Kesenian tradisional di Surakarta ikut dilestarikan oleh orang-orang biasa yang tak melabeli diri sebagai seniman. Ibu-ibu belajar menari di sanggar, sementara anak-anak muda di kampung tekun bermain gamelan.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·5 menit baca
Sejak sebelum pandemi, saat sebagian orang mengisi sore dengan ngopi-ngopi cantik di kafe, sejumlah ibu dan muda-mudi di Surakarta berjibaku menekuni tradisi. Bukan seniman atau artis, para awam ini berkesenian demi keceriaan batin.
Tiga penari perempuan masuk ke panggung membawa bokor berisi bunga. Begitu sampai di tengah pentas, mereka memutar tubuh dan melakukan gerakan tolehan kepala, sambil mengikuti alunan musik Bali. Senyum terus menyungging dari wajah-wajah setengah tegang.
Sebanyak 14 penari perempuan, Senin (15/3/2021) malam, menampilkan Tari Pendet dari Bali. Mereka tampil bergantian dalam lima kelompok berbeda. Meski tampil dengan kostum dan riasan lengkap, mereka bukan penari profesional. Mereka adalah ibu-ibu yang belajar menari karena hobi dan kesenangan. Setiap satu hari dalam sepekan, mereka berlatih tari di Sanggar Semarak Candrakirana, Kelurahan Kerten, Kecamatan Laweyan, Surakarta, Jawa Tengah.
”Kami ini bukan penari, melainkan ingin menari saja. Jadi, gerakannya ya begitulah. Yang penting percaya diri,” tutur Patricia Yunita Trisnawati (43), yang sehari-hari bekerja sebagai fasilitator salah satu program pemerintah.
Yunita berkisah, aktivitas ibu-ibu belajar menari di sanggar itu dimulai pada 2019. Awalnya, mereka sebatas mengantar anak-anak belajar menari di sanggar tersebut. Namun, setelah melihat anak-anaknya latihan, lama-kelamaan mereka pun tertarik.
Kami ini bukan penari, melainkan ingin menari saja. Jadi, gerakannya ya begitulah. Yang penting percaya diri. (Patricia Yunita Trisnawati)
Awalnya, kelompok latihan menari itu hanya diikuti enam ibu. Seiring waktu, jumlahnya bertambah menjadi sekitar 20 orang dengan rentang usia 29-60 tahun. Sebagian adalah ibu rumah tangga, tetapi ada juga wanita pekerja.
Sejak 2019, para ibu itu sudah mempelajari empat tari tradisional, yakni Tari Lancang Kuning, Tari Rara Ngigel, Tari Gambyong, dan Tari Pendet. Untuk mempelajari setiap tarian, butuh waktu beberapa bulan. Setelah tuntas belajar satu tarian, para ibu kemudian menggelar pentas swadaya untuk mempertontonkan hasil belajar mereka.
Diah Citaresmi (47), yang juga ikut latihan tari di Sanggar Semarak Candrakirana, mengatakan, sejak kecil sampai remaja, ia terbilang aktif ikut latihan menari di sanggar dan sekolah. Namun, setelah menikah, aktivitas menarinya terhenti. Keinginan kembali menari timbul saat kerap mengantar anaknya latihan di Sanggar Semarak Candrakirana.
”Sekarang, anak saya justru sudah enggak ikut latihan tari karena ada kesibukan lain. Namun, saya yang masih terus latihan,” ujar Diah yang merupakan ibu rumah tangga.
Menurut Diah, latihan menari memberi banyak manfaat. Selain sarana olah tubuh, aktivitas menari juga melatih fokus karena harus menghafal banyak gerakan. ”Secara pribadi, saya juga punya keinginan ikut melestarikan budaya Nusantara,” tuturnya.
Pelatih tari di Sanggar Semarak Candrakirana, Indah Sri Laksito Ningrum (42), menuturkan, karena keterbatasan fisik seiring bertambahnya usia, proses latihan tari bagi para ibu disesuaikan dengan kondisi tubuh mereka. Apabila ada peserta yang tak bisa melakukan gerakan tertentu, tak akan dipaksa. Ini berbeda dengan latihan tari bagi anak-anak yang lebih keras.
”Kebanyakan mama yang ikut latihan tari ini kan usianya 40 tahun ke atas sehingga tidak ada paksaan. Dalam latihan, saya akan menunjukkan gerakan asli dari suatu tarian itu seperti apa. Namun, kalau mereka tidak bisa, gerakannya dipermudah,” ujar Indah.
