Pada 22 Maret 2021 tepat satu tahun Covid-19 ditemukan di Maluku. Ironisnya, banyak orang di Maluku tidak lagi peduli akan bahaya Covid-19. Mereka hanya mengenakan masker ketika ada razia petugas.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
Setahun pandemi Covid-19 seharusnya mampu menghadirkan pembelajaran dan adaptasi baru di masyarakat. Namun, sayangnya, sebagian warga di Maluku belum bisa cepat beradaptasi dengan kehidupan normal baru yang menuntut disiplin penerapan protokol kesehatan. Ketentuan protokol kesehatan masih dipandang sebelah mata karena mereka lebih takut petugas ketimbang Covid-19.
Ongen (20) mengendarai sepeda motor dengan masker yang terpasang hanya sebatas menutupi dagunya. Saat hendak berbelok arah menuju Jalan Pattimura, Kota Ambon, Maluku, Rabu (3/3/2021), dengan cepat ia menarik masker menutupi mulut dan hidungnya. Dari kejauhan tampak tim Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Kota Ambon menggelar operasi yustisi di jalan itu.
Ia melewati barisan petugas yang berdiri berjejer sepanjang lebih kurang 40 meter. Mereka memperhatikan dengan detail setiap pengendara dan penumpang. Ongen tak terjaring razia. Namun, lewat beberapa meter dari pantauan petugas, ia menarik kembali masker ke posisi sebelumnya, turun menutupi dagu saja.
”Napas sesak kalau pakai masker terus,” ujar Ongen yang sehari-hari bekerja sebagai tukang ojek.
Ongen mengaku sebagian besar penumpang yang diangkut tidak terlalu mempersoalkan cara ia menggunakan masker yang tidak sempurna sehingga berpotensi menularkan virus Covid-19 itu. Kebanyakan penumpang adalah pedagang di pasar dan buruh serabutan. Namun, pernah ada calon penumpang yang menolak tawaran ojek darinya lantaran melihatnya tidak mengenakan masker.
Ongen beroperasi mencari penumpang di sekitar Jalan Pantai Mardika. Ia pernah sekali terjaring operasi yustisi di Jalan Rijali, akhir Desember 2020. Ketika itu, ia sama sekali tak mengenakan masker karena disimpan dalam saku celana. Oleh petugas, dia dikenai sanksi push up sebanyak 10 kali, lalu dibiarkan pergi.
Tak hanya Ongen, pelanggaran protokol kesehatan paling banyak ditemui di Pasar Mardika, Ambon. Hampir semua pedagang tidak lagi mengenakan masker dan menjaga jarak aman. Mereka duduk berjejer di sisi jalan hingga ke tengah pasar. Ini seperti situasi normal biasa, sebelum pandemi Covid-19 mulai ditemukan di Maluku pada 22 Maret 2020.
Mereka baru mengenakan masker apabila ada petugas yang datang memberi imbauan lewat pengeras suara. Setelah petugas pergi, masker dimasukkan lagi ke dalam saku atau disimpan di bawah tumpukan barang dagangan.
”Kami datang imbau ulang-ulang, tetapi hasilnya sama saja. Mereka pakai saat ada petugas saja,” ujar Sipahelut, seorang anggota Satpol PP Kota Ambon, yang tampak putus asa.
Di beberapa kampung yang didatangi, tidak ada lagi tempat cuci tangan yang disediakan di depan lorong. Pos penanganan Covid-19 juga sudah ditanggalkan. Warga sudah berkumpul seperti biasa tanpa rasa takut sedikit pun. Padahal, pada awal Covid-19 merebak, di setiap pintu masuk kampung dipasang portal untuk pemeriksaan suhu warga maupun tamu.
Kami datang imbau ulang-ulang, tetapi hasilnya sama saja. Mereka pakai saat ada petugas saja. (Sipahelut)
Ternyata, pelaku pelanggaran protokol kesehatan tak hanya kalangan menengah ke bawah. Kalangan ekonomi menengah ke atas juga tidak lagi peduli dengan protokol kesehatan. Saat menumpang kendaraan di jalanan, mereka mengenakan masker. Namun, saat tiba di rumah kopi, mereka melepas masker lalu duduk berdekatan, bercerita sambil tertawa lepas.
