Wayang Orang Sriwedari, Jejak Tersisa Warisan Kebon Raja
Pertunjukan Wayang Orang Sriwedari telah bertahan lebih dari 100 tahun. Pertunjukan ini menjadi yang tersisa dari jejak kejayaan Taman Sriwedari yang menjadi saksi peradaban Kota Surakarta.
Pentas Wayang Orang Sriwedari di Kota Surakarta, Jawa Tengah, telah bertahan lebih dari 100 tahun. Warisan budaya ini terus memberi hiburan pada masyarakat sekaligus menjaga seni tradisi. Inilah yang tersisa dari jejak kejayaan Taman Sriwedari.
Dua sosok pria berbadan besar muncul di panggung Gedung Wayang Orang Sriwedari, Kota Surakarta, Kamis (18/3/2021) malam. Salah satunya berias wajah warna merah, sedangkan satunya berwajah hitam dengan gigi tajam. Tampilan mereka makin seram dengan rambut panjang hitam kelam.
Keduanya menari dengan gagah. Untuk mengiringi tarian dua tokoh itu, para pengrawit memainkan instrumen gamelan dengan rancak. Meski harus mengenakan masker demi memenuhi protokol kesehatan, para penabuh gamelan tampak bersemangat menampilkan yang terbaik.
Malam itu, Kelompok Wayang Orang Sriwedari mementaskan lakon berjudul ”Puthut Rantemas”. Lakon ini bercerita tentang upaya Prabu Hastimurti yang ingin menguasai Kerajaan Hastina. Namun, usahanya digagalkan Abimanyu yang menyamar sebagai Puthut Rantemas.
Pentas yang berlangsung pukul 20.00-22.00 itu hanya disaksikan sekitar 30 orang di lokasi. Karena digelar di tengah pandemi Covid-19, penonton mesti memenuhi protokol kesehatan, seperti dengan memakai masker dan menjaga jarak satu sama lain.
Baca juga: Nonton Wayang Bisa lewat Google Arts and Culture
Seperti banyak kesenian lain, pentas Wayang Orang Sriwedari juga terkena dampak pandemi Covid-19. Pada awal pandemi, pertunjukan tersebut sempat diliburkan sekitar dua bulan. Pentas baru kembali digelar Juni 2020, tetapi penonton tak boleh hadir di lokasi. Mereka hanya bisa menikmati pertunjukan itu secara daring melalui Youtube.
Mulai Juli 2020, pentas Wayang Orang Sriwedari sudah diperbolehkan dihadiri penonton secara langsung. Namun, jumlah penonton dibatasi maksimal 125 orang. Padahal, pada situasi normal, Gedung Wayang Orang Sriwedari bisa menampung hingga 600 orang. Penonton yang datang mesti membeli tiket seharga Rp 10.000 dan wajib mematuhi protokol kesehatan.
Sebelum memasuki gedung pertunjukan, penonton diminta mencuci tangan dan diukur suhu tubuhnya lebih dulu. Pengelola gedung juga mengatur agar kursi penonton diberi jarak satu meter dengan kursi lainnya. Hal ini agar setiap penonton bisa menjaga jarak satu sama lain. Selain itu, petugas juga selalu mengingatkan penonton agar mengenakan masker selama pertunjukan.
Selama pandemi, pementasan Wayang Orang Sriwedari juga hanya digelar tiga kali dalam sepekan, yakni Kamis, Jumat, dan Sabtu. Padahal, sebelum pandemi Covid-19, pertunjukan tersebut digelar secara rutin pada Senin hingga Sabtu.
Namun, berbagai pembatasan selama pandemi Covid-19 tak menyurutkan semangat para pemain Wayang Orang Sriwedari. Pementasan yang lebih jarang selama pandemi justru dimanfaatkan untuk mempersiapkan pertunjukan lebih matang. Di sisi lain, pentas yang disiarkan secara daring justru menumbuhkan optimisme bahwa Wayang Orang Sriwedari akan dikenal secara lebih luas.
”Pentasnya harus lebih rapi. Soalnya, sekarang juga disiarkan Youtube. Ini malah menumbuhkan optimisme karena kami bisa dikenal lebih luas lagi. Bisa jadi mengundang lebih banyak pengunjung setelah pandemi selesai,” kata salah seorang sutradara Wayang Orang Sriwedari, Benedictus Billy Aldi Kusuma (27).
