah dilakukan saat hasil panen berkurang, sumber pangan semakin sulit didapat, dan gangguan menyerang. Gangguan berupa-rupa bentuknya, mulai dari hama hingga yang mereka anggap sebagai gangguan roh. Ada ritual untuk memulai perpindahan.
”Selama berkeliling gunung tidak masalah, jangan terlalu jauh, karena bukan wilayah kita. Berpindah juga sekaligus menandai dan menjaga kawasan kelola adat kami,” ungkap Jidan.
Setelah semua persiapan selesai dilakukan, warga mulai memindahkan harta bendanya. Biasanya, dimulai dengan peralatan dan perlengkapan yang ringan, seperti tungku memasak, peralatan berkebun, bumbu masakan, hingga dipan untuk tidur. Lalu mulai dengan yang berat seperti dinding, atap, pintu hingga kerangka rumah. Butuh waktu lima hingga enam bulan untuk pindahkan semua rumah ke lokasi yang baru.
Baca juga : Selamatkan Pesut, Perlu Zonasi Lindung Sebelum Ibu Kota Pindah
Bining (82), warga Mului lainnya, mengingat kembali masa itu. Sebelum menetap di tempat sekarang, mereka tinggal dan berpindah-pindah di sekitar Sungai Mului, 1,5 kilometer di bawah kampung saat ini.
Akan tetapi, ada yang berbeda saat memutuskan pindah tahun 1979. Bukan lagi dipicu alam, melainkan terganggu aktivitas perusahaan kayu. Pembukaan jalan yang dilakukan perusahaan itu ternyata berdampak fatal. Sumber air bersih dari Sungai Mului menjadi kotor. Akhirnya, diputuskan, warga pindah demi kualitas hidup lebih baik. Di sana, mereka masih berladang dan menangkap ikan di sekitar Sungai Mului.
Sekitar tahun 1999, konsesi perusahaan kayu tersebut habis. Perusahaan itu menyisakan jalan dengan lebar sekitar 6 meter. Tak ada lagi deru mesin kendaraan dan pemotong kayu. Jalan tersebut juga digunakan oleh pemerintah yang kerap datang untuk mendata warga. Karena kerap berpindah, mereka diminta menetap di satu tempat agar mudah dijangkau.
Tahun 2002, Pemerintah Daerah Paser meminta mereka menetap di area bekas transit kendaraan menaruh kayu. Tempat itu berada sekitar 1,5 kilometer dari kampung mereka di tepi Sungai Mului. Di sana, mereka sudah disediakan rumah kayu beratap seng.
”Sebelumnya jarak kami berjauhan. Rumahnya di sekitar ladang masing-masing. Sekarang dekat dan mudah berkumpul,” kata Bining.
Baca juga : Calon Ibu Kota Negara Baru
Tinggal terpusat dalam jangka waktu lama di satu kawasan jelas kebiasaan baru bagi mereka. Jahan (53), salah satu anak Bining, mengatakan ikut anjuran pemerintah kerena percaya semuanya berujung pada kebaikan.
Akan tetapi, karena berpindah bukan karena kehendak sendiri, kehidupan di tempat baru tidak mudah. Salah satu masalahnya adalah ketersediaan air. Sebelumnya, air Sungai Mului hanya sekitar 100 meter dari permukiman. Di tempat baru, air bisa didapat setelah berjalan kaki lebih dari 1 kilometer, di Sungai Serari, anak Sungai Mului. Hampir setiap hari mereka membawa pikulan berisi air sungai yang beratnya mencapai 40 kilogram.
Jahan bercerita, air itu hanya untuk kebutuhan minum. Untuk kebutuhan mandi, mencuci, dan kakus, warga menampung air hujan di drum atau tangki di rumah masing-masing. Semua dilakukan selama 17 tahun. Bantuan pipa dari pemerintah desa untuk mengalirkan air sungai ke rumah warga datang tahun 2019.
Tak hanya soal air. Hutan Mului terancam dengan perusahaan kayu, tambang dan sawit. Karena sebelum disahkan jadi hutan adat, ada banyak perusahaan mulai membidik hutan tempat mereka berburu dan tinggal. Bahkan, warga kampung kerap menjumpai pembalakan ilegal oleh orang dari luar kampung.
Baca juga : Kajian Lingkungan Ibu Kota Baru Masih Abaikan Publik
Beruntung, didukung lembaga Perkumpulan Padi Indonesia, Jidan sebagai Kepala Adat Mului datang ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Jakarta untuk mempertahankan hutan yang mereka anggap sudah menjadi milik adat.
Serangkaian perjuangan itu berujung manis. Masyarakat Adat Mului diakui, begitu juga hutannya. Surat Keputusan Menteri KLHK tentang hutan adat Mului keluar pada tahun 2020 lalu dengan luas 7.722 hektar.
