Datangnya Pengakuan Negara pada Orang Rimba
Menunggu bertahun-tahun, data kependudukaan Orang Rimba di Jambi akhirnya direkam negara. Bulan depan, mereka sudah dapat mengakses berbagai program pemerintah, termasuk mengenyam pendidikan resmi dan bantuan sosial.

Peluncuran data kependudukan bagi komunitas pedalaman Orang Rimba di Jelutih, Batanghari, Jambi, Rabu (10/3/2021). Itu menandai pengakuan formal pemerintah atas keberadaan Orang Rimba sebagai warga negara.
Orang Rimba di Jambi akhirnya memiliki kartu tanda penduduk alias KTP. Penantian panjang mendapatkan pengakuan formal negara akhirnya terwujud. Terobosan besar yang akan memudahkan komunitas pedalaman itu mengakses beragam layanan pemerintah.
“Bepak, buka matanya godong-godong (Bapak, buka matanya besar-besar),” ujar Beno Andreas, petugas dari Kementerian Dalam Negeri, Rabu (10/3/2021). Ngombang langsung membelalakkan matanya lebar-lebar pada alat biometrik.
Usai itu, ia dipandu menempelkan sidik jarinya di atas mesin pemindai. Setelah mencoba berulang kali gagal, akhirnya sidik jari berhasil terekam.
Kalau hari ini datanya sudah bisa masuk, bulan depan mereka sudah akan bisa menerima bantuan pangan non tunai dari pemerintah. (Tri Rismaharini)
Orang Rimba mengarah kepada komunitas pedalaman yang tinggal di dalam hutandi Provinsi Jambi. Secara turun temurun, mereka tinggal di pondok-pondok kayu tanpa dinding di hutan-hutan yang tak lagi cukup menopang kebutuhan mereka karena alih fungsi.
Baca juga : Lahan untuk Penghidupan Orang Rimba di Jambi

Usai menyelesaikan seluruh proses perekaman, Ngombang dan 2.000-an warga Rimba akan mendapat kartu keluarga (KK) dan kartu tanda penduduk (KTP). Perekaman data kependudukan tersebut menyebar pada sejumlah kantor desa di Kabupaten Batanghari, Bungo, dan Sarolangun.
Mereka begitu antusias menyambut program yang telah lama dinantikan itu. “Inilah yang kami tunggu-tunggu sejak lama,” kata Tumenggung Ngelembo, pimpinan adat di wilayah Sungai Terab, Batanghari.
Apalagi, mereka diberi tahu bahwa Menteri Sosial Tri Rismaharini akan datang meluncurkan program tersebut serta membawa sejumlah bantuan. Berbondong-bondong mereka datang ke kantor Kelurahan Jelutih di Kabupaten Batanghari. Kantor itu ditunjuk sebagai salah satu lokasi perekaman data kependudukan.

Peluncuran data kependudukan bagi komunitas pedalaman Orang Rimba, di Jelutih, Batanghari, Jambi, Rabu (11/3/2021).
Sebagian perempuan yang biasanya hidup di hutan sekitar Taman Nasional bukit Duabelas, turut keluar. Sebagian besar induk (ibu) tampak masih takut-takut bertemu orang luar. Para suami pun diminta mendampingi istrinya agar mereka tenang selama proses perekaman data berlangsung.
Satu ketika, sejumlah induk yang telah menjanda menolak saat diminta menghadap kamera untuk difoto. Setengah mati petugas merayu, para induk itu kukuh menolak. Rupanya mereka takut dewa-dewa akan lari jika kamera menjepret di hadapan mereka. Orang Rimba memang menganut kepercayaan pada dewa-dewa dan arwah leluhur.
Baca juga : Komunitas Masyarakat Hutan Alami Tekanan
Petugas lalu berdiskusi dengan tumenggung. Tak lama, tempat itu dikosongkan, menyisakan induk, petugas, dan relawan pendamping. Melihat tak lagi ada orang lain di sekitar mereka, para induk yang menolak tadi akhirnya mau difoto.
Oleh karena sebagian warga tak dapat berbahasa Indonesia, petugas berupaya beradaptasi. Beno menghapal sejumlah istilah dalam bahasa rimba agar komunikasi lebih lancar. Ada kalanya relawan pendamping dipanggil mendekat membantu petugas. Alhasil, seluruh proses perekaman data dapat selesai dalam dua hari.
Status kependudukan
Meski hidup di Tanah Air yang sama, Orang Rimba selama ini belum mendapatkan pengakuan formal dari negara. Belum berstatus penduduk. Tak memiliki akta lahir, kartu keluarga, apalagi kartu tanda penduduk.