Sejak 1910
Pentas Wayang Orang Sriwedari merupakan salah satu pertunjukan seni legendaris yang telah bertahan lebih dari satu abad. Berdasarkan catatan sejarah, kelompok Wayang Orang Sriwedari telah didirikan sejak 1910. Oleh karena itu, pada tahun ini, kelompok wayang orang tersebut memasuki usia 111 tahun.
Dalam rentang usia yang panjang itu, kelompok Wayang Orang Sriwedari telah mengalami beragam dinamika. Salah seorang pemain senior Wayang Orang Sriwedari, Agus Prasetyo (47), menyebutkan, masa kejayaan kelompok tersebut terjadi pada tahun 1950-an hingga 1970-an. Kala itu, antrean penonton wayang bisa mengular panjang setiap harinya.
”Tahun 1980-an pamornya mulai merosot. Dari yang semula berjaya lalu ditinggalkan penonton,” ucap Agus yang bergabung dengan kelompok Wayang Orang Sriwedari sejak tahun 1997.
Agus menduga, penyebab merosotnya pamor wayang orang itu salah satunya karena penetrasi budaya populer dari dunia barat yang begitu masif pada masa tersebut. Selain itu, pilihan hiburan masyarakat juga kian beragam. Apalagi, regenerasi pemain wayang orang berlangsung lambat sehingga minat masyarakat perlahan berkurang.
Kemerosotan pentas Wayang Orang Sriwedari berlanjut hingga dekade 2000-an. Menurut Agus, pada masa tersebut, jumlah penonton sangat sedikit. ”Waktu itu, kadang-kadang kami main hanya ditonton satu orang. Bahkan, ada juga yang tidak ada penontonnya sama sekali meski pentas digelar setiap hari,” katanya.
Waktu itu, kadang-kadang kami main hanya ditonton satu orang. Bahkan, ada juga yang tidak ada penontonnya sama sekali meski pentas digelar setiap hari. (Agus Prasetyo)
Saat ditunjuk menjadi Koordinator Wayang Orang Sriwedari pada tahun 2012, Agus mulai melakukan pembenahan untuk menaikkan pamor perunjukan wayang orang. Salah satunya dengan menggelar pentas di luar kota, misalnya di Jakarta dan Surabaya. Selain itu, promosi juga digencarkan, termasuk melalui media sosial, untuk menjangkau penonton berusia muda.
Regenerasi pemain wayang orang juga dilakukan. Setelah berdialog dengan Pemerintah Kota Surakarta pada 2014, upaya regenerasi mulai terwujud. Pada 2015 dan 2017, dilakukan perekrutan tenaga kontrak dengan perjanjian kerja (TKPK) untuk menjadi pemain Wayang Orang Sriwedari.
Lewat perekrutan itu, diperoleh banyak pemain wayang orang yang masih berusia muda. Para pemain usia muda itu juga memiliki kemampuan mumpuni karena merupakan lulusan ISI Surakarta. Sejak saat itu, perlahan pentas Wayang Orang Sriwedari kembali diminati masyarakat.
”Perkembangannya terus bagus sampai sekarang karena kembali diapresiasi masyarakat. Yang terpenting, anak-anak muda mulai banyak yang menonton. Ini yang membuat saya optimistis wayang orang akan terus eksis,” kata Agus.
Minat anak-anak muda menonton pentas Wayang Orang Sriwedari antara lain terlihat saat pentas dengan lakon ”Puthut Rantemas” pada Kamis malam lalu. Saat itu, dari sekitar 30 orang yang hadir, lebih dari separuhnya berusia 20-30 tahun. Hanya ada segelintir penonton lanjut usia.
Salah seorang penonton muda itu adalah Arya Sena (21). Warga Kota Surakarta itu mengaku pertama kali menonton Wayang Orang Sriwedari pada usia 8 tahun. Sejak itu, Arya sudah berkali-kali menyaksikan pertunjukan tersebut. ”Enggak bisa dihitung lagi sudah berapa kali nonton. Ke depan, saya juga akan nonton terus kalau ada waktu,” kata Arya.
Baca juga: Sriwedari
Penonton lain yang juga datang malam itu adalah Heri Subrata (54), warga Cirebon, Jawa Barat. Heri sengaja menyempatkan diri datang menonton pentas Wayang Orang Sriwedari di tengah urusan pekerjaannya di sekitar Kota Surakarta. Kebetulan pentas itu digelar bertepatan dengan hari ulang tahunnya.
