Tekan Kontak Fisik, Transaksi Nontunai Sektor Wisata di Tegal Didorong
Bank Indonesia Tegal mendorong penggunaan sistem pembayaran nontunai melalui kode pindai cepat berstandar Indonesia atau QRIS di tempat wisata di Tegal, Jateng. Hal itu juga untuk menekan penyebaran Covid-19.
Oleh
KRISTI D UTAMI
·3 menit baca
SLAWI, KOMPAS — Selama pandemi, kontak fisik antar-orang dibatasi untuk menekan risiko penyebaran Covid-19. Di Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, kontak fisik di tempat wisata, di antaranya, dibatasi dengan penerapan sistem pembayaran nontunai melalui kode pindai cepat berstandar Indonesia (QRIS).
Setelah lebih dari setahun berhadapan dengan pandemi Covid-19, masyarakat diharuskan untuk beradaptasi dengan sejumlah kebiasaan baru. Salah satu kebiasaan baru yang dilakukan untuk mencegah penularan Covid-19 adalah mengurangi kontak fisik satu sama lain.
Untuk mendukung upaya mengurangi kontak fisik, Bank Indonesia Tegal mengimplementasikan pembayaran nontunai menggunakan QRIS di sejumlah tempat. Di Tegal, misalnya, pembayaran dengan QRIS diterapkan di gerbang masuk obyek wisata pemandian air panas Guci.
Dengan penerapan pembayaran menggunakan QRIS, pengunjung bisa membayar tiket masuk menggunakan uang digital. Pengunjung tidak perlu lagi mengantre, menyentuh uang, dan bersentuhan dengan petugas. Mereka hanya perlu memindai QRIS dengan aplikasi pembayaran digital.
”QRIS memberikan sejumlah manfaat, antara lain pembayaran lebih higienis karena tidak bersentuhan langsung, transaksi tercatat secara lengkap dari jumlah hingga waktu pembayaran, serta meminimalkan risiko kerugian akibat uang palsu,” kata Kepala Perwakilan Bank Indonesia Tegal M Taufik Amrozy, Senin (15/3/2021), di Tegal.
Menurut dia, pembayaran menggunakan QRIS juga lebih akrab bagi generasi milenial yang sudah terbiasa dengan sistem pembayaran ini. Taufik menambahkan, hingga Desember 2020, pembayaran menggunakan QRIS sudah diterapkan oleh 5,78 juta pelaku usaha di seluruh Indonesia. Pada 2021, Bank Indonesia menargetkan, QRIS bisa digunakan oleh 12 juta pelaku usaha.
Di wilayah eks Karesidenan Pekalongan, 62.527 pelaku usaha menggunakan QRIS pada tahun 2020. Angka tersebut meningkat sebesar 267,6 persen dibandingkan jumlah pengguna QRIS pada 2019, yakni 23.360 pelaku usaha.
”Target kami tahun ini adalah meningkatkan jumlah pengguna QRIS di wilayah pantura barat Jateng menjadi 100.000 pelaku usaha. Sasarannya antara lain, tempat wisata; toko; usaha mikro, kecil, dan menengah; restoran; serta hotel,” ucap Taufik.
Bupati Tegal Umi Azizah menyambut baik digitalisasi pembayaran di wilayahnya tersebut. Menurut dia, digitalisasi pembayaran bisa menekan praktik-praktik yang merugikan keuangan pemerintah daerah.
”Penggunaan QRIS ini merupakan ikhtiar yang kami lakukan bersama dengan Bank Indonesia untuk meminimalkan kebocoran retribusi yang sudah sekian lama terjadi. Dengan penerapan sistem pembayaran elektronik, akurasi pencatatan pendapatan asli daerah (PAD) dari retribusi tiket masuk obyek wisata pemandian air panas Guci akan terpantau dan tercatat secara real time,” tutur Umi.
Umi meminta dinas-dinas terkait untuk mengawasi dan mengendalikan penggunaan QRIS di obyek wisata pemandian air panas Guci. Selanjutnya, digitalisasi pembayaran retribusi seperti itu diharapkan bisa diterapkan di semua tempat wisata.
Secara terpisah, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo berharap upaya digitalisasi pembayaran tersebut bisa mendorong percepatan inklusi keuangan di provinsi itu. Implementasi QRIS di obyek wisata pemandian air panas Guci diharapkan bisa diikuti obyek wisata lain di Jateng.
”QRIS memungkinkan seseorang melakukan pembayaran dengan cara yang aman, sesuai protokol kesehatan, tanpa sentuhan fisik antara pengunjung dan pengelola wisata atau penjual. Hal ini diharapkan bisa membuat pengunjung semakin nyaman dan merasa aman dalam berwisata, tetapi tetap memperhatikan protokol kesehatan,” kata Ganjar.
Ganjar menambahkan, elektronifikasi transaksi merupakan salah satu bentuk dukungan terhadap kebijakan pemerintah pusat, yakni menerapkan pembayaran nontunai pada berbagai transaksi pemerintah daerah, termasuk retribusi. Hal ini dilakukan untuk memberantas berbagai praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, termasuk pungutan liar.