Mantan Gubernur Sultra Bantah Terlibat Kasus Pengalihan Saham PT TMS
Mantan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam hadir sebagai saksi dalam sidang kasus pengalihan saham perusahaan nikel PT Tonia Mitra Sejahtera. Nur Alam mengaku tidak mengetahui kasus tersebut.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Mantan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam, yang juga terpidana kasus korupsi izin pertambangan, hadir sebagai saksi dalam kasus pengalihan saham perusahaan nikel PT Tonia Mitra Sejahtera. Nur Alam mengaku tidak mengetahui kasus tersebut.
Nur Alam dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tinggi Sultra sebagai saksi untuk empat terdakwa kasus pengalihan saham PT Tonia Mitra Sejahtera (TMS), Selasa (23/3/2021) siang. Para terdakwa dalam kasus ini adalah Amran Yunus, Ardyansyah Tamburaka, Maha Setiawan, dan Kalbi.
”Saya pernah ketemu dengan saudara Amran waktu itu ketika saya masih menjabat sebagai Gubernur Sultra. Beliau saat itu menjadi tahanan, dan meminta bantuan sebesar Rp 400 juta untuk membayar denda sisa tahanan,” kata Nur Alam, dalam kesaksiannya di depan majelis hakim yang diketuai oleh Kelik Tri Margo.
Meski mengenal Amran dan pernah bertemu, Nur Alam mengaku tidak tahu-menahu terkait upaya pengambilalihan saham di PT TMS. Sebab, saat masa proses peralihan saham sesuai fakta persidangan tersebut, ia sedang fokus menjalani kasus hukum yang saat ini ia jalani vonisnya. Oleh sebab itu, ia menyesalkan adanya pengakuan terdakwa yang menyebut namanya dalam upaya pengambilalihan saham PT TMS.
Di sisi lain, Nur Alam mengatakan mengenal para pemilik saham PT TMS sebelum berubah, termasuk Ali Said, seorang pengurus pusat Kamar Dagang dan Industri, serta Muhammad Lutfi, yang saat ini menjabat Menteri Perdagangan. Lutfi sendiri telah bersaksi secara virtual sebagai saksi korban pada persidangan yang digelar pekan lalu.
”Untuk mengelola perusahaan pertambangan sebesar PT TMS, itu terlalu besar untuk dilakukan oleh Amran seorang. Yang saya tahu, Pak Lutfi pemilik saham juga, karena pertambangan itu memerlukan investasi yang tidak kecil,” ucap Nur Alam, yang saat ini menjalani masa vonis selama 12 tahun penjara di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung.
Meski demikian, saat ia menjalani perawatan di RSPAD Jakarta, awal 2020 lalu, ia mendapat sebuah surat tanpa nama pengirim. Surat tersebut ditandatangani oleh Ardyansyah Tamburaka, seorang terdakwa dalam kasus ini, lengkap dengan materai. Ia lalu menyimpan surat tersebut.
Setelah meminta izin hakim, Nur Alam lalu diberikan kesempatan untuk membacakan surat pernyataan tersebut. Surat tersebut berisi kesaksian terdakwa Ardyansyah dalam akuisisi PT TMS oleh PT Tribuana Sukses Mandiri.
Dalam surat itu, sekitar tanggal 14 September 2017, Ardyansyah mengaku ditelepon Amran Yunus untuk hadir di Kantor Kepala BIN Sultra. ”Untuk hadir menandatangani dokumen akuisisi PT TMS,” kata Nur Alam, saat membacakan surat itu.
Surat tersebut lalu dipastikan oleh para terdakwa dan jaksa. Adryansyah mengakui tanda tangan bermaterai tersebut adalah tanda tangannya sendiri. Nur Alam juga memberi cendera mata berupa cermin dan kopiah kepada terdakwa.
Kasus ini awalnya dilaporkan oleh Ali Said, salah seorang pemilik saham PT TMS, yang merasa dirugikan dengan adanya pengalihan saham di perusahaan yang memiliki izin usaha pertambangan (IUP) seluas 5.891 hektar di Kabaena Tengah, Kabupaten Bombana, Sultra.
Setelah beralih struktur kepemilikan saham, PT TMS lalu diakuisisi oleh PT Tribuana Sukses Mandiri dengan nilai Rp 100 miliar.
Ali adalah pemilik saham sebesar 30 persen dari perusahaan ini. Selain Ali, juga ada Muhammad Lutfi, Menteri Perdagangan RI saat ini, yang juga memiliki saham sebesar 30 persen. Saham terbesar dimiliki oleh Amran Yunus sebesar 40 persen.
Pada Januari 2017, diketahui ada rapat umum pemegang saham (RUPS) luar biasa yang mengalihkan kepemilikan saham Ali dan Lutfi. Keduanya lalu tidak lagi memiliki saham di perusahaan tersebut, sementara kepemilikan Amran menjadi 70 persen dan seseorang bernama Asmawaty sebesar 30 persen.
Setelah beralih struktur kepemilikan saham, PT TMS lalu diakuisisi oleh PT Tribuana Sukses Mandiri dengan nilai Rp 100 miliar. Akuisisi ini dibayar secara bertahap selama sekitar tiga tahun terakhir.
Atas perubahan struktur kepemilikan perusahaan, Ali Said lalu melaporkan hal ini secara pidana dan perdata karena merasa tidak pernah melakukan RUPS dan penandatanganan pengalihan saham kepada orang lain. Dalam kasus perdata, laporan penggugat dinyatakan menang dan memerintahkan agar para terdakwa menggantikan kerugian materil dan immateril para penggugat, yakni Muhammad Lutfi dan Ali Said.
Putusan tersebut menyebutkan bahwa perbuatan tergugat dianggap melawan hukum. Para penggugat mengalami kerugian materil sebesar Rp 100 miliar dan 48,9 juta dollar AS.
Setelah kasus perdata, kasus pidana PT TMS ini lalu berlanjut terkait pemalsuan tanda tangan dan pengalihan saham PT TMS. Dalam sidang keempat yang berlangsung Selasa siang ini, selain Nur Alam, JPU juga menghadirkan notaris pembuat akta perusahaan, yaitu Ryan Riyadi.
Ryan banyak dicecar oleh JPU terkait penerbitan akta perusahaan yang tidak menghitungkan prinsip kehati-hatian. Kesaksian Ryan yang berubah-ubah membuat JPU dan majelis hakim meluruskan pernyataan Ryan.
Ryan diketahui menerbitkan akta hanya berlandas surat kuasa tanpa mengecek nama dan identitas pemberi kuasa. Sebelum akta diterbitkan, juga ada notulensi RUPS-LB yang mengalihkan saham Ali dan Lutfi. Berdasarkan hal tersebut, Ryan menerbitkan akta baru PT TMS, dan mendaftarkannya di Kementerian Hukum dan HAM.
Kasus perusahaan pertambangan di Sulawesi Tenggara, khususnya nikel, bukan kali ini terjadi. Selain kasus internal, permasalahan terkait pertambangan hingga proses ilegal pertambangan marak terjadi di wilayah ini.