Karena tidak tercatat, Orang Rimba kerap terlewat dari berbagai layanan negara. Di bidang pendidikan misalnya, para orangtua tak dapat mendaftarkan anak-anaknya bersekolah. Sebab mereka tak punya dokumen akta lahir yang menjadi syarat pendaftaran anak masuk sekolah.
Begitu pula di bidang kesehatan, tidak bisa mengurus BPJS. Di bidang politik, Orang Rimba tak punya hak memilih, apalagi dipilih. Di bidang sosial, kerap tak terjangkau program bantuan pemerintah.
Tonton juga : Orang Rimba Kehilangan Rimba
Ketika awal pandemi Covid-19 tahun lalu, pemerintah menggulirkan bantuan sosial ke berbagai daerah. Saat itu, tidak ada bantuan untuk Orang Rimba. Barulah setelah difasilitasi dan diurus oleh relawan pendamping, bantuan sosial dapat mereka terima belakangan.

Di awal tahun ini, bantuan sosial Covid-19 kembali tersendat. Sebabnya, tak lain karena masalah belum adanya data kependudukan.
Relawan pendamping dari Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, lalu menyurati Kementerian Sosial. Mengetahui hal itu, Risma langsung meminta timnya mengurus kerja sama Kemendagri perihal perekaman data kependudukan Orang Rimba.
Dalam waktu singkat, seluruh proses dilalui. Akhirnya komunitas itu masuk dalam program pendataan. “Kalau hari ini datanya sudah bisa masuk, bulan depan (April) mereka sudah akan bisa menerima bantuan pangan non tunai dari pemerintah,” kata Risma dalam kunjungan bertemu komunitas Orang Rimba di Sungai Terab, Batanghari, Jambi, Rabu lalu.
Dihubungi Minggu malam, Risma menyatakan bahwa bulan April, komunitas Orang Rimba akan menerima bantuan pangan non tunai (BNPT). Saat ini, proses perekaman data kependudukan terus berlanjut, yang diharapkan pekan ini selesai.
Baca juga : Bantuan Sosial untuk Komunitas Pedalaman Pun Diserahkan

Komunitas Orang Rimba di Bukit Duabelas, Jambi, menerima bantuan sosial dari Kementerian Sosial. Dana bansos sebesar Rp 1,8 juta untuk tiga bulan bagi tiap keluarga ini diserahkan petugas kantor pos di wilayah Sungai Terab, Kabupaten Batanghari, Jambi, Jumat (17/7/2020).
Menurut dia, keberlanjutan hidup Orang Rimba perlu jadi perhatian negara. Apalagi komunitas pedalaman itu masuk sebagai kelompok yang rentan karena ruang hidupnya tergusur alih fungsi hutan. Karena itu, pendataan menjadi langkah awalnya.
Dari 6.000 warga komunitas Orang Rimba di Jambi, telah direkam data kependudukannya sebanyak 3.160 orang. Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri Zudan Arif mengatakan, proses itu masih terus berlanjut. Selain di Batanghari, berlangsung pula pada sejumlah kantor desa di Kabupaten Bungo dan Sarolangun.
Rudi Syaf, Direktur KKI Warsi, mengapresiasi langkah pemerintah merealisasi pendataan kependudukan bagi Orang Rimba. Hal itu merupakan terobosan. Komunitas itu dapat mudah mengakses berbagai program dan bantuan pemerintah.