Heri mengaku penggemar setia Wayang Orang Sriwedari. Oleh karena itu, dia telah berkali-kali juga menonton pentas tersebut. ”Seingat saya, pertama kali nonton waktu masih SD. Itu tahun 1970-an. Penonton waktu itu ramai sekali sampai berjubel-jubel,” tuturnya.
Koordinator Wayang Orang Sriwedari, Heri Karyanto, mengatakan, saat ini antusiasme masyarakat menonton pentas Wayang Orang Sriwedari cukup baik. Beberapa tahun terakhir, gedung pertunjukan kerap disesaki penonton. Bahkan, saat pentas libur pada masa pandemi, banyak penonton menanyakan kapan pertunjukan digelar lagi.
”Begitu kami bisa menggelar pentas lagi, kuota tiket yang tersedia sering habis, khususnya pas pentas hari Sabtu. Menariknya, banyak juga penonton anak muda,” kata Heri.
Seni istana
Menurut buku Wayang Wong Sriwedari: Dari Seni Istana Menjadi Seni Komersial (1999) karya Hersapandi, sejarah berkembangnya wayang orang di Sriwedari tak bisa dilepaskan dari munculnya kesenian wayang orang di Kadipaten Mangkunegaran. Seperti diketahui, Kadipaten Mangkunegaran merupakan kerajaan otonom di wilayah Surakarta yang terbentuk berdasarkan Perjanjian Salatiga pada 1757.
Kesenian wayang orang di Mangkunegaran mulai berkembang sejak kepemimpinan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I yang memerintah tahun 1757-1795. Pada masa kepemimpinan berikutnya, pertunjukan wayang orang juga terus dilestarikan dan mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Mangkunegara V (1881-1896).
Baca juga: Pegiat Seni Gelar Keprihatinan Sriwedari Solo
Meski begitu, pada mulanya, wayang orang merupakan pertunjukan yang hanya dipentaskan di dalam tembok istana. Kondisi itu baru berubah pada 1895 atau masa akhir pemerintahan Mangkunegara V. Pada 1895, seorang pengusaha China bernama Gan Kam mendirikan grup wayang orang yang menggelar pentas di luar tembok istana.
Berbeda dengan pentas di lingkungan istana, pentas wayang orang yang digelar di luar istana itu bersifat komersial. Orang-orang yang ingin menonton pertunjukan harus membayar. Fenomena itu menunjukkan, pertunjukan wayang orang mulai beralih dari seni istana menjadi seni komersial.
Pada masa kepemimpinan Mangkunegara VI (1896-1916), aktivitas kesenian di Kadipaten Mangkunegaran mengalami kemunduran sebagai dampak dari kesulitan ekonomi. Akibat kesulitan ekonomi itu, pemerintahan Mangkunegara VI mengambil kebijakan untuk membatasi pertunjukan kesenian dan memberhentikan sebagian besar abdi dalem pemain wayang orang.
Para bekas abdi dalem itu kemudian mendirikan kelompok wayang orang di luar Istana Mangkunegaran atau bergabung ke dalam kelompok wayang orang yang sudah ada sebelumnya. Kondisi itu membuat pentas wayang orang sebagai pertunjukan komersial terus berkembang.
Pertunjukan wayang orang kemudian juga dipentaskan di Taman Sriwedari yang didirikan Raja Keraton Surakarta, Paku Buwono X, pada 1901. Mulanya, pentas wayang orang di Sriwedari dilakukan kelompok wayang orang yang berbeda-beda. Namun, pada tahun 1910, Paku Buwono X memerintahkan pendirian kelompok wayang orang untuk menggelar pentas rutin di Sriwedari. Kelompok itu kemudian diberi nama Wayang Orang Sriwedari.
Baca juga: Kembalikan Fungsi Taman Sriwedari
Kebon Raja
Wayang Orang Sriwedari telah menjadi ikon kesenian Surakarta yang legendaris dan mampu bertahan di berbagai zaman. Eksistensi kelompok wayang orang itu juga tak bisa dilepaskan dari keberadaan Taman Sriwedari yang pernah menjadi pusat hiburan bagi masyarakat Surakarta dan sekitarnya.
