Asal-usul Satwa Lindung dari Rumah Gubernur Aceh Belum Jelas
Meskipun sudah diserahkan ke BKSDA Aceh, delapan burung dilindungi yang sebelumnya dipelihara di rumah dinas Gubernur Aceh hingga kini belum diketahui asal-usulnya.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Penyerahan delapan individu burung elang berstatus satwa lindung yang terdapat di rumah dinas Gubernur Aceh kepada Balai Konservasi Sumber Daya Alam menjadi momentum kampanye perlindungan satwa. Namun, hingga saat ini asal-usul satwa lindung itu berada di rumah dinas belum jelas dan perlu dibuka ke publik.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh Agus Arianto, Selasa (16/3/2021), mengatakan, penyerahan satwa lindung dari rumah dinas Gubernur Aceh harus dilihat sebagai contoh yang baik. Menurut Agus, Gubernur Aceh memiliki itikad baik dengan menghubungi dirinya untuk menyerahkan delapan individu elang.
Penyerahan satwa lindung dari rumah dinas Gubernur Aceh dilakukan pada Kamis (11/3/2021) pekan lalu. Saat ini kedelapan elang itu dirawat oleh petugas BKSDA Aceh. Menurut rencana, burung-burung tersebut akan dilepasliarkan ke habitatnya.
Delapan individu burung yang diserahkan adalah julang emas (Rhyticeros undulatus), elang hitam (Ictinaetus malayensis), tiga elang bondol (Haliastur indus), dan tiga elang brontok (Nisaetus cirrhatus).
Agus menuturkan, kondisi elang-elang itu sangat sehat. Namun, untuk bisa dilepasliarkan kembali harus diobservasi hingga dinilai sudah layak dikembalikan ke alam bebas.
Elang-elang tersebut diduga berasal dari habitat hutan di Sumatera. Lama dipelihara di rumah dinas Gubernur Aceh antara satu hingga dua tahun. Namun, persoalan itu tidak dibawa ke ranah hukum sebab penyerahan tersebut dianggap sebagai bentuk kesadaran dalam melindungi satwa.
Elang-elang tersebut diduga berasal dari habitat hutan di Sumatera. Lama dipelihara di rumah dinas Gubernur Aceh antara satu hingga dua tahun. (Agus Arianto)
Agus mengatakan, dalam banyak kasus penyerahan satwa lindung kepada BKSDA Aceh, warga tidak diproses hukum. Bagi Agus, semakin banyak warga yang secara sukarela menyerahkan satwa lindung menunjukkan kesadaran mulai tumbuh. ”BKSDA Aceh tidak memiliki kewenangan dalam penegakan hukum,” katanya.
Kepala Dinas Peternakan Provinsi Aceh Rahmandi yang hadir saat penyerahan menyebutkan, elang tersebut dipelihara hingga dianggap sudah sehat dan siap diserahkan kepada BKSDA Aceh.
”Dirawat karena telanjur ditangkap. Sekarang kami serahkan kepada BKSDA Aceh karena kami anggap sudah saatnya untuk dilepasliarkan,” ujar Rahmandi.
Menurut Direktur Flora Fauna Aceh Dewa Gumay, memelihara satwa lindung tanpa izin melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Dewa berharap asal-usul burung tersebut sehingga bisa berada di rumah dinas gubernur dibuka ke publik.
”BKSDA Aceh seharusnya panggil gubernur untuk klarifikasi dari mana burung-burung itu didapat. Sebab, ini burung langka, dilindungi, mengapa bisa dipelihara di rumah dinas,” kata Dewa.
Dewa mengatakan, secara regulasi, pemeliharaan satwa lindung di Rumah Dinas Gubernur Aceh telah memenuhi unsur pidana. Apalagi satwa itu telah dipelihara dalam waktu yang lama.
Ia mendesak BKSDA Aceh berani memanggil Gubernur Aceh dan petugas di rumah dinas itu untuk mendalami asal-muasal burung tersebut.