Keluarga Orang Rimba di wilayah Batanghari. Nawan bersama dua anaknya menantikan pembagian bantuan bahan makanan dan minuman dari berbagai pihak untuk mengatasi krisis pangan di wilayah Batanghari, Jambi, Kamis (12/3/2015). Posko medis juga digelar bersama TNI/Polri untuk menangani masalah kesehatan di kalangan Orang Rimba.
Menurut antropolog Orang Rimba dari Universitas Diponegoro, Adi Prasetijo, tanpa identitas kependudukan, kehidupan Orang Rimba kerap terbentur berbagai hambatan. Dengan dimilikinya identitas kependudukan, mereka akan mudah mengakses fasilitas dan layanan publik.
Namun, terobosan yang telah dibuat jangan berhenti sampai di situ. Upaya ini perlu diiringi pengalokasian kembali lahan kelola dan ruang hidup sehingga kesinambungan penghidupan terjaga. “Sehingga mereka tak lagi harus menumpang hidup di tanah adat yang telah berubah menjadi kebun monokultur. Sebab dampaknya telah mereka rasakan begitu besar,” katanya.
Baca juga : Orang Rimba Tiga Tahun Menunggu Janji Presiden Jokowi
Masih ingat kasus kematian beruntun yang dialami 14 warga Orang Rimba pada tahun 2015? Saat itu terjadi krisis pangan ketika Orang Rimba tengah menjalankan ritual melangun, yakni tradisi berpindah tempat akibat adanya kematian sanak keluarga.
Saat itu, kematian beruntun disebut-sebut terkait erat dengan paceklik pangan akibat hilangnya hutan. Diperparah kerentanan imun Orang Rimba dan prevalensinya yang tinggi pada sejumlah penyakit menular dan berbahaya. Kematian beruntun itu sekaligus membuka fakta akan kondisi Orang Rimba yang hidupnya terabaikan.

Pemerintah kerap beralasan sulit melaksanakan program bantuan kesehatan karena terbentur tradisi Orang Rimba yang nomaden. Sebagai contoh, program dokter keliling akan terkendala saat Orang Rimba melaksanakan tradisi melangun.
Dokter akan kesulitan menjangkau kelompok ini ketika berpindah. Sejak saat itu, pembiayaan layanan kesehatan coba disiasati dengan cara ditanggung oleh pemerintah kabupaten. Masalahnya, baik buruknya layanan kesehatan itu menjadi sangat bergantung pada kepedulian masing-masing pemda. Jika pemdanya tak cukup berpihak, Orang Rimba di wilayah itu bakal selalu terabaikan.
Bahkan, meski telah selalu didampingi relawan pendamping, program kesehatan belum cukup berpihak bagi komunitas itu. Pada kasus-kasus penyakit berat, Orang Rimba tak dapat dirujuk berobat ke luar Provinsi Jambi.

Akibat pengusiran oleh para pekerja PT Wana Perintis, pemegang konsesi hutan tanaman industri karet di Desa Jelutih, Kecamatan Bathin XXIV, Kabupaten Batanghari, Jambi, komunitas Orang Rimba terpaksa menyelamatkan diri. Hingga Kamis (13/10/2016), sekitar 600 warga masih mengungsi di pinggir Taman Nasional Bukit Duabelas. Tampak anak-anak rimba mengupas jengkol hutan di lokasi pengungsian.
Karena itu, lewat terobosan data kependudukan bagi Orang Rimba, ada keberlanjutan upaya perbaikan nasib mereka. “Harapannya, dengan telah memiliki KTP, persoalan-persoalan ini mulai bisa diurai,” kata Rudi.
Tidak hanya pada bidang kesehatan tetapi juga pada sektor-sektor lain. Lewat itulah Orang Rimba menaruh harapan besar akan masa depan yang lebih baik.