Banjir terkait luapan Bengawan Jero di enam kecamatan di Lamongan, Jawa Timur, perlu penanganan yang bukan sekadar cepat dan tepat, melainkan juga komprehensif sebab merupakan bencana berulang.
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Bupati Lamongan, Jawa Timur, Yuhronur Efendi menempatkan penanganan banjir luapan Bengawan Jero di enam kecamatan sebagai program prioritas dan percepatan.
Demikian diutarakan Yuhronur dalam keterangan tertulis seusai audiensi dengan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa di Surabaya, Selasa (16/3/2021).
Menurut Yuhronur, yang juga mantan Sekretaris Kabupaten Lamongan, penanganan banjir menjadi prioritas kegiatan terdekat. Pemerintah telah berusaha menangani banjir di sejumlah lokasi yang sudah tergenang selama dua bulan.
Menanggapi hal itu, Khofifah mengatakan, penanganan banjir di Lamongan akan dibahas secara khusus dengan melibatkan lintas instansi dan antardaerah, yakni Tuban, Bojonegoro, Jombang, Mojokerto, dan Gresik.
”Permasalahan tanggul, saluran irigasi, dan jalan terlepas itu kewenangan kabupaten, provinsi, atau nasional karena banjir berimbas pada perekonomian,” ujar Khofifah.
Berdasarkan catatan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Lamongan, luapan Bengawan Jero membanjiri 49 desa di enam kecamatan, yakni Deket, Glagah, Kalitengah, Karangbinangun, Karanggeneng, dan Turi. Ketinggian banjir hingga 80 sentimeter, menerjang hampir 6.000 rumah dan berdampak terhadap hampir 27.500 warga.
Bencana harus dipandang sebagai akibat tindakan manusia, jangan lagi menyalahkan fenomena alam. (Amien Widodo)
Menurut informasi dari BPBD, banjir dari luapan Bengawan Jero, anak Bengawan Solo, sudah berlangsung sejak akhir 2020. Pada awal Februari lalu, banjir sempat surut kira-kira dua pekan. Namun, sejak pertengahan Februari, banjir kembali datang karena Bengawan Jero meluap. Dalam dua bulan ini, banjir belum surut.
Pemerintah Kabupaten Lamongan mencatat kerugian material akibat banjir lebih dari Rp 25 miliar, dilihat dari 7.600 hektar tambak yang gagal panen. Banjir yang belum surut juga menyulitkan tim pemerintah untuk menyalurkan bantuan berupa bahan makanan, obat-obatan, dan pakaian. Warga untuk sementara bertahan di rumah atau di tenda pengungsian.
Kepala Bagian Protokol dan Komunikasi Pimpinan Lamongan Arif Bachtiar yang dihubungi secara terpisah mengatakan, penanganan banjir telah ditempuh dengan mengaktifkan semua pompa air. Namun, banjir tidak bisa dipompa ke Bengawan Solo karena ketinggian air di sungai terpanjang di Pulau Jawa itu juga tinggi. Daya tampung di seluruh embung, rawa, dan saluran juga sudah penuh.
Sebelumnya, Amien Widodo, peneliti senior Pusat Penelitian Mitigasi, Kebencanaan, dan Perubahan Iklim Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, mengingatkan, meluapnya Bengawan Jero bukan karena hujan meski intensitasnya tinggi dan durasinya lama. Pemerintah dan masyarakat harus mengubah paradigma bahwa bencana itu kesalahan alam.
Amien menyarankan, aparatur melihat kemampuan sungai, waduk, embung, rawa, dan jaringan saluran dalam menampung air telah lemah. Situasi itu jadi salah satu masalah besar yang memicu banjir. Penurunan kemampuan itu akibat terlalu lama tidak dikeruk, kurang pemeliharaan, serta pembiaran terhadap perusakan, penyerobotan, dan alih fungsi untuk aktivitas masyarakat dan usaha.
”Bencana harus dipandang sebagai akibat tindakan manusia, jangan lagi menyalahkan fenomena alam,” kata Amien. Bencana perlu dilihat secara komprehensif. Jika harus hidup berdampingan dengan bencana, aparatur dan masyarakat perlu memahami bagaimana menemukan dan mewujudkan solusi, misalnya penataan ulang permukiman, pembangunan dan penyempurnaan jaringan saluran, serta memastikan sarana penunjang, seperti pompa air, terpelihara dan bisa beroperasi maksimal.