Di kebanyakan rumah kopi di Ambon, disediakan tempat mencuci tangan, jumlah tempat duduk dikurangi, dan ada imbauan menjaga jarak. Namun, tetap saja para pengunjung, terutama kalangan menengah ke atas itu, mengabaikan. Pengelola rumah kopi juga tidak bisa berbuat banyak menghadapi perilaku para pelanggannya tersebut.
Untuk Kota Ambon, sejauh pantauan Kompas, pelanggaran protokol kesehatan terjadi hampir di semua tempat. Namun, beberapa rumah ibadah menerapkan protokol secara ketat. Salah satunya terpantau di Gereja Katedral Santo Fransiskus Xaverius. Seluruh jemaat yang datang wajib mencuci tangan dan menjaga jarak. Kondisi serupa juga berlaku di Masjid Raya Al Fatah dan Gereja Kristen Protestan Maluku Maranatha.
Survei Covid-19
Perilaku warga yang tidak lagi menerapkan protokol kesehatan tecermin dari survei yang pernah dilakukan Badan Pusat Statistik bekerja sama dengan Satuan Tugas Penanganan Covid-19. Hasilnya, 29,18 persen masyarakat Maluku menyatakan bahwa mereka tidak percaya akan bahaya Covid-19. Angka tersebut merupakan yang tertinggi di Maluku.
Sementara di sisi lain, kasus Covid-19 di Maluku terus meningkat. Menurut data Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Provinsi Maluku, sejak pertama kali diumumkan pada Minggu 22 Maret 2020 petang hingga Senin 8 Maret 2021, jumlah warga Maluku yang terinfeksi sebanyak 7.133 orang. Korban yang meninggal pun bertambah menjadi 106 orang.
Kota Ambon menjadi daerah dengan tingkat penyebaran tertinggi di Maluku. Covid-19 telah mencapai sejumlah pulau di semua kabupaten/kota yang berjumlah 11 daerah. Pemerintah daerah dibantu para pemangku kepentingan lainnya pun kewalahan mengatasi lonjakan kasus di daerah kepulauan yang minim fasilitas kesehatan.
Kedatangan vaksin Covid-19 yang diikuti dengan vaksinasi perdana pada 15 Januari 2021 semacam angin segar. Sayangnya, vaksinasi yang diprioritaskan untuk tenaga kesehatan itu berjalan lambat. Kondisi geografis menjadi hambatan. Vaksin harus dibawa ke pulau-pulau di tengah angin kencang dan gelombang tinggi.
Hingga Senin, baru 51,73 persen dari target 15.108 tenaga kesehatan yang tuntas divaksinasi. Tuntas berarti sudah menerima dua kali suntikan vaksinasi. Sementara untuk tahap kedua masih fokus untuk warga lanjut usia. Lantaran terbatasnya jumlah vaksin, vaksinasi baru diberikan untuk penduduk lansia di Kota Ambon.
Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Provinsi Maluku Adonia Rerung mengatakan, perilaku masyarakat yang tidak patuh lagi pada protokol Covid-19 membuat kasus akan terus bertambah. Laju penambahan kasus tidak dapat diimbangi dengan laju vaksinasi yang tersendat. Akibatnya, Covid-19 semakin tidak terkendali.
”Kalau perilaku model seperti ini, jangan harap daerah kita dengan cepat kembali ke masa normal. Pemerintah pun kewalahan. Sekarang pilihannya ada dua. Pertama, disiplin supaya masalah ini segera tuntas. Kedua, kalau tidak disiplin, berarti daerah lain sudah mulai normal dan kita masih begini terus,” katanya.
Diperlukan penyadaran kembali kepada masyarakat dengan melibatkan para tokoh. Penyadaran dilakukan secara masif bahwa Covid-19 masih ada dalam keseharian dan mengancam keselamatan manusia. Petugas tidak untuk ditakuti, tetapi takutlah akan bahaya Covid-19 yang mengancam nyawa.