Masifkan Simulasi Tanggap Bencana untuk Melatih Kesiapsiagaan Warga
Indonesia masuk 35 besar negara dengan risiko bencana tertinggi di dunia. Oleh sebab itu, simulasi tanggap bencana mesti dimasifkan untuk melatih kesiapsiagaan warga sehingga dapat meminimalkan dampaknya.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
NGAMPRAH, KOMPAS — Indonesia masuk 35 besar negara dengan risiko bencana tertinggi di dunia. Oleh sebab itu, simulasi tanggap bencana mesti dimasifkan untuk melatih kesiapsiagaan warga sehingga dapat meminimalkan dampaknya.
Warga di lokasi rawan bencana perlu mengenal potensi ancaman di sekitarnya. Dengan begitu, warga dapat melakukan mitigasi sekaligus memahami tindakan yang dilakukan saat terjadi bencana.
”Simulasi tanggap bencana harus menjadi budaya. Masyarakat wajib dilibatkan secara menyeluruh, termasuk anak-anak, warga lanjut usia, dan (kaum) difabel,” ujar Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo saat menghadiri simulasi tanggap bencana di Kampung Cibeber Hilir, Desa Giriasih, Batujajar, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Jumat (12/3/2021).
Kampung Cibeber Hilir berada di bawah bukit setinggi sekitar 50 meter. Di atas bukit tersebut sedang dibangun kompleks perumahan seluas 8,5 hektar.
Dengan kemiringan sekitar 45 derajat, bukit yang minim pohon tegakan tersebut berpotensi longsor saat diguyur hujan lebat. Pembangunan perumahan akan membuat kompaksi tanah semakin berat sehingga rawan ambrol.
Pembangunan perumahan dilakukan dengan memapras bukit. Sejumlah rekahan di dinding bukit terlihat mengeluarkan air. ”Tinggal tunggu waktu. Begitu curah hujan tinggi, tanah akan menjadi gembur dan longsor. Seluruh (material) bukit bisa turun,” ujar Doni.
Kerawanan longsor di bukit itu perlu diantisipasi warga di sekitarnya. Apalagi, jarak bukit dengan permukiman warga hanya sekitar 100 meter. ”Simulasi ini untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat. Langkah terbaik dalam penanganan bencana adalah pencegahan dan mitigasi,” ujarnya.
Dalam simulasi tersebut, diskenariokan bukit itu longsor. Sirene peringatan bencana dibunyikan. Pengumuman untuk segera mengevakuasi diri juga disampaikan melalui pengeras suara di masjid.
Warga lalu berbondong-bondong berlari ke luar rumah menuju tanah kosong sebagai tempat evakuasi. Beberapa pemuda membantu warga lansia, anak-anak, dan warga yang sakit untuk menyelamatkan diri. ”Simulasi ini menjadi pesan ke semua daerah untuk melakukan hal yang sama. Waspadai kampung-kampung di lereng atau yang di belakangnya terdapat bukit,” ujarnya.
Menurut Doni, kondisi bukit di Kampung Cibeber Hilir mirip dengan bukit yang longsor di Cimanggung, Kabupaten Sumedang, 9 Januari lalu. Di atas kedua bukit ini sama-sama dibangun kompleks perumahan. Sementara di bawahnya terdapat permukiman warga.
Longsor di Sumedang menimbun puluhan rumah dan menewaskan 40 orang. Dibutuhkan waktu sepuluh hari untuk mengevakuasi semua korban. Bukit setinggi 50 meter yang longsor di Sumedang juga mengeluarkan air dari sejumlah rekahan. Jarak luncur material longsornya mencapai 150 meter. ”Tentu kita tidak ingin kejadian seperti itu terulang. Sensitivitas pembangunan harus berorientasi pada risiko bencana,” ujarnya.
Sekretaris Daerah Kabupaten Bandung Barat Asep Sodikin mengatakan, pihaknya akan mengevaluasi dokumen perizinan pembangunan perumahan di atas Kampung Cibeber Hilir. Proses pembangunan pun dihentikan sementara waktu. ”Kami akan mengundang ahli geologi untuk mengkaji bukit tersebut. Kalau ahli merekomendasikan pembangunan dihentikan, tentu akan kami hentikan (pembangunan perumahan),” ujarnya.
Undang (42), warga setempat, menyatakan khawatir bukit yang telah dipapras tersebut longsor. Apalagi, saat ini kawasan tersebut masih memasuki musim hujan. ”Kalau bisa terlebih dahulu dibangun tembok penahan. Jadi, badan bukit yang dipotong tidak gampang longsor,” ujarnya.