Pada masa awal pendiriannya, Taman Sriwedari dikenal dengan nama Kebon Raja karena merupakan kebon atau kebun yang didirikan oleh Raja Paku Buwono X. Taman yang berlokasi di pinggir Jalan Slamet Riyadi di pusat Kota Surakarta itu dulunya dilengkapi koleksi aneka satwa dan tanaman. Taman itu juga menyajikan berbagai jenis hiburan untuk masyarakat pada masa tersebut, misalnya pertunjukan wayang orang dan pemutaran film, serta dilengkapi dengan rumah makan.
Di dekat Taman Sriwedari juga dibangun Museum Radya Pustaka untuk menyimpan naskah kuno dan berbagai benda peninggalan bersejarah. Selain itu, di dekat Sriwedari dibangun pula stadion olahraga yang diberi nama Stadion Sriwedari. Stadion itu menjadi lokasi penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) pertama pada 1948.
Pada masa berikutnya, Stadion Sriwedari juga beberapa kali dipakai sebagai lokasi konser musik. Salah satu yang fenomenal adalah konser gitaris papan atas dunia asal Swedia, Yngwie Malmsteen, pada 4 Juli 1990.
Sejarawan Solo, Heri Priyatmoko, mengatakan, pada masa lalu, Taman Sriwedari menjadi pusat hiburan yang komplet bagi masyarakat Surakarta dan sekitarnya. Yang menarik, pada masa kolonial, Taman Sriwedari tidak hanya menjadi pusat hiburan bagi masyarakat Jawa saja, tetapi juga dikunjungi oleh warga dari berbagai etnis.
Mengacu pada naskah Babad Taman Sriwedari (1926) karya Yasaharjana, orang China, Arab, dan Belanda juga turut datang ke Taman Sriwedari. ”Jadi, Taman Sriwedari pada masa itu menjadi ruang yang meleburkan sekat-sekat sosial,” ujar Heri yang merupakan dosen sejarah Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Heri menambahkan, pada masa lampau, Taman Sriwedari juga terkenal hingga ke kalangan turis dari luar negeri. Menurut pemberitaan surat kabar Darmo Kondo edisi 29 Januari 1935, ada rombongan turis dari luar negeri yang datang ke Taman Sriwedari untuk merekam pertunjukan wayang orang di tempat tersebut.
Berikutnya, di kompleks Taman Sriwedari juga berdiri taman hiburan rakyat (THR) yang menyajikan aneka wahana permainan untuk masyarakat. THR Sriwedari yang mulai beroperasi tahun 1985 juga menjadi tempat pentas aneka jenis musik, dari dangdut, campursari, slow rock, hingga lagu-lagu lawas atau tembang kenangan.
Sejumlah artis dangdut papan atas nasional, misalnya Evie Tamala, Ikke Nurjanah, Inul Daratista, dan Via Vallen, pernah pentas di THR Sriwedari. Namun, pada akhir 2017, THR Sriwedari berhenti beroperasi karena Pemkot Surakarta tak memperpanjang sewa lahan untuk THR.
Di lahan bekas THR itu, Pemkot Surakarta membangun masjid yang hingga sekarang proses pembangunannya belum selesai. Keputusan membangun masjid itu sempat menimbulkan polemik karena dinilai tidak sesuai dengan visi Paku Buwono X saat pertama kali membangun Taman Sriwedari.
Kondisi Taman Sriwedari saat ini sangat memprihatinkan. Bahkan, dia mengibaratkan kondisi Sriwedari saat ini seperti gubuk yang telah reyot dan terabaikan. (Heri Priyatmoko)
Di sisi lain, dari waktu ke waktu, pamor Taman Sriwedari juga terus menurun. Apalagi, selama bertahun-tahun, lahan Taman Sriwedari juga menjadi sengketa antara Pemkot Surakarta dan ahli waris RMT Wirjodiningrat.
Heri menilai, kondisi Taman Sriwedari saat ini sangat memprihatinkan. Bahkan, dia mengibaratkan kondisi Sriwedari saat ini seperti gubuk yang telah reyot dan terabaikan. ”Taman Sriwedari sekarang itu seperti gubuk derita di tengah kota. Hanya tinggal kisah masa lalu yang usang,” ungkap sejarawan yang intens meneliti sejarah Surakarta itu.
Di tengah situasi itu, pentas Wayang Orang Sriwedari terus bertahan melintasi zaman patut diapresiasi. Pertunjukan wayang orang itu menjadi satu dari sedikit warisan dari era kejayaan Taman Sriwedari yang masih tersisa.