Lumbung Ikan di Maluku Harus Utamakan Nelayan Kecil
GMNI Cabang Ambon meminta pemerintah menjelaskan posisi nelayan lokal skala kecil dalam program lumbung ikan nasional. Ada kekhawatiran program itu membawa kepentingan korporasi.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS — Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia atau GMNI Cabang Ambon meminta pemerintah mengutamakan nasib nelayan kecil saat mengelola lumbung ikan nasional di Maluku. GMNI berharap program itu tidak lantas menjadi pintu masuk eksploitasi sumber daya perikanan oleh korporasi besar.
Hal itu disampaikan Ketua Dewan Pimpinan Cabang GMNI Ambon Adi Suherman Tebwaiyanan dalam acara Konferensi Cabang GMNI Ambon, Senin (22/3/2021). Dalam acara itu digelar diskusi terkait arah kebijakan lumbung ikan nasional di Maluku.
”Kami membaca arah perencanaan lumbung ikan nasional ini cenderung mengarah pada kepentingan korporasi. Contohnya, pembangunan pelabuhan terpadu serta kawasan industri di Kabupaten Maluku Tengah. Di sisi lain, belum jelas di mana posisi nelayan kecil,” ujarnya.
Menurut dia, langkah pertama yang wajib dilakukan adalah memperkuat kantong-kantong kampung nelayan di Maluku. Penguatan itu seperti pemberian alat tangkap, pengadaan bahan bakar, ketersediaan es, dan umpan bagi nelayan pemancing. Di Maluku terdapat lebih kurang 115.000 rumah tangga nelayan.
Ia mengatakan, keberadaan korporasi tidak mutlak memberi manfaat bagi masyarakat lokal. Kabupaten Kepulauan Aru yang berada di tepian Laut Arafura, misalnya, menjadi wilayah kaya ikan di Indonesia, tetapi banyak warga hidup miskin.
Bahkan, lebih memprihatinkan lagi, salah satu perusahaan ikan di Aru pernah terlibat eksploitasi tenaga kerja asing. Kasus yang terbongkar pada 2015 itu kemudian menjadi sorotan dunia. Sejumlah negara lantas menyatakan, pengelolaan perikanan Indonesia tidak ramah dengan humanisme.
Prinsip menjaga agar sumber daya berkelanjutan harus diperhatikan. Jika tidak, generasi di masa depan hanya mendengar cerita bahwa Maluku pernah jadi daerah kaya ikan.
Guru Besar Ilmu Kelautan dan Perikanan pada Universitas Pattimura Ambon Alex Retraubun berharap mahasiswa terus mengawal implementasi lumbung ikan nasional. Alex berharap perlu pengaturan lebih detail mengenai eksploitasi sumber daya perikanan. Bila tidak diatur dengan benar, korporasi besar rentan menguras potensi laut.
Ia menuturkan, selama bertahun-tahun potensi laut di Maluku sudah dieksploitasi. Saat ini, di banyak perairan, nelayan semakin sulit mencari ikan. Nelayan harus melaut lebih dari sehari untuk mendapatkan ikan.
”Prinsip menjaga agar sumber daya berkelanjutan harus diperhatikan. Jika tidak, generasi di masa depan hanya mendengar cerita bahwa Maluku pernah jadi daerah kaya ikan,” ujarnya.
Guru Besar Antropologi yang juga mantan Rektor Universitas Pattimura Mus Huliselan mengatakan, kehadiran industri perikanan jangan sampai memarjinalisasi masyarakat lokal. Di banyak tempat, masyarakat lokal selalu tersisihkan. ”Masyarakat lokal harus disiapkan sisi kompetensinya,” ucapnya.
Selain itu, lanjutnya, perlu penguatan pranata adat untuk menjaga potensi laut tetap lestari. Salah satunya budaya sasi untuk menjaga alam. Dengan sasi, ada batasan kapan perairan itu dapat dieksploitasi dan ada waktunya perairan tidak ”diganggu” agar terjadi pemulihan kualitas lingkungan.
Sementara itu, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Maluku Anton Lailosa meyakini, program lumbung ikan nasional akan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru di Maluku. Dengan begitu, kemiskinan di Maluku, yang kini berada pada angka 17,99 persen, dapat ditekan.
Anton memahami kekhawatiran lumbung ikan nasional hanya memberi ruang bagi korporasi. Namun, ia berjanji pemerintah akan memprioritaskan nasib nelayan lokal. ”Kami selalu terbuka dengan kritik dan masukan dari masyarakat,” ucapnya.