Ibu kota negara
Bagi Jidan, saat berkunjung ke Jakarta, memori Ibu Kota yang jauh dari bayangannya masih melekat. Tak ada hutan, penuh gedung tinggi, sarat kendaraan, dan kemacetan. Meski terkagum, hati kecil Jidan berkata tak ingin hidup di tempat yang begitu megah tanpa hutan. Tinggal selama seminggu di Jakarta dan Bekasi, ia tidak betah dan ingin segera pulang ke Mului.
Akan tetapi, keinginan itu bisa jadi tidak tercapai di usia Jidan yang semakin senja. Memori buruknya tentang Ibu Kota muncul lagi saat mendengar kabar dari radio butut milik salah seorang warga pada Desember 2019 lalu.
Ia mendengar Presiden Joko Widodo berencana datang melihat lokasi calon ibu kota negara baru di Sepaku, Penajam Paser Utara. Sebagian area Sepaku bersama dengan sebagian area di Muara Jawa dan Samboja di Kutai Kartanagera disebut sebagai kawasan bakal ibu kota negara baru. Jika ditarik garis lurus dengan Google Earth, jarak lokasi ibu kota negara baru itu lebih kurang hanya 95 kilometer dari Gunung Lumut.
”Apa iya nanti hutan kami bakal seperti itu?” tanya Jidan. Ia jawab sendiri pertanyaan itu, ”Tidak, saya tidak mau, silakan ibu kota pindah ke sini (Kaltim) tapi jangan rusak hutan adat kami, itu air susu ibu kami, kehidupan.”
Antropolog Dayak dari Universitas Mulawarman, Simon Devung, mengungkapkan, kekhawatiran masyarakat hukum adat seperti Jidan sudah lama terjadi. Bahkan, sebelum rencana pemindahan ibu kota disuarakan. Alih fungsi lahan dari hutan menjadi perkebunan, usaha kayu, dan tambang sudah banyak merenggut hak-hak hidup masyarakat adat, bahkan masyarakat lokal.
Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya persiapan matang. Hal itu, sedikit banyak mirip dengan yang dilakukan Dayak Mului sebelum pindah tempat tinggal.
Dayak Paser Mului sekitar tahun 1950 sudah menganut Islam dengan tetap menjalankan ajaran adat dan leluhur. Laiknya hijrah, mereka menjalankan laku berpindah tempat tinggal untuk memulai kehidupan yang lebih baik tanpa meninggalkan kerusakan di tempat lama.
Baca juga : Tahun Ini Peletakan Batu Pertama Istana Presiden
Kompas mendatangi tempat tinggal warga yang lama. Hanya ada jalan setapak dari kampung baru menuju Sungai Mului. Di antara pepohonan, terlihat mencolok beberapa pohon menggeris yang menjulang dengan tinggi sekitar 50 meter dan berdiameter sekitar 2 meter. Di ujung batang pohon, terdapat banyak cabang yang biasanya dijadikan sarang lebah hutan.
Jahan ikut membuat pohon menggeris itu tumbuh subur. Dia mengatakan, ada 20 pohon yang ia tanam tak lama setelah pindah ke tempat yang baru. Ada beberapa pohon ulin dan pohon menggeris yang ia tanam. Lahan tidak lebih dari 1 hektar itu kini sudah rapat dengan pohon dan tumbuhan setinggi 5-20 meter.
Jahan mengatakan, pohon-pohon itu ditanam karena beberapa pohon di sana sebelumnya ditebang untuk kebutuhan rumah warga dan lahan perkebunan. Pohon menggeris juga menjadi tempat favorit lebah madu hutan membuat sarang. ”Jadi hutannya tidak rusak agar bermanfaat untuk saya dan anak-cucu selanjutnya,” kata Jahan.
Isnan (22), anak muda suku Dayak Mului, kini merasakan kebaikan hutan itu. Beberapa bulan lalu, hampir setiap malam ia naik ke pohon menggeris. Bermodal potongan kayu ulin kecil yang ditancapkan ke batang pohon dan penerangan di kepala, ia naik ke pohon dengan ketinggian hingga 60 meter itu.
”Kalau sedang banyak, bisa dapat 100 liter dari satu pohon. Biasanya dijual Rp 100.000-Rp 300.000, tergantung musim. Untuk konsumsi keluarga, 10 liter madu belum tentu habis sebulan,” kata Isnan.
Serupa dengan warga lainnya, Isnan mengatakan pemindahan ibu kota jangan sampai merusak hutan dan tradisi. Ia belum bisa membayangkan hidup tanpa hutan dan menolak menjadi buruh di tanahnya sendiri.
Seiring peringatan Hari Hutan Sedunia yang jatuh pada 21 Maret dan semangat membangun ibu kota negara baru menjadi kota hutan dengan pengelolaan ramah lingkungan, asa warga Mului pun membubung. Harapan itu memberi makna warga Dayak Mului tidak sedang menolak pembangunan. Mereka patuh apabila itu harus dilakukan.
Namun, memindahkan ibu kota jelas tidak semudah memindahkan kampung. Warga Dayak Mului percaya dengan istilah dalam bahasa setempat, bolum serga yang berarti hidup sejahtera. Sejahtera bagi mereka itu rasa aman, hidup selaras dengan alam demi masa depan yang panjang.