Cegah Banjir Jateng Berulang, Konservasi Hulu Sungai Mutlak
Ada sekitar 10 titik kritis di sepanjang Sungai Serang. Konservasi perlu terus dilakukan untuk mengurangi sedimentasi yang selama ini menyebabkan berkurangnya daya tampung sungai sehingga meluap dan banjir.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
GROBOGAN, KOMPAS — Tingginya curah hujan pada awal 2021 menyebabkan sejumlah daerah di Jawa Tengah, seperti Kota Semarang, Kabupaten Demak, Kudus, Jepara, dan Pati, dilanda banjir. Salah satu pemicu yakni berkurangnya kapasitas sungai akibat sedimentasi yang membuat aliran air meluap. Gerakan konservasi di hulu penting di samping sejumlah penanganan struktural.
Pada banjir di Kudus dan Jepara, antara lain dipicu penurunan kapasitas Sungai Serang, yang alirannya berasal dari Waduk Kedung Ombo, Jateng. Dari hulu, sungai itu melewati Bendung Sidorejo, Bendung Sedadi, dan Bendung Klambu serta bertemu Sungai Lusi. Dari Klambu, aliran dua sungai itu dibendung dan menjadi Sungai Wulan ke arah Kudus serta Sungai Juana ke arah Pati, kemudian bermuara di Laut Jawa.
Kepala Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pemali Juana, M Adek Rizaldi, Senin (22/3/2021), mengatakan, sejak November 2020 hingga Februari 2021, sejumlah bencana, termasuk banjir terjadi di aliran Sungai Serang. Hal itu, antara lain, karena sungai terisi sedimen yang membuat kapasitas tampung berkurang. Sungai pun meluap.
”Ada sekitar 10 titik kritis di sepanjang Sungai Serang. Konservasi perlu terus dilakukan untuk mengurangi sedimentasi,” kata Adek di sela-sela puncak peringatan Hari Air Sedunia di sekitar hulu Sungai Serang, dekat Waduk Kedung Ombo, Kecamatan Geyer, Grobogan, Senin.
Dalam acara itu, BBWS Pemali Juana beserta sejumlah unsur menanam ratusan pohon mangga dan nangka di sekitar hulu Sungai Serang. Selain di titik tersebut, ada tujuh titik penanaman lain, di antaranya Waduk Butak, Waduk Simo (Grobogan), serta Waduk Jatibarang dan Kanal Banjir Timur (Semarang). Total ada 500 pohon yang ditanam.
Di bawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, hal sama juga dilakukan di provinsi lain dalam rangka memperingati Hari Air Sedunia. Adapun tema Hari Air Sedunia pada 2021 ialah ”Valuing Water” atau ”Menghargai Air”.
Gerakan konservasi perlu digalakkan bersama seluruh pihak, termasuk masyarakat, sebagai penanganan nonstruktural.
Adek menekankan, gerakan konservasi perlu digalakkan bersama seluruh pihak, termasuk masyarakat, sebagai penanganan nonstruktural. Sementara penanganan struktural yang dilakukan antara lain berupa normalisasi sungai serta pembuatan tanggul dan parapet.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum Sumber Daya Air dan Tata Ruang Jateng Eko Yunianto menuturkan, banjir ialah konsekuensi dari kapasitas sungai yang terbatas, terutama ketika menghadapi curah hujan tinggi, seperti awal 2021. Kesadaran kolektif, dari setiap individu untuk merawat lingkungan, termasuk menanam pohon yang menjadi tempat meresapnya air ke tanah, akan sangat berpengaruh dalam pencegahan banjir.
”Pada intinya bagaimana mengajak peran serta masyarakat. Kami menyadari, bukan hari ini saja, melainkan harus terus-menerus sehingga konservasi ini menjadi budaya, yang akan bermuara pada tercapainya tujuan bersama. Ini tantangan bersama bagaimana mengelola air untuk menjaga kehidupan,” katanya.
Staf Ahli Menteri PUPR Bidang Sosial Budaya dan Peran Masyarakat Sudirman mengatakan, Kementerian PUPR akan terus mengonservasi sumber daya air, di antaranya melalui gerakan penanaman pohon di semua infrastruktur yang dibangun oleh Kementerian PUPR, baik itu infrastruktur sumber daya air, bina marga, cipta karya, maupun perumahan.
”Jenis pohon yang ditanam ada dua jenis, yaitu pohon untuk memperkuat infrastruktur dan pohon produktif yang bernilai ekonomi, terutama dari buah atau daunnya, antara lain durian, mangga, pete, jengkol, alpukat, nangka, rambutan, jambu, dan banyak lagi. Diharapkan membantu perekonomian masyarakat setempat,” kata Sudirman dalam keterangannya.
Desa hayati
Dihubungi terpisah, Ketua Forum Daerah Aliran Sungai (DAS) Muria Hendy Hendro menuturkan, kondisi DAS Muria juga turut berkontribusi, lewat Sungai Gelis yang melewati Kota Kudus dan kemudian mengalir ke Laut Jawa. Ada tujuh sub-DAS kawasan Muria yang kritis, yakni Piji, Sani, Gungwedi, ketiganya ada pada DAS Juana. Kemudian, Srep dan Mayong pada DAS Serang. Selain itu, Tayu di DAS Tayu dan Gelis di DAS Gelis.
Berkaca pada kondisi itu, diinisiasi konsep desa hayati dengan mendorong pertanian berbasis agro forestry atau tumpang sari wanatani serta diversifikasi usaha pertanian. ”Ada tujuh desa yang jadi percontohan dengan menanam antara lain alpukat dan durian. Jadi, tak sekadar tanam, tetapi juga dimanfaatkan sehingga menunjang ekonomi masyarakat,” ujar Hendy.
Ia menambahkan, meski tak mudah, masyarakat perlu diarahkan untuk tak menanam tanaman semusim, seperti jagung dan singkong, di lereng. Pasalnya, tanaman jenis itu pasti memerlukan pengolahan tanah. Selain mengurangi daya resap tanah, juga menyebabkan sedimentasi pada sungai. Warga perlu didorong menanam tanaman tahunan.