Apabila ada peserta yang tak bisa melakukan gerakan tertentu, tak akan dipaksa. Ini berbeda dengan latihan tari bagi anak-anak yang lebih keras. (Indah Sri Laksito Ningrum)
Karawitan
Terpaut sekitar 7 kilometer di sebelah tenggara Sanggar Semarak Candrakirana, sejumlah muda-mudi juga menjadikan seni tradisi sebagai hobi di Kampung Kusumodilagan, Kelurahan Joyosuran, Kecamatan Pasar Kliwon. Anak-anak muda yang tergabung dalam kelompok Kusuma Laras Muda itu rutin berlatih karawitan, bahkan sudah pentas di berbagai acara.
Pelatih karawitan di kelompok Kusuma Laras Muda, Joko Daryanto (46), mengatakan, aktivitas kelompok itu dimulai sekitar 2010. Latihan karawitan berawal dari keinginan para muda setempat mengisi waktu luang. Mereka pun memanfaatkan seperangkat alat gamelan yang sebelumnya hanya dipakai para bapak.
”Awalnya yang berlatih karawitan itu bapak-bapak, lalu anak-anak muda ingin berlatih juga. Tapi yang eksis sampai sekarang akhirnya yang kelompok anak muda ini,” ujar Joko yang juga dosen Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Menurut Joko, Kusuma Laras Muda kini berangggotakan sekitar 30 orang berusia 20-25 tahun. Sebagian besar lulusan SMA dan kini telah bekerja, mulai dari pegawai, pekerja, hingga pedagang.
Untuk menarik minat anak-anak muda, Joko mengajak mereka memainkan gending dengan pendekatan aransemen lebih rancak. Sebab, mereka kurang suka memainkan gending Jawa bertempo lambat. ”Akhirnya, Kusuma Laras Muda dikenal sebagai kelompok karawitan anak muda. Bisa dibilang heavy metal-nya karawitan,” kata Joko.
Salah seorang anggota Kusuma Laras Muda, Taufik Wahyu Suryana (23), mengaku mulai berlatih karawitan sejak 2017. Awalnya, Taufik, yang bekerja sebagai petugas perlindungan masyarakat di kantor Kelurahan Joyosuran, sering melihat latihan gamelan di tempat itu. ”Karena sering lihat, saya akhirnya diajak latihan gamelan,” katanya.
Taufik menyebut, pada 2017, dirinya pertama kali ikut pentas karawitan dalam International Gamelan Festival di Surakarta. ”Waktu pertama kali pentas, grogi banget rasanya. Sempat salah-salah,” kenang Taufik.
Tak patah arang, dia justru kian getol berlatih karawitan bersama Kusuma Laras Muda hingga kemudian kembali tampil di sejumlah acara lain, misalnya Solo Gamelan Festival 2019 di Benteng Vastenburg dan Klenengan Selasa Legen tahun 2019 di Balai Soedjatmoko.
Anak-anak muda itu, kata Joko, bermain gamelan sebagai hobi, bukan mencari uang. Meski begitu, mereka terkadang mendapat sedikit honor saat diundang pentas. ”Justru mereka kaget kalau dapat uang, karena tujuan mereka hanya belajar karawitan,” tuturnya.
Ketua Soeracarta Heritage Society Yunanto Sutyastomo mengatakan, ada beberapa faktor yang mendorong maraknya kegiatan seni tradisional di Surakarta. Salah satunya keberadaan dua kerajaan tradisional di wilayah itu, yakni Keraton Surakarta dan Pura Mangkunegaran. Keberadaan Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta dan Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) kian menyemarakkan denyut seni di kota itu.
Dari sisi historis, perkembangan kesenian di Surakarta juga tak terlepas dari peran tokoh kesenian Gendhon Humardani yang pernah memimpin Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Surakarta serta proyek Pengembangan Kesenian Jawa Tengah (PKJT) pada 1970-an. Kelak, ASKI berubah menjadi ISI Surakarta dan Gendhon juga merintis pendirian TBJT.
Sejumlah warga Surakarta membuktikan denyut modernitas tak sepenuhnya mengikis kecintaan pada budaya lokal. Berawal dari hobi, semangat mereka telah ikut mengayuh biduk peradaban tradisi.