Jatim Tak Perlukan Beras Impor, Suara Penolakan Semakin Meluas
Beras impor tidak diperlukan di Jatim karena stok beras surplus 1,9 juta ton seiring tibanya masa panen raya. Suara penolakan pun semakin keras didengungkan oleh petani yang menerima dampak buruk kebijakan tersebut.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·4 menit baca
SURABAYA,KOMPAS-Beras impor tidak diperlukan di Jatim karena stok beras mengalami surplus seiring tibanya masa panen raya musim tanam pertama 2021 yang bakal mencapai puncaknya pada April. Sejumlah petani pun terus menyuarakan penolakan kebijakan impor beras yang membuat kondisi mereka kian terpuruk.
Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Jatim, luas panen sampai April sebesar 974.189 hektar atau ha dengan produksi beras 3.053.004 ton. Dengan kemampuan produksi beras tersebut, Jatim surplus sebesar 902.401 ton hingga Mei.
Pada Juni ada tambahan luas panen sebanyak 295.118 ha dengan kemampuan produksi sebesar 1 juta ton setara beras. Dengan adanya tambahan tersebut, total surplus produksi beras di Jatim selama semester pertama 2021 diprediksi menembus hampir 2 juta ton atau tepatnya 1.911.180 ton.
“Jadi, dengan surplus tersebut, Jatim tidak perlu suplai beras impor. Stok melimpah, bahkan satuan tugas pangan sedang berkeliling menyerap gabah petani di musim panen ini,” ujar Khofifah, Senin (22/3/2021).
Khofifah mengatakan kondisi surplus beras tahun ini sama dengan yang terjadi pada tahun lalu. Saat itu Jatim mengalami surplus beras 1,9 juta ton sehingga ketersediaan pangan masyarakat terjamin. Dengan stok yang besar tersebut, harga beras di tingkat konsumen atau masyarakat juga terjaga stabilitasnya. Tidak terjadi gejolak harga di pasar yang signifikan.
Sementara itu Kepala Bulog Provinsi Jatim Muhammad Khozin mengatakan saat ini pihaknya memiliki stok setara beras sebanyak 230.000 ton. Stok itu cukup untuk memenuhi kebutuhan cadangan beras pemerintah hingga akhir tahun. Mayoritas stok itu merupakan beras pembelian dari petani lokal.
“Hanya sekitar 30.000 ton beras yang merupakan sisa impor tahun sebelumnya. Beras impor itu tidak untuk didistribusikan di Jatim melainkan untuk memperkuat cadangan pangan di provinsi lain di luar Jatim,” kata Khozin.
Jadi, dengan surplus tersebut, Jatim tidak perlu suplai beras impor. Stok melimpah, bahkan satuan tugas pangan sedang berkeliling menyerap gabah petani di musim panen ini (Khofifah Indar Parawansa)
Untuk memperkuat stok berasnya, Bulog Jatim mengerahkan satgas pangan menyerap hasil panen petani dengan target 1.300 ton per hari. Hingga akhir masa panen raya, Bulog menargetkan mampu menyerap 200.000 ton beras petani untuk memenuhi kebutuhan cadangan beras pemerintah di Jatim dan provinsi lain di luar Jatim.
Penolakan
Seperti diberitakan sebelumnya, pemerintah memutuskan mengimpor 1-1,5 juta ton beras dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan cadangan pangan. Kebijakan importasi itu tidak memiliki alasan kuat karena dilakukan di tengah masa panen raya dengan produktivitas yang tinggi bahkan meningkat dibandingkan tahun sebelumnya.
Menyikapi kebijakan impor beras tersebut, sejumlah petani di Jatim terus menyuarakan penolakan. Setidaknya hal itu disampaikan oleh Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan atau KTNA Kabupaten Madiun Suharno. Menurutnya, kebijakan impor telah memukul petani karena berimplikasi pada anjloknya harga pembelian gabah.
“Pemerintah seharusnya memberikan dukungan agar usaha tani berkembang maksimal dengan menyediakan pupuk yang cukup pada musim tanam dan menyerap gabah produksi petani saat panen raya. Namun, yang terjadi sebaliknya, pupuk sulit didapat dan harga gabah jatuh karena digempur kebijakan impor,” kata Suharno.
Penolakan kebijakan impor beras juga disampaikan oleh Sekretaris KTNA Bojonegoro Tri Untari. Beragam daya telah dikerahkan petani agar usahanya lestari dan memiliki prospek cerah sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah satunya mekanisasi alat pertanian untuk mengatasi semakin berkurangnya pekerja tani dan mencapai nilai efisiensi usaha.
“Namun, alih-alih mendukung petani. Pemerintah justru terus menerus mengeluarkan kebijakan yang tidak berpihak kepada petani. Setiap musim tanam selalu kesulitan pupuk dan kini, saat panen, harga gabah terpuruk,” ujar Tri Untari.
Selain petani, penolakan kebijakan impor beras juga disuarakan oleh organisasi kemasyarakatan. Ketua Pengurus Wilayah Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama atau LPPNU Jatim Gufron Ahmad Yani mengatakan kebijakan impor beras telah menyusahkan petani yang telah berjuang keras menjaga produksinya di tengah pandemi Covid-19 yang tak kunjung teratasi.
“Mereka tetap turun menggarap sawah dengan menanggung risiko terpapar Covid-19 demi menjaga pasokan pangan masyarakat. Oleh karena itulah, tidak ada hal yang paling tepat dilakukan oleh pemerintah selain membatalkan kebijakan impor beras,” ucap Gufron.
Nahdlatul Ulama berkepentingan membela petani karena mayoritas anggotanya merupakan petani kecil. Saat ini kondisi petani terpuruk karena dampak dari kebijakan impor beras yang mempengaruhi psikologi harga gabah di tengah musim panen raya dengan produksi yang melimpah.