Aksi Represif Polisi di Kendari Tidak Terhenti, Jurnalis Ikut Dipukuli
Bentrokan saat demonstrasi di Balai Latihan Kerja, Kendari, tak terhindarkan. Aparat kepolisian menghalau dan memukuli peserta aksi. Bahkan, seorang jurnalis yang meliput aksi itu turut menjadi korban.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Demonstrasi di Balai Latihan Kerja Kendari, Sulawesi Tenggara, berujung ricuh antara aparat kepolisian dan peserta aksi. Selain tujuh peserta yang mengalami penganiayaan, seorang wartawan juga ikut dipukuli polisi. Aparat dituntut untuk tidak abai terhadap tabiat tindakan di luar hukum, terlebih sederet kasus yang bahkan berujung kematian belum juga tuntas.
Aksi di Balai Latihan Kerja (BLK) Kendari berlangsung Kamis (18/3/2021) pagi. Sekitar 30 orang dari Forum Pemerhati Keadilan Sulawesi Tenggara menggelar aksi dengan sejumlah tuntutan terkait permasalahan di instansi tersebut. Puluhan aparat Polres Kendari mengamankan aksi di kantor yang berhadapan dengan Polres Kendari tersebut.
Akan tetapi, bentrok tidak terhindarkan. Aparat kepolisian menghalau dan memukuli peserta aksi, bahkan juga seorang jurnalis yang meliput aksi tersebut.
Rudinan (31), jurnalis dari Berita Kota Kendari, menyampaikan, sejak aksi dimulai, ia berada di lokasi untuk melakukan peliputan. Saat aksi memanas, ia berada di luar area kantor BLK dan memantau situasi.
Sejumlah perwakilan demonstran lalu diterima oleh pihak BLK di dalam area kantor. ”Saya lalu ingin masuk ke dalam untuk mendengarkan pertemuan itu. Pas sampai di pagar, saya dihalangi 7-10 aparat kepolisian. Saya tunjukkan kartu pers, masih dihalangi, didorong, juga bahkan ada yang memukul kepala bagian belakang,” ucap Rudi, panggilannya.
Setelah kejadian itu, Rudi mengaku kaget dengan tindakan aparat yang represif dan bertindak di luar hukum. Terlebih lagi, ia berada di lokasi untuk menjalankan kerja jurnalistik yang dilindungi aturan.
Seharusnya, tambah Rudi, aparat bertugas mengawal dan mengayomi masyarakat. Akan tetapi, tindakan represif terus terjadi, seperti yang ia alami kali ini. Ia akan berkoordinasi dengan kantor tempatnya bekerja terkait hal ini.
Aldo Zafar, koordinator aksi, menuturkan, pihaknya sejak awal telah menegaskan bahwa aksi yang dilakukan merupakan aksi damai. Aksi tersebut juga berusaha untuk mendengarkan jawaban dari pihak BLK Kendari terkait sejumlah permasalahan yang terjadi.
”Kami perwakilan sudah masuk ke dalam untuk bertemu Kepala BLK Kendari La Ode Polondu. Teman-teman yang sekitar 30 orang juga ingin berteduh di area kantor. Pas mau masuk dihalangi, dan ternyata teman kami di belakang dipukuli,” ucapnya.
Sebanyak tujuh peserta aksi, tambah Aldo, mengalami pemukulan dan penganiayaan. Dua orang di antaranya terkapar dan mengalami luka cukup berat akibat dipukuli hingga ditendang oleh aparat kepolisian. Pihaknya akan menindaklanjuti kasus ini, sembari fokus ke tuntutan utama di BLK Kendari.
”Tindakan aparat sudah sangat sewenang-wenang meski kami melakukan aksi damai,” ujarnya.
Kepala Polres Kendari Ajun Komisaris Besar Didik Efriyanto mengatakan, pihaknya meminta maaf atas ulah sejumlah oknum yang melakukan pemukulan atau penganiayaan. Setelah aksi tersebut, pihak internal melakukan proses penelusuran dan segera melakukan tindakan tegas.
Menurut Didik, pengamanan dalam aksi dilakukan sesuai protokol yang berlaku. ”Namun, terjadi miskomunikasi sampai terjadi gesekan. Saya pribadi memohon maaf atas kejadian yang terjadi. Pelaku akan segera ditindak dan diproses sesuai aturan yang berlaku,” kata Didik.
Sementara itu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kendari mengecam aksi brutal oknum polisi dalam pengamanan aksi, khususnya penganiayaan terhadap salah seorang jurnalis. Tindakan tersebut tidak bisa dibenarkan karena polisi merupakan pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat.
La Ode Kasman Ongkosono, Koordinator Divisi Advokasi, menyampaikan, penghalang-halangan dan kekerasan yang dilakukan aparat keamanan ini adalah tindak pidana sekaligus mengancam kebebasan pers. Saat menjalankan tugas, jurnalis dilindungi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
”Menghalangi tugas jurnalis saja sudah pidana, apalagi sampai ada kekerasan fisik. Tindakan represif aparat kepolisian terhadap jurnalis terus berulang. Maka dari itu, kami meminta agar para oknum polisi yang terlibat mendapat sanksi tegas, jangan terkesan dilindungi,” ucap Kasman.
Menghalangi tugas jurnalis saja sudah pidana, apalagi sampai ada kekerasan fisik.
Berdasarkan catatan AJI Indonesia, kasus kekerasan terhadap jurnalis hingga 2019 masih banyak didominasi oleh kasus kekerasan fisik, yaitu 20 kasus. Jumlah kekerasan fisik ini lebih banyak dibandingkan tahun 2018 yang tercatat 12 kasus dan 30 kasus pada 2017. Jenis kasus kekerasan terbanyak kedua adalah perusakan alat atau data hasil liputan, yaitu 14 kasus. Kasus terbanyak ketiga berupa ancaman kekerasan atau teror (6 kasus).
Direktur LBH Kendari Anselmus Masiku menjabarkan, tindakan kekerasan aparat kepolisian yang terus berulang menunjukkan adanya tabiat yang tidak berubah. Sebab, sejumlah kasus kekerasan, terutama dalam aksi, terus terjadi, baik kepada peserta aksi maupun jurnalis.
Padahal, Anselmus melanjutkan, kasus kekerasan fatal di Kendari belum juga hilang dengan meninggalnya dua mahasiswa Universitas Halu Oleo pada 2019, yaitu Randi dan Yusuf. Kasus ini bahkan belum tuntas dengan belum adanya tersangka untuk Yusuf.
”Kalau saya lihat, ini memang sudah jadi tabiat karena berkali-kali terjadi dan tidak ada perubahan. Seharusnya polisi introspeksi kenapa citranya di masyarakat sulit mendapat tempat karena tabiat anggotanya seperti ini,” ujarnya.